CELUKAN BAWANG – Kapal layar Rainbow Warrior milik Greenpeace, menurunkan jangkar di Perairan Celukan Bawang, Selasa (17/4) siang.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke Jakarta, kapal tersebut sengaja singgah di Celukan Bawang untuk mendukung perlawanan warga terhadap rencana pembangunan PLTU tahap dua.
Kapal berbendera Belanda tersebut sampai di perairan Celukan Bawang sekitar pukul 14.00 siang. Awak kapal menurunkan jangkar, sekitar 500 meter dari bibir Pantai Berombong.
Setelah menggulung layar, awak kapal langsung membentangkan sebuah spanduk dengan tulisan “Bali Go Renewable”.
Begitu kapal menurunkan jangkar, warga yang sudah siaga di pinggir pantai, langsung menurunkan perahu dan mendekati kapal.
Warga juga membawa bendera kuning dengan tulisan “Tolak PLTU Batu Bara”. Bendera itu dipasang di ujung perahu. Ada pula yang sengaja mengibarkannya.
Beberapa warga lainnya juga membawa spanduk dengan ukuran besar. Masing-masing bertuliskan “End Coal, Go Renewable”, “Break Free From Coal”, dan “Laut Sehat Tanpa Batu Bara”.
Pembentangan spanduk dan pengibaran bendera itu sebagai bentuk perlawanan dan penolakan rencana pembangunan PLTU Batu Bara dengan kapasitas 2×380 megawatt yang rencananya dibangun di sebelah barat PLTU Celukan Bawang.
Selain itu di atas kapal, masyarakat yang tergabung dalam wadah Paguyuban Masyarakat Peduli Lingkungan (PMPL) Buleleng juga membacakan sebuah pernyataan sikap.
Mereka menolak keras pembangunan PLTU baru. Paguyuban meyakini pembangunan PLTU hanya menambah masalah yang ada saat ini, serta berpotensi menimbulkan masalah baru.
Paguyuban juga meyakini kebutuhan listrik di Bali bisa dipenuhi dari sumber yang lebih berpihak pada alam dan masyarakat.
Konon sejak berdirinya PLTU Celukan Bawang, nelayan harus mencari ikan lebih jauh ke tengah laut. Produksi kelapa petani juga menurun bahkan tanamannya nyaris meranggas mati.
“Kami intinya hanya menolak batu bara, bukan menolak pembangkit listriknya. Terutama pembangkit listrik yang akan dibangun ini.
Untuk yang sudah berdiri, kami dan masyarakat meminta agar dampak dari pembangkit yang sudah berdiri ini ditekan seminimal mungkin.
Kalau yang pembangkit listrik yang kedua ini menggunakan batu bara, jelas kami menolak. Karena kami sudah pernah merasakan dampaknya,” kata Ketua PMPL Buleleng, Ketut Mangku Wijana.