PEDAWA – Sempat punah, krama (warga) Pengempon Pura Puncak Sari, Desa Pedawa, Buleleng kembali menanam komoditas padi gogo.
Padi gogo sendiri warga setempat sempat ditanam dan dibudidayakan pada tahun 1971 silam.
Namun karena desakan ekonomi, warga kemudian memilih untuk beralih ke komoditas perkebunan seperti kopi, coklat dan cengkih yang lebih memiliki nilai ekonomis tinggi.
Kini, pada gogo mulai dibudidayakan lagi. Bahkan padi yang mampu hidup liar itu kembali ditanam wrga di tanah tegalan seluas delapan are.
Penglingsir Pengempon Pura Puncak Sari, Wayan Dasar ditemui, Rabu (19/12) mengatakan krama sengaja menanam padi gogo untuk memenuhi kebutuhan pura selama pujawali.
“Kalau hanya menanam padi gogo di tegalan, panennya paling cepat enam bulan sekali. Hitung-hitungan ekonomi juga kalah dengan kopi, cokelat, dan cengkih,” kata wayan Dasar.
Nantinya pujawali di pura akan berlangsung pada sasih kaulu. Beras dari padi gogo menjadi elemen penting dalam prosesi pujawali.
Selama pujawali krama akan menghaturkan nasi yang berasal dari padi gogo. Nasi kemudian ditambahkan sejumlah lauk dan sayur mayur.
Selanjutnya sesaji itu dipersembahkan pada Ida Bhatara Sri Rambut Sedana yang berstana di Pura Puncak Sari.
Persembahan itu juga akan dimakan bersama oleh para penyungsung pura.
“Selama ini kalau pujawali tetap pakai padi gogo, tapi harus beli. Itu juga belinya sulit, karena di Bali jarang sekali ada. Ini bibitnya saja beli di Flores,” jelasnya.
Sebagai elemen penting untuk pujawali, maka seluruh proses penanaman dilakukan dengan serangkaian ritual.
Mulai dari proses pembibitan, penanaman, hingga nantinya pada masa pasca-tanam.
Biasanya 20 hari setelah menanam, akan dilanjutkan dengan ritual membuat stana Dewi Sri di ladang.
Krama pun diharapkan secara rutin menanam padi gogo untuk kebutuhan pujawali. Sehingga krama tak lagi mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pujawali.
Terlebih sejumlah upacara yang berkaitan dengan dewa yadnya, manusa yadnya, serta pitra yadnya juga menggunakan biji padi gogo.