29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 2:10 AM WIB

Warga Eks Timtim Tegas Menolak, Minta Pemerintah Tepati Janji

GEROKGAK– Warga eks transmigran Timor-Timur (kini Timor Leste, Red) dibuat gusar. Sebab pemerintah kembali menyodorkan opsi penyelesaian konflik melalui skema perhutanan sosial. Padahal warga hanya menagih hak mereka, yakni diberikan tapak tanah untuk pemukiman serta perkebunan.

 

Sabtu (29/1) warga Eks Tim-tim menggelar pertemuan di Balai Banjar Adat Bukit Sari. Warga melakukan finalisasi terhadap peta lahan yang masih berkonflik dengan pemerintah. Dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK).

 

Ketua Tim Kerja Pengungsi Eks Tim-tim Nengah Kisid mengungkapkan, warga sudah berjuang cukup lama untuk memperoleh haknya. Warga sudah sempat bertemu dengan Gubernur Bali dan Kepala Staf Presiden Moeldoko. Bahkan warga sudah 2 kali bertemu dengan Moeldoko.

 

Pertemuan pertama berlangsung di Jaya Sabha Rumah Jabatan Gubernur Bali, sementara pertemuan kedua berlangsung di Jimbaran.

 

“Waktu itu dari KSP mengiyakan. Dirjen Planologi KLHK juga begitu. Malah bilang akan jadi bingkisan tahun baru. Tapi sampai saat ini masih dalam proses,” kata Kisid saat ditemui di Desa Sumberklampok, Sabtu (29/1) pagi.

 

Belakangan warga dibuat gelisah. Pada Senin (24/1) lalu, sejumlah pihak yang mengatasnamakan Dinas Kehutanan Bali dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Denpasar, kembali mendatangi warga.

 

Saat itu pihak kehutanan kembali mengajukan opsi penyelesaian konflik lewat skema perhutanan sosial. Opsi itu disebut akan menjadi resolusi sekaligus contoh penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dengan kawasan hutan.

 

Saat itu pula warga menyatakan menolak. Sebab opsi perhutanan sosial bersifat parsial. Warga hanya memiliki hak pengelolaan atas lahan. Bukan hak kepemilikan. Hak pengelolaan itu juga bersifat sementara. Hanya selama 30 tahun.

 

“Kami jelas menolak sepenuhnya. Itu sudah sempat kami sampaikan di hadapan Pak KSP. Sekarang ada lagi tawaran seperti itu (perhutanan sosial). Semestinya tidak perlu lagi. Kami nyatakan itu sudah basi. Tidak usah dibawa-bawa lagi. Tuntutan kami itu SHM, sudah harga mati,” tegasnya.

 

Kini warga kembali menanti penyelesaian konflik agraria di Desa Sumberklampok. Khususnya bagi warga Eks Timtim. Konon tim terpadu dari KLHK yang turun kembali ke Desa Sumberklampok. Guna memastikan proses pelepasan kawasan hutan sudah sesuai dengan tahapan.

 

Sekadar diketahui, saat ini ada 107 kepala keluarga eks transmigran Timtim yang tinggal di Desa Sumberklampok. Mereka menempati lahan hutan produksi terbatas yang dikuasai Kementerian LHK. Warga menempati lahan tersebut setelah mengungsi dari Timtim pasca referendum. Saat menempati lahan tersebut, pemerintah lahan seluas 50 are untuk garapan dan 4 are untuk pemukiman.

 

Setelah 20 tahun menghuni lahan tersebut, warga tak kunjung mendapat kepastian soal hak kepemilikan tanah yang mereka kuasai.

 

Sejak Oktober lalu, warga kembali memperjuangkan kepastian status lahan tersebut. Mereka mengajukan permohonan penguasaan lahan seluas 136,96 hektare yang terdiri dari lahan garapan, rumah, bale banjar, subak, jalan produksi, sekolah, tempat ibadah, serta tanah ayahan desa adat.

