30.3 C
Jakarta
5 Februari 2025, 21:54 PM WIB

Harga Cabai Melangit, Ibu-ibu Menjerit

HARGA cabai makin menggila sejak awal tahun 2021. Bahkan saat ini harga cabai rawit merah mencapai angka di atas Rp.100.000.

Seperti yang dilansir salah satu portal perkembangan harga komoditas yaitu SiGapura.org, harga cabai rawit merah di beberapa pasar di Bali sampai pertengahan Maret mencapai  Rp.120.000.

Tak hanya Bali, beberapa wilayah di Indonesia juga mengalami peningkatan harga cabai yang cukup signifikan.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali merilis komoditas cabai khususnya cabai merah dan cabai rawit telah mengalami peningkatan harga sejak bulan Oktober 2020.

Walaupun secara umum pergerakan harga pada periode Oktober 2020 sampai Februari 2021 berfluktuasi baik inflasi (peningkatan harga) dan deflasi (penurunan harga),

komoditas cabai selalu mengalami peningkatan harga pada periode tersebut baik di Kota Denpasar maupun di Kota Singaraja.

Komoditas cabai menyumbang andil terhadap pergerakan harga di Bali cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena komoditas cabai merupakan komoditas yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Bali.

Selain cabai, beberapa komoditas lain yang juga menyumbang pergerakan harga yang cukup signifikan adalah beras, daging ayam, daging babi dan canang sari.

Khusus canang sari, modernisasi kehidupan masyarakat Bali mendorong masyarakatnya memilih kehidupan yang lebih praktis yaitu dengan lebih memilih membeli canang sari yang sudah jadi dibandingkan dengan membuat sendiri.

Penyebab utama terjadinya kenaikan harga pada komoditas cabai adalah adanya ketidakseimbangan antara supply (penyediaan) dan demand (permintaan) masyarakat.

Pada saat panen, ketersediaan cabai melebihi permintaan di masyarakat, menyebabkan harga cabai turun.

Sebaliknya pada saat ketersediaan berkurang sedangkan permintaan masyarakat tetap atau meningkat, hal ini memicu pergerakan harga komoditas cabai naik.

Menurut Kementan, penyebab utama pasokan cabai berkurang pada periode akhir tahun 2020 sampai awal tahun 2021 adalah cuaca ekstrem.

Cuaca ekstrem la nina menyebabkan bunga cabai rontok dan gagal berbuah. Selain curah hujan yang cukup tinggi yang menyebabkan

banjir di sejumlah wilayah, cuaca ekstrem tersebut juga menyebabkan meningkatnya populasi organisme pengganggu tanaman.

Tak hanya faktor cuaca yang setiap tahun melanda, pandemi Covid-19 juga menambah beban petani cabai.

Petani terpaksa mengurangi penanaman cabai di beberapa wilayah karena harga komoditas cabai pada saat pandemi Covid-19 sepanjang tahun 2020 kurang kompetitif.

Akibatnya petani merugi dan memilih untuk mengurangi produksi cabai. Berbagai kendala di atas menyebabkan pasokan akan komoditas strategis ini makin tipis, di tengah kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dielakkan.

Sebut saja usaha warung makan dan restoran yang tidak dapat mengurangi bahan ini karena akan berdampak pada rasa makanan, sedangkan untuk meningkatkan harga jual juga tidak memungkinkan.

Konsumsi masyarakat akan komoditas strategis ini juga cenderung bertambah pada saat hari-hari besar keagamaan, seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, Hari Raya Idul Adha, Idul Fitri, dll.

Harga cabai pada saat seperti ini cenderung naik karena permintaan meningkat. Untuk itu diperlukan berbagai upaya sehingga harga kebutuhan komoditas strategis seperti ini tidak memberatkan konsumen serta tidak merugikan para petani.

Tentunya penanganan penyeimbangan supply dan demand atas komoditas-komoditas strategis tidak dapat berjalan

hanya dari satu sisi saja, diperlukan penanganan yang komprehensif dari semua kalangan sehingga menguntungkan semua pihak.

Pertama dari sisi pemerintah, dapat melakukan upaya-upaya dalam memperpendek rantai distribusi dari produsen ke konsumen sehingga harga

di tingkat konsumen tidak terlalu tinggi dan kesenjangan harga yang diperoleh petani juga tidak terlampau besar selisihnya dan berdampak pada kesejahteraan petani cabai.

