27.1 C
Jakarta
22 November 2024, 1:09 AM WIB

Tanah Desa Adat Dikuasai Investor, Krama Kubutambahan Tuding Ada Mafia

SINGARAJA– Sejumlah krama di Desa Adat Kubutambahan menggelar orasi di Balai Banjar Adat Kaje Kangin, Desa Adat Kubutambahan, Senin (31/1) pagi. Mereka menuntut polisi segera menuntaskan 5 pengaduan masyarakat/laporan polisi yang telah dilaporkan sejak tahun 2016 lalu. Krama juga menyebut ada mafia tanah, sehingga tanah duwen pura desa adat dapat dikuasai oleh investor.

 

Dalam aksi orasi itu, krama memasang 5 buah spanduk di sekitar bale banjar. Sebanyak 2 spanduk dipasang di depan bale banjar. Sementara 3 spanduk lainnya berada di dalam areal bale banjar.

 

Pada spanduk itu, krama mendesak agar polisi segera menindaklanjuti sejumlah laporan yang dilayangkan masyarakat. Di antaranya dilaporkan oleh Gede Sumenasa, Gede Suardana, I Gede Sujana Budi, dan Ketut Paang Swby. Seluruh laporan itu menjadikan Bendesa Adat Kubutambahan, Jro Pasek Ketut Warkadea sebagai terlapor.

 

Ketua Komunitas Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada), Ketut Ngurah Mahkota mengatakan, pihaknya sengaja menggelar orasi untuk menjelaskan kemelut yang ada di desa adat. Yakni kemelut penguasaan tanah duwen pura Desa Adat Kubutambahan. Ia menuding ada mafia tanah yang bermain, sehingga investor dapat menguasai lahan di Desa Adat Kubutambahan tanpa dibatasi waktu.

 

Mahkota yang juga Penglingsir Desa Adat Kubutambahan menyebut tanah sejatinya dikontrak selama 30 tahun. Namun, dapat diperpanjang hingga batas waktu yang tak ditentukan. Ia menegaskan krama hanya mengakui sewa kontrak tanah Desa Adat Kubutambahan yang berlaku hingga tahun 2031 dan 2032. Namun, bila diperpanjang, krama akan mengambil alih lahan tersebut.

 

“Sudah cukup 30 tahun itu. Kami tidak mengakui perpanjangan berikutnya. Kami akan terus berjuang lestarikan tanah duwen pura. Banyak krama yang tidak paham masalah ini. Jangankan krama, desa linggih saja banyak yang tidak paham,” kata Mahkota.

 

Sementara itu, Koordinator aksi, Gede Suardana menyebut pihaknya melihat ada mafia tanah yang bermain. Menurutnya dalam perjanjian sewa lahan, investor berjanji membangun sarana di bidang pariwisata. Faktanya hingga kini investor belum juga membangun.

 

“Jadi investor ini hanya cari SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan). Tujuannya hanya bobol bank. Begitu ada proyek bandara ini, digunakan sebagai alat memeras cari keuntungan di sana. Bayangkan hanya kontrak Rp 4 miliar, minta ganti rugi Rp 1,4 triliun. Apa itu nggak mafia namanya?” katanya.

 

Ia juga menyayangkan perjanjian kontrak tanpa batas waktu yang disetujui Bendesa Adat Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea. Perjanjian itu dipastikan merugikan krama desa. Dia pun mendesak agar satgas mafia tanah turun tangan melakukan penyelidikan di Kubutambahan.

“Ini api dalam sekam. Kalau polisi tidak beri keadilan dan pemerintah diam, akhirnya masalah ini akan meledak. Kami tidak mau kehilangan hak kelola tanah desa adat selamanya. Kalau mereka (investor, Red) bersikukuh menguasai, kami akan berjuang,” tukasnya.

SINGARAJA– Sejumlah krama di Desa Adat Kubutambahan menggelar orasi di Balai Banjar Adat Kaje Kangin, Desa Adat Kubutambahan, Senin (31/1) pagi. Mereka menuntut polisi segera menuntaskan 5 pengaduan masyarakat/laporan polisi yang telah dilaporkan sejak tahun 2016 lalu. Krama juga menyebut ada mafia tanah, sehingga tanah duwen pura desa adat dapat dikuasai oleh investor.

 

Dalam aksi orasi itu, krama memasang 5 buah spanduk di sekitar bale banjar. Sebanyak 2 spanduk dipasang di depan bale banjar. Sementara 3 spanduk lainnya berada di dalam areal bale banjar.

 

Pada spanduk itu, krama mendesak agar polisi segera menindaklanjuti sejumlah laporan yang dilayangkan masyarakat. Di antaranya dilaporkan oleh Gede Sumenasa, Gede Suardana, I Gede Sujana Budi, dan Ketut Paang Swby. Seluruh laporan itu menjadikan Bendesa Adat Kubutambahan, Jro Pasek Ketut Warkadea sebagai terlapor.

 

Ketua Komunitas Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada), Ketut Ngurah Mahkota mengatakan, pihaknya sengaja menggelar orasi untuk menjelaskan kemelut yang ada di desa adat. Yakni kemelut penguasaan tanah duwen pura Desa Adat Kubutambahan. Ia menuding ada mafia tanah yang bermain, sehingga investor dapat menguasai lahan di Desa Adat Kubutambahan tanpa dibatasi waktu.

 

Mahkota yang juga Penglingsir Desa Adat Kubutambahan menyebut tanah sejatinya dikontrak selama 30 tahun. Namun, dapat diperpanjang hingga batas waktu yang tak ditentukan. Ia menegaskan krama hanya mengakui sewa kontrak tanah Desa Adat Kubutambahan yang berlaku hingga tahun 2031 dan 2032. Namun, bila diperpanjang, krama akan mengambil alih lahan tersebut.

 

“Sudah cukup 30 tahun itu. Kami tidak mengakui perpanjangan berikutnya. Kami akan terus berjuang lestarikan tanah duwen pura. Banyak krama yang tidak paham masalah ini. Jangankan krama, desa linggih saja banyak yang tidak paham,” kata Mahkota.

 

Sementara itu, Koordinator aksi, Gede Suardana menyebut pihaknya melihat ada mafia tanah yang bermain. Menurutnya dalam perjanjian sewa lahan, investor berjanji membangun sarana di bidang pariwisata. Faktanya hingga kini investor belum juga membangun.

 

“Jadi investor ini hanya cari SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan). Tujuannya hanya bobol bank. Begitu ada proyek bandara ini, digunakan sebagai alat memeras cari keuntungan di sana. Bayangkan hanya kontrak Rp 4 miliar, minta ganti rugi Rp 1,4 triliun. Apa itu nggak mafia namanya?” katanya.

 

Ia juga menyayangkan perjanjian kontrak tanpa batas waktu yang disetujui Bendesa Adat Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea. Perjanjian itu dipastikan merugikan krama desa. Dia pun mendesak agar satgas mafia tanah turun tangan melakukan penyelidikan di Kubutambahan.

“Ini api dalam sekam. Kalau polisi tidak beri keadilan dan pemerintah diam, akhirnya masalah ini akan meledak. Kami tidak mau kehilangan hak kelola tanah desa adat selamanya. Kalau mereka (investor, Red) bersikukuh menguasai, kami akan berjuang,” tukasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/