28.1 C
Jakarta
22 November 2024, 19:37 PM WIB

Banjir Badang Bikin Jalur Nasional Lumpuh, Evaluasi Tata Kelola Hutan

NEGARA – Banjir bandang yang menerjang Sungai Biluk Poh, Sabtu (22/12) lalu, menurut aktivis gerakan pembaruan agraria I Gusti Ngurah Komang Karyadi, menjadi penanda bahwa hutan, tanah dan sungai Jembrana kian kritis.

Bencana ini semestinya menjadi titik balik kesadaran bagi segenap warga untuk merubah perilaku dalam mengelola hutan, tanah, daerah aliran sungai (DAS), dan lingkungan.

Pria asal Desa Mendoyo Dauh Tukad, Kecamatan Mendoyo, ini menyebut setelah terjadi banjir bandang muncul kritik terhadap kritisnya hutan di utara Jembrana dan pemanfaatan hutan, yang tengah dicanangkan menjadi hutan desa atau adat.

Namun, menurutnya, kurang elok memberi cap buruk kepada masyarakat penyangga yang memanfaatkan hutan seperti dengan sistem hutan sosial atau desa, sedangkan yang terkena dampak warga di hilir.

”Persoalan mendasar di sini, di mana negara tidak hadir dalam memberdayakan masyarakat tepian hutan,” terang mantan aktivis 98 ini.

Menurutnya, ada persoalan kesenjangan ekonomi atau kemiskinan akibat jatuhnya harga komoditas perkebunan rakyat dan terbatasnya lahan.

Diharapkan dengan dana desa yang cukup besar dari pusat, kepentingan masyarakat terutama penyangga hutan khususnya di Jembrana lebih diutamakan, sehingga tidak merambah hutan untuk pembukaan lahan.

Terkait dengan adanya peraturan mengenai hutan desa dari Kementerian Kehutanan, serta Perpres No. 86 Tahun 2018 mesti dilaksanakan secara hati-hati dan bertahap.

Pelaksanaannya harus belajar dari pengalaman di Tenganan, Karangasem. Di mana praktik hutan adat bukan menambah komoditas baru, tapi membuat nilai tambah dari produk hutan yang ada, seperti buah-buahan, olahan dan kerajinan.

Karena itu, perlu evaluasi menyeluruh dalam tata kelola hutan di Jembrana. Kebijakan “zero visit” yang pernah dilaksanakan di era kepemimpinan Bupati Jembrana I Gede Winasa harus dilaksanakan secara maksimal.

“Tidak hanya hangat-hangat tai ayam. Sekaligus waspada dengan perlindungan terselubung yang sarat korupsi kolusi dan nepotisme, serta aksi tikus-kucing antara pengawen dengan petugas,” terangnya.

Disamping itu, dalam pelaksanaannya harus ada lembaga yang punya aturan kuat seperti desa adat dengan awig-awig yang mengatur terkait pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan.

Termasuk disertakan sanksi-sanksi tegas jika dilanggar.

NEGARA – Banjir bandang yang menerjang Sungai Biluk Poh, Sabtu (22/12) lalu, menurut aktivis gerakan pembaruan agraria I Gusti Ngurah Komang Karyadi, menjadi penanda bahwa hutan, tanah dan sungai Jembrana kian kritis.

Bencana ini semestinya menjadi titik balik kesadaran bagi segenap warga untuk merubah perilaku dalam mengelola hutan, tanah, daerah aliran sungai (DAS), dan lingkungan.

Pria asal Desa Mendoyo Dauh Tukad, Kecamatan Mendoyo, ini menyebut setelah terjadi banjir bandang muncul kritik terhadap kritisnya hutan di utara Jembrana dan pemanfaatan hutan, yang tengah dicanangkan menjadi hutan desa atau adat.

Namun, menurutnya, kurang elok memberi cap buruk kepada masyarakat penyangga yang memanfaatkan hutan seperti dengan sistem hutan sosial atau desa, sedangkan yang terkena dampak warga di hilir.

”Persoalan mendasar di sini, di mana negara tidak hadir dalam memberdayakan masyarakat tepian hutan,” terang mantan aktivis 98 ini.

Menurutnya, ada persoalan kesenjangan ekonomi atau kemiskinan akibat jatuhnya harga komoditas perkebunan rakyat dan terbatasnya lahan.

Diharapkan dengan dana desa yang cukup besar dari pusat, kepentingan masyarakat terutama penyangga hutan khususnya di Jembrana lebih diutamakan, sehingga tidak merambah hutan untuk pembukaan lahan.

Terkait dengan adanya peraturan mengenai hutan desa dari Kementerian Kehutanan, serta Perpres No. 86 Tahun 2018 mesti dilaksanakan secara hati-hati dan bertahap.

Pelaksanaannya harus belajar dari pengalaman di Tenganan, Karangasem. Di mana praktik hutan adat bukan menambah komoditas baru, tapi membuat nilai tambah dari produk hutan yang ada, seperti buah-buahan, olahan dan kerajinan.

Karena itu, perlu evaluasi menyeluruh dalam tata kelola hutan di Jembrana. Kebijakan “zero visit” yang pernah dilaksanakan di era kepemimpinan Bupati Jembrana I Gede Winasa harus dilaksanakan secara maksimal.

“Tidak hanya hangat-hangat tai ayam. Sekaligus waspada dengan perlindungan terselubung yang sarat korupsi kolusi dan nepotisme, serta aksi tikus-kucing antara pengawen dengan petugas,” terangnya.

Disamping itu, dalam pelaksanaannya harus ada lembaga yang punya aturan kuat seperti desa adat dengan awig-awig yang mengatur terkait pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan.

Termasuk disertakan sanksi-sanksi tegas jika dilanggar.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/