DENPASAR-Sosialisasi 4 pilar yang menjadi konsensus kebangsaan-Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika mendapat sambutan positif dari civitas akademika di IHDN Denpasar
Dibuka langsung Rektor IHDN, Prof. Dr IGN Sudiana, M.Si, yang menarik, acara sosialisasi yang dihadiri sekitar 228 dari 150 undangan (mahasiswa, pegawai, dosen, dekan, guru besar), Jumat (29/11) itu juga menghadirikan Anggota MPR RI dari Bali, I Wayan Sudirta, SH.
Kehadiran Sudirta mengejutkan civitas akademika, karena advokat senior murid pendekar hukum mendiang Adnan Buyung Nasution tersebut banyak menyitir nilai-nilai Hindu, seperti epos Mahabharata serta praktik beragama umat Hindu yang disebutnya sebagai perilaku sesuai ajaran agama, bukan sekadar hafalan sloka-sloka sucinya saja.
Sudirta menyebut Pancasila yang diramu dari kekayaan nilai budaya dan histori Nusantara oleh Bung Karno, sangat kaya dengan nilai-nilai budaya Nusantara, termasuk ajaran-ajaran Hindu.
Namun, untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila yang digali Bung Karno itu agar hadir nyata di masyarakat, perlu langkah nyata, serius dan gigih untuk meluruskannya dari penyimpangan selama Orde Baru.
Termasuk ‘’action’’ kalangan civitas akademika IHDN Denpasar, tidak cukup membiarkan elit politik di parlemen yang bersuara, tanpa suara, dan aspirasi kongkrit dari lapisan paling bawah.
‘’Memang, selama masa Orde Baru, Pancasila diselewengkan, dibuat jabaran rumusan yang kaku dalam P-4, pegawai harus hafal butir Pancasila yang disimpelkan menjadi 36, padahal nilai-nilainya sangat luas dan beragam. Padahal tidak seperti itu esensi Pancasila yang digali Bung Karno itu,’’ papar Sudirta.
Maka kata Sudirta, sangat penting mensosialisasikan kembali Pancasila 1 Juni 1945 sebagai dasar negara, bahwa kalau selama Orde Baru keadilan sosial tidak tercipta bukan karena salahnya Pancasila, tetapi kesalahan rezim yang justru menghasilkan regulasi dan kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila maupun yang dicita-citakan Bung Karno.
“Sekarang posisi Pancasila 1 Juni 1945 sudah lebih mantap dengan adanya Keppres. Ke depan, realisasi keadilan sosial diharapkan bisa lebih cepat lagi dengan omnibus law yang menyederhanakan 74 UU menjadi dua UU saja, yakni UU tentang ketenagakerjaan dan UU tentang UMKM,”jelasnya.
Selain itu, Sudirta juga menambahkan, semasa Orde Baru isi dari konstitusi UUD 1945 tidak dilaksanakan dengan benar.
Yang diproduksi banyak peraturan perundangan dan kebijakan yang tidak sesuai Pancasila serta UUD 1945.
“Coba tengok Undang-undang tentang pertambangan, tentang kehutanan, kebijakan pertanahan, regulasi tentang demokrasi dan perekonomian. Sangat banyak yang memihak kapitalisme dan merugikan kepentingan rakyat banyak,’’ kata Sudirta panjang lebar.
Namun, ada yang menuding Pancasila-nya yang tidak benar, serta mau menggantinya dengan ideologi lain.
‘’Ini saya tidak setuju, rakyat Indonesia tidak setuju,’’ katanya.
‘’Semasa Orde Baru, rakyat dan mahasiswa marah, lalu Orde Baru jatuh, berganti era Reformasi. Tapi tidak mudah merombak sistem dan regulasi yang merugikan rakyat, termasuk bagaimana mengembalikan agar Pancasila direalisasikan sungguh-sungguh untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Yang justru tumbuh, diantaranya adalah radikalisme dan terorisme yang mengancam keutuhan negara dan bangsa,’’ lanjut Sudirta.
Kata sudirta, masyarakat Bali sering dirujuk sebagai contoh baik, bagaimana warganya hidup dalam toleransi, kedamaian, persaudaraan, keadilan, musyawarah, persatuan, yang notabena merupakan aktualisasi dari nilai-nilai Pancasila 1 Juni 1945.
‘’Walaupun belakangan ini gejala radikalisme tumbuh, tapi ada sisi lain dimana NKRI masih bertahan, banyak tokoh-tokoh bangsa yang peduli keutuhan NKRI, menjaga Pancasila dan kembali mensosialisasikannya melalui langkah kongkret,
tapi juga merevisi regulasi-regulasi yang tidak adil dan merugikan masyarakat. Hanya saja, kita semua harus bergerak, tidak cukup mengandalkan elit-elit politik saja,’’ imbaunya.
Sudirta menyatakan, Presiden Joko Widodo dan kabinet serta partai pendukungnya, berupaya maksimal meluruskan penyimpangan tersebut.
‘’Di zaman Jokowi infrastruktur dibangun sampai ke Papua dan pelosok pulau lainnya. Harga bensin di Papua sama dengan di Jakarta, perbatasan dibangun secara serius. Tapi, memang belum sempurna karena ketimpangan yang ada merupakan dampak penyimpangan yang cukup lama,’’ imbuhnya.
Sudirta mendapat banyak titipan aspirasi serta pertanyaan yang meminta komitmen wakil rakyat dapil Bali tersebut.
Seorang mahasiswa menanyakan apa benar ada ancaman bahaya PKI seperti diramalkan kelompok tertentu termasuk ramai diwacanakan di media sosial, apa urgensi amandemen ke-5 terhadap UUD 1945, sampai sikap Sudirta terhadap wacana untuk ‘’memperpanjang’’ izin ormas FPI (Front Pembela Islam) yang ramai di media.
‘’Terhadap perpanjangan izin FPI seperti diwacanakan di media, saya dan kawan-kawan advokat pembela Pancasila, jelas tidak setuju, karena ormas ini punya rekam jejak kekerasan yang panjang di Tanah Air,’’ tukas Sudirta.