26.1 C
Jakarta
1 November 2024, 6:05 AM WIB

Mahasiswa Minta Kapolda Tak Kaitkan Aksi Demo Omnibus dengan Isu SARA

DENPASAR – Aksi  penolakan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja dua hari lalu yang berujung ada kekisruhan disesalkan mahasiswa.

Apalagi, setelah ada pernyataan Kapolda Bali Irjen Petrus Golose yang mengaitkan peserta aksi yang kebanyakan warga non lokal Bali.

Dengan tegas, mahasiswa meminta Kapolda tidak mengaitkan penolakan UU Omnibus Law dengan masalah SARA karena tidak ada kaitannya sama sekali.

Pernyataan sikap mahasiswa dari Aliansi Bali Tidak Diam (ABTD) itu terlontar saat Presiden BEM Universitas Udayana Dewa Gede Satya Ranasika dan juru bicara ABTD Abror Torik menggelar jumpa pers di LBH Bali kemarin.

Didampingi Direktur LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraning, Abror Torik menjelaskan kronologisnya terjadinya aksi.

Dimulai pada pukul 14.00, massa aksi berkumpul di Jalan Sudirman seberang Kampus Universitas Udayana.

Kemudian massa aksi berjalan sampai Santo Yoseph. Sekitar 14.30 sampai 18.00 massa melakukan mimbar bebas. Setelah itu sempat istirahat karena menunggu adzan Magrib.

Nah, setelah itu tiba-tiba aparat kepolisian  memasang barikade dan dari arah utara bergerak mendekati massa aksi.

Mereka semakin gaduh ketika ada tembakan gas air mata dari pihak aparat kepolisian dan tersebar ke tiga titik yang yaitu Kampus Sudirman, student centre dan Jalan Waturenggong. 

“Setelah itu 18.30 sampai 19.00  pihak aparat melakukan intimidasi hingga mahasiswa masuk ke dalam kampus yang seharusnya kampus menjadi areal netral yang tidak dimasuki aparat,” jelas Abror. 

Saat aparat kepolisian keluar kampus, massa aksi masih melakukan evakuasi di dalam kampus.

Ironisnya,  aparat kepolisian terus menembakkan gas air mata ke arah kampus, sehingga menyebabkan kurang lebih 40 orang terkena gas air mata.

Di antaranya lima orang harus mendapatkan tindakan medis karena pingsan.  Menurut Abror, malahan warga sekitar yang memediasi

antara massa aksi dengan kepolisian karena masyarakat terganggu dengan gas air mata yang terus ditembakkan oleh aparat polisi.   

Akhirnya Aliansi Bali Tidak Diam membubarkan diri pada pukul 21.00 untuk meninggalkan Kampus Universitas Udayana. 

Presiden BEM Universitas Udayana Dewa Gede Satya Ranasika menambahkan bawa aksi yang digelar dua hari lalu tidak ada yang menunggangi.

Aksi yang digelar murni untuk kepentingan masyarakat. ABTD adalah aliansi gabungan dari mahasiswa, serikat pekerja dan organisasi buruh.

Salah satu yang disesalkan peserta aksi adalah munculnya narasi bahwa peserta aksi adalah warga non lokal atau bukan dari Bali.

“Ini massa yang berbaur, intinya menolak UU Cipta Kerja. Masalahnya disampaikan langsung oleh aparat. Isu SARA ini tidak ada hubungannya, aksi kami murni ditunggangi untuk kepentingan rakyat,” jelasnya. 

Direktur LBH Bali Vany Primaliraning menambahkan bahwa penolakan ini juga karena dampak lingkungan jika peraturan ini berjalan.

Sebab, ada pemangkasan pihak yang terlibat hanya difokuskan terlibat masyarakat sekitar yang benar-benar terdampak.

“Sebelumnya organisasi lingkungan, pemerhati lingkungan  sekarang tidak dapat. Komisi AMdal hanya dari pemerintah pusat, daerah dan orang yang sudah tersertifikasi,” pungkasnya.

