DENPASAR – Selain sibuk memikirkan isi perut di masa pandemi Covid-19, ada pekerjaan tambahan yang “meresahkan” banyak orang tua di Bali seminggu terakhir, yakni mencari sekolah untuk sang buah hati.
Meski Dinas Pendidikan Provinsi Bali dan kabupaten/kota telah menyiapkan sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang luar biasa, “kebocoran” dan praktik kecurangan diduga masih terjadi.
Mirisnya, praktik ini diduga melibatkan oknum anggota dewan. Masih banyak masyarakat yang diduga “nitip” untuk memastikan anaknya dapat sekolah.
Di tengah desas-desus tersebut, muncul satu nama anggota DPRD Kota Denpasar yang memilih “nyeleneh” dan terang-terangan menolak “titipan” masyarakat terkait PPDB.
Dia adalah Anak Agung Ngurah Gede Widiada. Kepada Radarbali.id, Penglingsir Puri Peguyangan, Denpasar itu terangan-terangan mengaku mendapat titipan 30 lebih map untuk mencari sekolah.
Namun, dia menegaskan tidak akan memproses permintaan tolong tersebut. “Ada komitmen dalam rapat anggota DPRD Denpasar pantang menerima titipan.
Saya anggota dewan dari fraksi kecil saja dapat titipan 30 map. Saya tidak terima. Saya tidak bisa neko-neko. Lebih baik jujur. Jebol sistem pendidikan kita kalau kebiasaan ini terus berlanjut,” ungkapnya.
Semua pihak, khususnya anggota dewan jelasnya harus mengawal komitmen pemerintah menciptakan pendidikan dasar 12 tahun.
Dengan kata lain tidak ada penganaktirian antara sekolah negeri dan swasta. Tidak bisa dipungkiri, orang tua masih memimpikan buah hatinya bersekolah di institusi negeri.
Selain gengsi, pertimbangan biaya lebih murah menjadi faktor pemicu utama. “Menyikapi hal ini, Pemkot Denpasar wajib memberikan subsidi bagi masyarakat yang menyekolahkan
anak-anak mereka di sekolah swasta. Bagaimana pun juga, kita tidak boleh tutup mata bahwa selama ini peran dan kontribusi sekolah swasta sangat besar.
Harus ada pembicaraan dengan sekolah swasta. Suka tidak suka, itu harus dilakukan!” serunya.
Untuk pemerataan kualitas guru sekolah negeri dan swasta, Widiada meminta komitmen Pemkot Denpasar untuk menempatkan guru-guru negeri berprestasi ke sekolah swasta.
“Tidak boleh ada cluster di sekolah,” terangnya. Soal subsidi ke sekolah swasta, Widiada menyebut hal itu harus dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar agar protokol Covid-19 sukses diwujudkan.
Dengan kata lain, bila “titipan” ke sekolah negeri tidak distop, maka siswa dalam satu kelas akan berjubel alias tidak ideal.
“Jangan samakan sekolah negeri dan swasta. Kualitas sekolah harus sama bagus. Harus disubsidi sekolah swasta karena ikut menopang pendidikan 12 tahun.
Kalau mahal, di mana masyarakat bisa menyekolahkan anak-anak mereka? Ini harus menjadi pertimbangan pemerintah,” selorohnya.
Lebih penting lagi, terang Widiada, komitmen moral anggota dewan harus ditempatkan di atas segala-galanya.
“Saya siap dengan konsekuensi tidak membantu masyarakat soal ini. Take and give penting, tapi bukan ini spirit yang harus kita bangun dalam dunia pendidikan.
Kalau begini terus-terusan bisa hancur Kota Denpasar yang kita cintai. Saya lebih mengedepankan kesepatan moral bahwa sistem pendidikan harus dibenahi secara objektif.
Biarkan sistem bekerja. Jangan ada yang nambah prestasi, menghalalkan segala cara, akal-akalan, dan sejenisnya agar bisa dapat sekolah.
Ini jelas merusak mental anak-anak kita. Stop. Apa yang menjadi kriteria mari itu yang dijalankan. Eksekutif dan legislatif harus memberi contoh,” pesannya.
“Saya juga ingin membantu pemilih saya; konstituen saya. Tapi untuk urusan diterima di sekolah A, B, C, saya ambil sikap menolak. Mari belajar dari negara-negara maju.
Kalau pola pikir jujur dan apa adanya tidak bisa dipegang, akan fatal akibatnya. Stop pembusukan mulai dari bangku sekolah,” tutup Wakil Ketua Bidang Pendidikan Politik dan Kebudayaan DPW NasDem Bali itu.