Ada banyak tradisi yang dihelat warga Hindu Bali khususnya di Karangasem.
Salah satunya tradisi tumpak atau tumpek Wariga atau Pengatag yang digelar warga Hindu Bali di Dusun Gariana Kangin, Duda Utara, Selat, Karangasem.
Ritual ini dihelat khusus untuk otonan atau upacara kelahiran (upacara ulang tahun) tumbuh-tumbuhan. Seperti apa ritual yang biasa digelar menjelang hari raya Galungan itu?
WAYAN PUTRA, Karangasem
Di Dusun Geriana Kangin, Duda Utara, Selat, Karangasem tumpak Pengatag dirayakan dengan sederhana namun penuh khidmat.
Meski status Gunung Agung berada di level III (Waspada), namun kondisi Gunung Agung yang belakangan sering mengalami erupsi itu tidak menghalangi warga untuk merayakan tumpak yang juga dikenal dengan tumpak Bubuh.
Perayaan tumpek Pangatag atau Ngatag di Geriana Kangin sendiri lain dari Desa lainya. Kalau di beberapa Desa menggunakan bubur sumsum, namun di Geriana Kangin menggunakan Tipat taluh (ketupat dan telur).
Dimana tipat taluh tersebut disematkan di dahan atau batang pohon dengan harapan agar pohon tersebut cepat berbuah dengan lebat. Sedangkan batang pohon di pukul-pukul sambil membaca doa “Kaki kaki bangun…Galungan bin selai..ged ged ged…(Kekek kekek ayu bagun Galungan lagi 25 hari berbuahlah yang lebat,”.
Sesambatan atau doa ini disampaikan agar tumbuh-tumbuhan yang memang di dunia ini di tuakan karena diyakini lebih dulu ada sebelum lahirnya manusia agar berbuah lebat menjelang hari raya Galungan.
Sehingga saat Galungan nanti, buahnya sudah bisa dipetik untuk bahan dan sarana upacara. Karena itu tumpak ini dikenal dengan tumpek Ngatag yang artinya menyampaikan pesan kalau Galungan sudah dekat.
Bagi warga Geriana Kangin yang sebagian kebun warga berada di radius 7 km sampai 8 km dari puncak Gunung Agung perayaan ngatag dilakukan pada pagi hari. Yang punya kebun langsung menuju kebun masing-masing sambil membaca sesaji.
Saat Gunung Agung ada padal level VI lalu warga Geriana Kangin dan sekitarnya sempat ngungsi.
Namun ketika tumpek ngatag mereka tetap berusaha merayakan.
Hanya saja saat itu perayaan dengan perasaan was was. Terlebih lagi saat itu Gunung Agung sedang aktif aktifnya. Dan pemerintah juga melarang warga untuk pulang kampung. Beberapa warga tetap pulang kampung untuk menggelar upacara saat itu.
Selaian tanaman yang usianya panjang, tanaman Salak juga termasuk yang menjadi prioritas utama untuk di upacari.
Maklum salak merupakan maskot warga setempat.
Pada awal awal tanaman Salak warga sempat merayakan Tumpek ngatag secara jor-joaran dengan memotong babi. Ngatag kali ini sendiri cukup aman bagi warga sehingga bisa merayakan dengan khusuk.
“Ngatag selalu kami lakukan setiap enam bulan, sementara besarnya upacara tergantung kemampuan,” tukas Ketut Wati warga Tukad Sabuh.