Menurut survei Pola Distribusi (Poldis) yang diselenggarakan oleh BPS, rantai distribusi khususnya komoditas cabai telah mengalami pemendekan alur dari tahun 2018 ke tahun 2019 sesuai data yang dirilis instansi tersebut pada awal 2021 silam.

Pola utama distribusi perdagangan cabai merah di Provinsi Bali tahun 2019 memiliki pola rantai yang berbeda dibandingkan tahun 2018.

Rantai utama distribusi cabai merah pada tahun 2019 melibatkan pedagang pengecer, sementara rantai utama distribusi cabai merah pada tahun 2018 melibatkan pedagang pengepul dan pedagang pengecer.

Berdasarkan rilis BPS, Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) total komoditas cabai merah pada tahun 2019 tercatat 16,53 persen.

Hal ini berarti ada kenaikan harga cabai merah dari produsen hingga konsumen akhir sebesar 16,53 persen.

Jika dibandingkan dengan tahun 2018, harga cabai merah di pedagang pengepul saja telah naik 18,41 persen, sementara di pedagang pengecer harga cabai merah naik 19,77 persen.

Jika dibandingkan dengan provinsi lain, Provinsi Bali pada tahun 2019 tercatat yang memiliki margin perdagangan dan pengangkutan paling rendah se-Indonesia.

Hal tersebut tak terlepas dari hasil kerja seluruh pihak terutama TPID Provinsi Bali. Salah satu yang dilakukan tim TPID, seperti misalnya yang dilakukan oleh Kabupaten Badung

adalah dengan menggunakan Control Atmosphere Storage (CAS) yaitu tempat penyimpanan hasil pertanian sehingga pada saat panen raya hasil pertanian

 dapat disimpan lebih lama untuk menghindari anjloknya harga, dan dapat dikeluarkan kembali saat harga telah membaik sehingga petani tidak sangat merugi.

Walaupun saat ini, kemampuan CAS untuk menyimpan komoditas cabai hanya 2 minggu dan bawang merah selama 3 bulan, setidaknya tempat penyimpanan ini dapat dioptimalkan penggunaannya untuk komoditas lainnya.

Masyarakat juga diharapkan dapat menanam sendiri cabai di pekarangan rumah atau bagi yang tidak mempunyai lahan dapat memulai dengan menanam di media pot, atau tanaman dalam pot yang sering disingkat tambulapot.

Tak perlu mahal, biji cabe yang sedianya digunakan untuk memasak bisa disisihkan sedikit untuk dijadikan bibit.

Pada saat seperti sekarang, cabai hasil menanam sendiri tentu sangat menghemat pengeluaran rumah tangga.

Dengan berkurangnya permintaan di pasaran, diharapkan harga akan menjadi normal kembali.

Tak hanya itu, kita bisa belajar atau mengadopsi tata cara masyarakat negeri China dalam menyimpan hasil panen dan pengolahannya.

Salah satunya adalah dengan mengolah cabai segar pada saat panen raya, sebagiannya diolah menjadi cabai bubuk, atau cabai dalam bentuk pasta, sehingga dapat bertahan lebih lama.

Dengan demikian akan menghindari kejadian petani enggan memanen hasil pertaniannya atau membuang hasil panennya karena terlalu murah dan merugi.

Konsumen akhirpun akan dapat menikmati pedasnya rasa cabai tanpa harus memikirkan “panas”nya harga cabai di pasaran.

Setidaknya dapat menjadi pilihan ibu-ibu dalam memasak pada saat pasokan cabai di pasaran berkurang dan harganya mulai merangkak naik.

Diharapkan pada saat demikian, permintaan terhadap cabai segar sedikit berkurang dan stabilisasi harga cabai dapat terus berlangsung sepanjang tahun.

Selain itu, pengolahan bumbu menjadi dalam bentuk bubuk atau pasta dapat menjadi peluang bisnis baru untuk skala usaha kecil menengah dan rumah tangga.

Diharapkan dengan makin berkembangnya inovasi-inovasi usaha, perekonomian Bali dapat lebih baik ke depan.

Dalam mengimplementasikan berbagai usaha tersebut diperlukan sinergi dan kerja sama dari berbagai pihak.

Tidak saja pemerintah sebagai pengambil kebijakan, tetapi dari petani, produsen bahkan konsumen hendaknya bekerja sama sehingga dapat menguntungkan semua pihak mendapatkan rasa pedas dan harga yang sesuai selera. (*)

 

   

Ni Luh Putu Dewi Kusumawati, SST, M.Si

Statistisi di Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

HARGA cabai makin menggila sejak awal tahun 2021. Bahkan saat ini harga cabai rawit merah mencapai angka di atas Rp.100.000.