 

GEROKGAK– Warga eks transmigran Timor-Timur (kini Timor Leste, Red) dibuat gusar. Sebab pemerintah kembali menyodorkan opsi penyelesaian konflik melalui skema perhutanan sosial. Padahal warga hanya menagih hak mereka, yakni diberikan tapak tanah untuk pemukiman serta perkebunan.

 

Sabtu (29/1) warga Eks Tim-tim menggelar pertemuan di Balai Banjar Adat Bukit Sari. Warga melakukan finalisasi terhadap peta lahan yang masih berkonflik dengan pemerintah. Dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK).

 

Ketua Tim Kerja Pengungsi Eks Tim-tim Nengah Kisid mengungkapkan, warga sudah berjuang cukup lama untuk memperoleh haknya. Warga sudah sempat bertemu dengan Gubernur Bali dan Kepala Staf Presiden Moeldoko. Bahkan warga sudah 2 kali bertemu dengan Moeldoko.

 

Pertemuan pertama berlangsung di Jaya Sabha Rumah Jabatan Gubernur Bali, sementara pertemuan kedua berlangsung di Jimbaran.

 

“Waktu itu dari KSP mengiyakan. Dirjen Planologi KLHK juga begitu. Malah bilang akan jadi bingkisan tahun baru. Tapi sampai saat ini masih dalam proses,” kata Kisid saat ditemui di Desa Sumberklampok, Sabtu (29/1) pagi.

 

Belakangan warga dibuat gelisah. Pada Senin (24/1) lalu, sejumlah pihak yang mengatasnamakan Dinas Kehutanan Bali dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Denpasar, kembali mendatangi warga.

 

Saat itu pihak kehutanan kembali mengajukan opsi penyelesaian konflik lewat skema perhutanan sosial. Opsi itu disebut akan menjadi resolusi sekaligus contoh penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dengan kawasan hutan.

 

Saat itu pula warga menyatakan menolak. Sebab opsi perhutanan sosial bersifat parsial. Warga hanya memiliki hak pengelolaan atas lahan. Bukan hak kepemilikan. Hak pengelolaan itu juga bersifat sementara. Hanya selama 30 tahun.

 

“Kami jelas menolak sepenuhnya. Itu sudah sempat kami sampaikan di hadapan Pak KSP. Sekarang ada lagi tawaran seperti itu (perhutanan sosial). Semestinya tidak perlu lagi. Kami nyatakan itu sudah basi. Tidak usah dibawa-bawa lagi. Tuntutan kami itu SHM, sudah harga mati,” tegasnya.

 

Kini warga kembali menanti penyelesaian konflik agraria di Desa Sumberklampok. Khususnya bagi warga Eks Timtim. Konon tim terpadu dari KLHK yang turun kembali ke Desa Sumberklampok. Guna memastikan proses pelepasan kawasan hutan sudah sesuai dengan tahapan.

 

Sekadar diketahui, saat ini ada 107 kepala keluarga eks transmigran Timtim yang tinggal di Desa Sumberklampok. Mereka menempati lahan hutan produksi terbatas yang dikuasai Kementerian LHK. Warga menempati lahan tersebut setelah mengungsi dari Timtim pasca referendum. Saat menempati lahan tersebut, pemerintah lahan seluas 50 are untuk garapan dan 4 are untuk pemukiman.

 

Setelah 20 tahun menghuni lahan tersebut, warga tak kunjung mendapat kepastian soal hak kepemilikan tanah yang mereka kuasai.

 

Sejak Oktober lalu, warga kembali memperjuangkan kepastian status lahan tersebut. Mereka mengajukan permohonan penguasaan lahan seluas 136,96 hektare yang terdiri dari lahan garapan, rumah, bale banjar, subak, jalan produksi, sekolah, tempat ibadah, serta tanah ayahan desa adat.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/