DENPASAR – Masalah sampah di Pantai Kuta dan sekitarnya sering menjadi persoalan, apalagi ketika musim angin barat atau akhir tahun. Sering muncul tudingan bahwa sampah itu datang dari daerah luar Bali.
Padahal, hasil penelitian tim dari Universitas Udayana membuktikan bahwa sampah-sampah itu juga datang dari Bali sendiri. Terutama sampah yang terbawa melalui sungai-sungai di Badung, Tabanan hingga Jembrana yang muaranya di pantai selatan Bali.
“Itu sampah dari kita (Bali) juga. Bisa juga dari luar Bali. Sampah di laut tidak punya teritori, seperti kalau sudah sampai Bali kembali lagi. Bisa saja dari Sumatera, Jawa, atau negara lain. Tapi, yang pasti itu dari Bali sendiri,” jelas peneliti dari Unud, I Gede Hendrawan, S.Si., M.Si., Ph.D., dalam diskusi yang digelar Warmadewa Research Center (WaRC) dan Balebengong melalui Zoom Meeting, Sabtu (13/2) siang.
Karena itu, lanjut dia, penanganan sampah di Kuta dan sekitarnya, tidak bisa ditangani oleh Kabupaten Badung sendiri. Badung, katanya, harus bekerja sama dengan daerah lain untuk mengatasi sampah.
“Mengatasi sampah di Pantai Kuta tidak hanya bisa dilakukan Badung sendiri. Badung bisa bekerja sama dengan kabupaten lain,” kata Hendrawan.
Hendrawan menyatakan, dengan kemampuan keuangan Badung, mestinya Badung bisa membagi dana ke daerah lain khusus dalam penanganan sampah. Dalam hal ini, bagi hasil pajak hotel dan restoran (PHR) dari Badung kepada enam kabupaten lain di Bali, mestinya sebagian bisa dikhususnya untuk penanganan sampah.
“Kalau Badung bisa bagi-bagi uang ke daerah lain, juga mestinya bisa bagi-bagi uang untuk atasi sampah di daerah lain,” jelasnya dalam diskusi yang dipandu Luhde dari Balebengong ini.
Jika hal itu bisa dilakukan Badung, katanya, maka persoalan sampah yang membanjiri pantai di Badung, khususnya kawasan Kuta, bisa diatasi lebih signifikan. Persoalannya, sejauh ini dia melihat belum ada tindakan yang signifikan dalam penanganan sampah.
Diskusi itu menghadirkan dua narasumber lain. Yakni Hermawan Some dari Aliansi Zero Waste Indonesia dan I Made Kris Adi Astra. Dari diskusi itu juga terungkap bahwa persoalan sampah di laut harus diatasi di sumbernya. Yakni di darat.
Hermawan menegaskan, persoalan sampah harus tetap diatasi dengan 3R. Reduce, Reuse, dan Recycle. Kata dia, 3R ini harus berurutan. Sebisa mungkin melakukan reduce, yakni mengurangi sampah. Kalau tetap ada sampah maka diusahakan untuk digunakan kembali (Reuse), dan kalau tidak bisa digunakan kembali agar bisa dididaur ulang (Recycle).
Diakui, Pergub Bali terkait penanganan sampah sudah bagus. Di antaranya menyelesaikan sampah dari sumbernya. Yang menjadi tantangan adalah implementasi dari Pergub itu.
Agar pengelolaan sampah bisa berjalan baik, maka menurut Hermawan harus melakukan lima aspek. Yakni aspek teknis operasional, aspek kelembagaan, aspek peran serta masyarakat, aspek hukum dan peraturan, serta aspek pembiayaan. Dia menyebutkan, aspek pembiayaan sering menjadi kendala. Bahkan, di Indonesia, pembiayaan untuk persampahan masih sangat kecil. Masih di bawah Rp50 ribu per ton. Padahal, idealnya di atas Rp180 ribu per ton.
Dari aspek hukum, sebetulnya sudah ada UU 18 tahun 2008 dan PP 81 tahun 2012. Dan banyak daerah, seperti di Bali yang sebetulnya sudah mengadopsi Perundang-undangan di atas. Masalahnya adalah implementasi Perda itu yang masih belum berjalan maksimal. Terkait partisipasi masyarakat juga belum merata. Yakni memilah dan mengolah sampah dari sumber, dan melakukan pengurangan timbuulan sampah.
Dalam aspek kelembagaan, diakui Hermawan ada perubahan dari Dinas Kebersihan digabung ke dalam Dinas Lingkungan Hidup. Dari yang dulunya sektor kebersihan berdiri sendiri, digabung dengan LH. Sehingga, dinas ini mengurusi dua sektor yang lumayan berat.
Dan yang terakhir dalam pengelolaan sampah adalah dari sisi aspek teknis adalah pilihan teknologi yang ramah lingkungan. Sebagai contoh di Bali, saat ini sedang mendorong adanya PSEL (Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik) atau yang dulu disebut Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Dalam satu sisi, persoalan sampah akan cepat diatasi, namun PSEL yang mengandalkan insinerator, yakni metode pembakaran, masih pro-kontra dari sisi gas buang hasil pembakaran yang menurut beberapa penelitian dapat membahayakaan kesehatan dan lingkungan.