Seperti yang dilansir salah satu portal perkembangan harga komoditas yaitu SiGapura.org, harga cabai rawit merah di beberapa pasar di Bali sampai pertengahan Maret mencapai  Rp.120.000.

Tak hanya Bali, beberapa wilayah di Indonesia juga mengalami peningkatan harga cabai yang cukup signifikan.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali merilis komoditas cabai khususnya cabai merah dan cabai rawit telah mengalami peningkatan harga sejak bulan Oktober 2020.

Walaupun secara umum pergerakan harga pada periode Oktober 2020 sampai Februari 2021 berfluktuasi baik inflasi (peningkatan harga) dan deflasi (penurunan harga),

komoditas cabai selalu mengalami peningkatan harga pada periode tersebut baik di Kota Denpasar maupun di Kota Singaraja.

Komoditas cabai menyumbang andil terhadap pergerakan harga di Bali cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena komoditas cabai merupakan komoditas yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Bali.

Selain cabai, beberapa komoditas lain yang juga menyumbang pergerakan harga yang cukup signifikan adalah beras, daging ayam, daging babi dan canang sari.

Khusus canang sari, modernisasi kehidupan masyarakat Bali mendorong masyarakatnya memilih kehidupan yang lebih praktis yaitu dengan lebih memilih membeli canang sari yang sudah jadi dibandingkan dengan membuat sendiri.

Penyebab utama terjadinya kenaikan harga pada komoditas cabai adalah adanya ketidakseimbangan antara supply (penyediaan) dan demand (permintaan) masyarakat.

Pada saat panen, ketersediaan cabai melebihi permintaan di masyarakat, menyebabkan harga cabai turun.

Sebaliknya pada saat ketersediaan berkurang sedangkan permintaan masyarakat tetap atau meningkat, hal ini memicu pergerakan harga komoditas cabai naik.

Menurut Kementan, penyebab utama pasokan cabai berkurang pada periode akhir tahun 2020 sampai awal tahun 2021 adalah cuaca ekstrem.

Cuaca ekstrem la nina menyebabkan bunga cabai rontok dan gagal berbuah. Selain curah hujan yang cukup tinggi yang menyebabkan

banjir di sejumlah wilayah, cuaca ekstrem tersebut juga menyebabkan meningkatnya populasi organisme pengganggu tanaman.

Tak hanya faktor cuaca yang setiap tahun melanda, pandemi Covid-19 juga menambah beban petani cabai.

Petani terpaksa mengurangi penanaman cabai di beberapa wilayah karena harga komoditas cabai pada saat pandemi Covid-19 sepanjang tahun 2020 kurang kompetitif.

Akibatnya petani merugi dan memilih untuk mengurangi produksi cabai. Berbagai kendala di atas menyebabkan pasokan akan komoditas strategis ini makin tipis, di tengah kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dielakkan.

Sebut saja usaha warung makan dan restoran yang tidak dapat mengurangi bahan ini karena akan berdampak pada rasa makanan, sedangkan untuk meningkatkan harga jual juga tidak memungkinkan.

Konsumsi masyarakat akan komoditas strategis ini juga cenderung bertambah pada saat hari-hari besar keagamaan, seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, Hari Raya Idul Adha, Idul Fitri, dll.

Harga cabai pada saat seperti ini cenderung naik karena permintaan meningkat. Untuk itu diperlukan berbagai upaya sehingga harga kebutuhan komoditas strategis seperti ini tidak memberatkan konsumen serta tidak merugikan para petani.

Tentunya penanganan penyeimbangan supply dan demand atas komoditas-komoditas strategis tidak dapat berjalan

hanya dari satu sisi saja, diperlukan penanganan yang komprehensif dari semua kalangan sehingga menguntungkan semua pihak.

Pertama dari sisi pemerintah, dapat melakukan upaya-upaya dalam memperpendek rantai distribusi dari produsen ke konsumen sehingga harga

di tingkat konsumen tidak terlalu tinggi dan kesenjangan harga yang diperoleh petani juga tidak terlampau besar selisihnya dan berdampak pada kesejahteraan petani cabai.

