TABANAN – Bila kenaikan harga cabai akhir-akhir ini membuat pening kepala konsumen, tak terkecuali ibu-ibu rumah tangga, tidak demikian dengan petani cabai. Dewa Putu Wimpie Wardhiana, petani muda dari Banjar Kembang Mertha, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Tabanan ini justru sedang bungah.
Petani berusia 26 tahun ini kecipratan berkah dari kenaikan harga cabai yang menembus Rp100 ribu per kilogram. Kebetulan saja, dia saat ini menanam cabai rawit di lahan 5 are di dekat Danau Beratan, Bedugul. Per tiga hari, Wimpie panen antara 15 kilogram sampai 20 kilogram.
“Saya jual cabainya ke Pasar Kreneng (Denpasar, Red). Ada bibi saya yang jualan ke sana,” terang Wimpie kepada radarbali.id, Rabu (10/3).
Wimpie mengaku mulai panen cabai awal Januari 2021 lalu, setelah tanamannya berusia sekitar empat bulan. Saat pertama kali panen, harga cabai sekitar Rp60 ribu per kilogram di pasaran. Sejak Februari, harganya terus merangkak naik hingga dalam beberapa pekan ini menembus Rp100 ribu.
“Sempat Rp120 ribu per kilogram. Sekarang sudah turun lagi, sekitar Rp100 ribu per kilogram di pasaran,” terangnya.
Memang, Wimpie tidak mendapatkan harga bersih sebesar itu. Katanya, ada selisih harga dari petani dengan pedagang atau pengepul. Dia menjual Rp90 ribu per kilogram. Namun, itu sudah membuat dia untung besar. Bila tiga hari sekali panen 15 sampai 20 kilogram, dia bisa meraup Rp13,5 juta hingga Rp18 juta dalam sebulan.
“Penghasilan yang lumayan di tengah anjloknya harga sayuran untuk hotel,” kata Wimpie.
Panen ini sudah berlangsung tiga bulan. Jika perawatannya baik, Wimpie mengaku bisa panen sampai setahun. Meski demikian, ketika usia cabai semakin menua, ukuran buah cabai akan semakin mengecil, sehingga panen per tiga harinya akan menurun dihitung berdasar beratnya.
Sarjana Filsafat dari Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar ini mengaku beruntung memiliki pergaulan yang luas. Ia mencari informasi dari berbagai sumber terkait kondisi pandemi Covid-19 yang melanda dunia, dan Indonesia serta khususnya Bali dan memukul dunia pariwisata. Padahal, lesunya dunia pariwisata telah memukul pertanian khususnya sayuran yang menyuplai kebutuhan hotel dan restoran.
“Saat itu saya berkesimpulan pandemi ini akan berlangsung lama. Makanya saya tanam sayuran untuk konsumsi lokal. Ya, cabai ini,” tuturnya.
Kena PHP Pemerintah
Sikap Wimpie ini sedikit berbeda dengan sebagian besar petani sayuran di Bedugul. Bahkan ayahnya sendiri, Dewa Putu Adnyana. Kata dia, petani di Bedugul masih tetap menanam sayuran untuk konsumsi tamu hotel dan restoran. Saat itu, para petani berasumsi pariwisata akan segera bangkit, sehingga bisa menyerap sayuran dari Bedugul.
“Waktu itu banyak yang kena PHP (pemberi harapan palsu, Red). Dibilang pariwisata (mancanegara) akan dibuka Januari 2021. Maka mereka (petani) lebih memilih sayuran untuk hotel. Dan ternyata, sampai saat ini pariwisata masih hancur,” katanya.
Dan benar saja, secara realita, harga sayuran untuk hotel dan restoran saat ini sedang sangat jatuh. Dia mencontohkan selada hanya Rp2.000 per kilogram yang normalnya (sebelum Covid-19) seharga Rp15-20 ribu per kilogram, atau paprika yang Rp5.000 per kilogram walau normalnya Rp25-30 ribu per kilogram.
“Saya sudah sempat ngasih tahu bapak (untuk tanam cabai), tapi gak percaya. Petani lain juga sempat saya ajak, tapi gak mau. Karena mereka kena PHP dari pemerintah,” tuturnya.
Memang, aku Wimpie, sayuran hotel hasilnya lumayan besar. Itu bila dalam kondisi pariwisata masih normal. Dia mencontohkan, menanam daun mint saja bisa menghasilkan Rp300 ribu per hari. Perawatannya juga mudah. Atau tanaman paprika, selada, parsley (peterseli), dan lainnya.
“Mungkin karena kena PHP dan belum bisa move on. Karena tanam sayuran hotel itu enak. Itu kalau pariwisata normal. Tapi kalau masih begini, ya, susah,” kelakar pemuda yang juga membuka usaha tempat camping dan budidaya ikan ini.
Menanam cabai sejatinya menjadi hal yang baru bagi Wimpie. Sebelum pariwisata bangkrut karena pandemi Covid-19, dia juga menanam sayuran untuk hotel. Tidak pernah menanam cabai. Tapi, pandemi yang membuat dia harus menyesuaikan diri. Memprediksi tanaman apa yang masih menghasilkan di tengah pandemic Covid-19. Dan prediksinya tepat. Tanaman cabainya membuahkan hasil yang lumayan.
Bicara biaya produksi, Wimpie membuka rahasia. Ia mengaku tak mengeluarkan kocek yang besar. Dia membuat bibit sendiri dari membeli cabai yang diambil bijinya dan dikeringkan. Plastiknya pakai plastik bekas yang sudah dia punya tiga tahun silam. Soal pupuk, dia menggunakan pupuk kompos dari kotoran hewan. Dan lahannya, dia punya sendiri.
“Biaya produksinya murah. Saya mengeluarkan paling sekitar Rp1 juta,” pungkasnya.