 

DENPASAR – Aksi  penolakan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja dua hari lalu yang berujung ada kekisruhan disesalkan mahasiswa.

Apalagi, setelah ada pernyataan Kapolda Bali Irjen Petrus Golose yang mengaitkan peserta aksi yang kebanyakan warga non lokal Bali.

Dengan tegas, mahasiswa meminta Kapolda tidak mengaitkan penolakan UU Omnibus Law dengan masalah SARA karena tidak ada kaitannya sama sekali.

Pernyataan sikap mahasiswa dari Aliansi Bali Tidak Diam (ABTD) itu terlontar saat Presiden BEM Universitas Udayana Dewa Gede Satya Ranasika dan juru bicara ABTD Abror Torik menggelar jumpa pers di LBH Bali kemarin.

Didampingi Direktur LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraning, Abror Torik menjelaskan kronologisnya terjadinya aksi.

Dimulai pada pukul 14.00, massa aksi berkumpul di Jalan Sudirman seberang Kampus Universitas Udayana.

Kemudian massa aksi berjalan sampai Santo Yoseph. Sekitar 14.30 sampai 18.00 massa melakukan mimbar bebas. Setelah itu sempat istirahat karena menunggu adzan Magrib.

Nah, setelah itu tiba-tiba aparat kepolisian  memasang barikade dan dari arah utara bergerak mendekati massa aksi.

Mereka semakin gaduh ketika ada tembakan gas air mata dari pihak aparat kepolisian dan tersebar ke tiga titik yang yaitu Kampus Sudirman, student centre dan Jalan Waturenggong. 

“Setelah itu 18.30 sampai 19.00  pihak aparat melakukan intimidasi hingga mahasiswa masuk ke dalam kampus yang seharusnya kampus menjadi areal netral yang tidak dimasuki aparat,” jelas Abror. 

Saat aparat kepolisian keluar kampus, massa aksi masih melakukan evakuasi di dalam kampus.

Ironisnya,  aparat kepolisian terus menembakkan gas air mata ke arah kampus, sehingga menyebabkan kurang lebih 40 orang terkena gas air mata.

Di antaranya lima orang harus mendapatkan tindakan medis karena pingsan.  Menurut Abror, malahan warga sekitar yang memediasi

antara massa aksi dengan kepolisian karena masyarakat terganggu dengan gas air mata yang terus ditembakkan oleh aparat polisi.   

Akhirnya Aliansi Bali Tidak Diam membubarkan diri pada pukul 21.00 untuk meninggalkan Kampus Universitas Udayana. 

Presiden BEM Universitas Udayana Dewa Gede Satya Ranasika menambahkan bawa aksi yang digelar dua hari lalu tidak ada yang menunggangi.

Aksi yang digelar murni untuk kepentingan masyarakat. ABTD adalah aliansi gabungan dari mahasiswa, serikat pekerja dan organisasi buruh.

Salah satu yang disesalkan peserta aksi adalah munculnya narasi bahwa peserta aksi adalah warga non lokal atau bukan dari Bali.

“Ini massa yang berbaur, intinya menolak UU Cipta Kerja. Masalahnya disampaikan langsung oleh aparat. Isu SARA ini tidak ada hubungannya, aksi kami murni ditunggangi untuk kepentingan rakyat,” jelasnya. 

Direktur LBH Bali Vany Primaliraning menambahkan bahwa penolakan ini juga karena dampak lingkungan jika peraturan ini berjalan.

Sebab, ada pemangkasan pihak yang terlibat hanya difokuskan terlibat masyarakat sekitar yang benar-benar terdampak.

“Sebelumnya organisasi lingkungan, pemerhati lingkungan  sekarang tidak dapat. Komisi AMdal hanya dari pemerintah pusat, daerah dan orang yang sudah tersertifikasi,” pungkasnya.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/