Menurut survei Pola Distribusi (Poldis) yang diselenggarakan oleh BPS, rantai distribusi khususnya komoditas cabai telah mengalami pemendekan alur dari tahun 2018 ke tahun 2019 sesuai data yang dirilis instansi tersebut pada awal 2021 silam.

Pola utama distribusi perdagangan cabai merah di Provinsi Bali tahun 2019 memiliki pola rantai yang berbeda dibandingkan tahun 2018.

Rantai utama distribusi cabai merah pada tahun 2019 melibatkan pedagang pengecer, sementara rantai utama distribusi cabai merah pada tahun 2018 melibatkan pedagang pengepul dan pedagang pengecer.

Berdasarkan rilis BPS, Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) total komoditas cabai merah pada tahun 2019 tercatat 16,53 persen.

Hal ini berarti ada kenaikan harga cabai merah dari produsen hingga konsumen akhir sebesar 16,53 persen.

Jika dibandingkan dengan tahun 2018, harga cabai merah di pedagang pengepul saja telah naik 18,41 persen, sementara di pedagang pengecer harga cabai merah naik 19,77 persen.

Jika dibandingkan dengan provinsi lain, Provinsi Bali pada tahun 2019 tercatat yang memiliki margin perdagangan dan pengangkutan paling rendah se-Indonesia.

Hal tersebut tak terlepas dari hasil kerja seluruh pihak terutama TPID Provinsi Bali. Salah satu yang dilakukan tim TPID, seperti misalnya yang dilakukan oleh Kabupaten Badung

adalah dengan menggunakan Control Atmosphere Storage (CAS) yaitu tempat penyimpanan hasil pertanian sehingga pada saat panen raya hasil pertanian

 dapat disimpan lebih lama untuk menghindari anjloknya harga, dan dapat dikeluarkan kembali saat harga telah membaik sehingga petani tidak sangat merugi.

Walaupun saat ini, kemampuan CAS untuk menyimpan komoditas cabai hanya 2 minggu dan bawang merah selama 3 bulan, setidaknya tempat penyimpanan ini dapat dioptimalkan penggunaannya untuk komoditas lainnya.

Masyarakat juga diharapkan dapat menanam sendiri cabai di pekarangan rumah atau bagi yang tidak mempunyai lahan dapat memulai dengan menanam di media pot, atau tanaman dalam pot yang sering disingkat tambulapot.

Tak perlu mahal, biji cabe yang sedianya digunakan untuk memasak bisa disisihkan sedikit untuk dijadikan bibit.

Pada saat seperti sekarang, cabai hasil menanam sendiri tentu sangat menghemat pengeluaran rumah tangga.

Dengan berkurangnya permintaan di pasaran, diharapkan harga akan menjadi normal kembali.

Tak hanya itu, kita bisa belajar atau mengadopsi tata cara masyarakat negeri China dalam menyimpan hasil panen dan pengolahannya.

Salah satunya adalah dengan mengolah cabai segar pada saat panen raya, sebagiannya diolah menjadi cabai bubuk, atau cabai dalam bentuk pasta, sehingga dapat bertahan lebih lama.

Dengan demikian akan menghindari kejadian petani enggan memanen hasil pertaniannya atau membuang hasil panennya karena terlalu murah dan merugi.

Konsumen akhirpun akan dapat menikmati pedasnya rasa cabai tanpa harus memikirkan “panas”nya harga cabai di pasaran.

Setidaknya dapat menjadi pilihan ibu-ibu dalam memasak pada saat pasokan cabai di pasaran berkurang dan harganya mulai merangkak naik.

Diharapkan pada saat demikian, permintaan terhadap cabai segar sedikit berkurang dan stabilisasi harga cabai dapat terus berlangsung sepanjang tahun.

Selain itu, pengolahan bumbu menjadi dalam bentuk bubuk atau pasta dapat menjadi peluang bisnis baru untuk skala usaha kecil menengah dan rumah tangga.

Diharapkan dengan makin berkembangnya inovasi-inovasi usaha, perekonomian Bali dapat lebih baik ke depan.

Dalam mengimplementasikan berbagai usaha tersebut diperlukan sinergi dan kerja sama dari berbagai pihak.

Tidak saja pemerintah sebagai pengambil kebijakan, tetapi dari petani, produsen bahkan konsumen hendaknya bekerja sama sehingga dapat menguntungkan semua pihak mendapatkan rasa pedas dan harga yang sesuai selera. (*)

 

   

Ni Luh Putu Dewi Kusumawati, SST, M.Si

Statistisi di Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/