34.7 C
Jakarta
30 April 2024, 13:24 PM WIB

Gedor-gedor Pintu, Warga Pendatang Keluhkan Pungutan Desa Adat

DENPASAR – Penduduk pendatang ternyata masih bingung dengan pungutan yang dilakukan sejumlah desa adat di Bali.

Padahal, sudah ada Perpres No 87 Tahun 2016 tentang Saber Pungli yang bertugas memberangus segala macam pungli di masyarakat.

Penduduk pendatang pun bertanya-tanya, kenapa desa adat masih menarik pungutan. Keresahan itu diutarakan salah satu penduduk pendatang.

Ditemui di tempat tinggalnya di Banjar Gelogor Carik, Desa Pekraman Pemogan, Denpasar Selatan, dia mengaku tiap bulan didatangi petugas ke kosnya.

Kedatangan para petugas banjar dengan pakaian seperti pecalang untuk  melakukan  pendataan penduduk pendatang (duktang) dan memungut dana iuran sebesar Rp 100 ribu.

Pungutan itu tertulis Penyangra Pemahayu Jagat/Pemarisula Bumi. Menurutnya, pungutan sebesar itu berlaku tiga bulan sekali.

Dalam kuitansi lengkap dengan tanda tangan oleh Kelian Banjar itu tertulis peruntukan dana untuk penyangra pemahayu jagat atau pemarisula bumi.

Ia melanjutkan, menurut keterangan petugas banjar yang datang itu, biaya administrasi yang dikenakan tersebut juga sekaligus untuk pembuatan Kartu Tanda Lapor Diri (KTLD) yang juga terus diperbaharui setiap 3 bulan sekali.

Dijelaskan dia, masa berlaku KTLD yang ia miliki tertanggal mulai tanggal 26 November 2018 hingga 26 Februari 2019.

“Setiap mengeluarkan KTLD itu dipungut biaya 100 ribu. Apabila terjadi keterlambatan atau masa berlaku kartu kadaluwarsa, akan ada dikenakan denda tersendiri,” katanya sembari memohon tidak menulis nama terangnya di media.

Yang dia heran, pendataan dan pungutan itu dilakukan terkesan kurang sopan. Diungkapkan. penagihan dilakukan secara door to door ke setiap pintu penghuni kost dengan menggedor-gedor pintu. 

Parahnya, petugas akan terus menggedor hingga dipastikan penghuni bangun atau sedang tidak berada di tempat. Bahkan, petugas  sampai memeriksa ke belakang kamar 

“Saya tidak memakai istilah barbaric disini. Tapi agak nyentrik juga sih teknisnya. Saya juga kurang paham apakah ini indikator premanisme

atau repressing. Tapi, bagi yang kedapatan bersembunyi akan ada ancaman hukum tersendiri dari mereka,” tambahnya.

Ia mengaku sejatinya, ia tidak mempermasalahkan soal nominal biaya yang dikenakan. Namun, dia akan merasa keberatan jika pungutan ini tidak didasarkan pada hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

Selama ini, ia mengaku belum tahu-menahu soal kejelasan payung hukum adat ini seperti apa. Sebab itu, ia ingin mempertanyakan kepastian legalitas hukum adat atau banjar di mata hukum negara.

“Jadi begini logikanya, kalau tindakan itu didasari hukum dan perundang-undangan yang berlaku saya tidak mempermasalahkan.

Tapi, kalau tindakan itu tanpa didasari hukum, ya bisa bayangkan berapa cash flow dari warga yang dirugikan secara materil dan dilakukan secara simultan ini,”  cetusnya.

 

DENPASAR – Penduduk pendatang ternyata masih bingung dengan pungutan yang dilakukan sejumlah desa adat di Bali.

Padahal, sudah ada Perpres No 87 Tahun 2016 tentang Saber Pungli yang bertugas memberangus segala macam pungli di masyarakat.

Penduduk pendatang pun bertanya-tanya, kenapa desa adat masih menarik pungutan. Keresahan itu diutarakan salah satu penduduk pendatang.

Ditemui di tempat tinggalnya di Banjar Gelogor Carik, Desa Pekraman Pemogan, Denpasar Selatan, dia mengaku tiap bulan didatangi petugas ke kosnya.

Kedatangan para petugas banjar dengan pakaian seperti pecalang untuk  melakukan  pendataan penduduk pendatang (duktang) dan memungut dana iuran sebesar Rp 100 ribu.

Pungutan itu tertulis Penyangra Pemahayu Jagat/Pemarisula Bumi. Menurutnya, pungutan sebesar itu berlaku tiga bulan sekali.

Dalam kuitansi lengkap dengan tanda tangan oleh Kelian Banjar itu tertulis peruntukan dana untuk penyangra pemahayu jagat atau pemarisula bumi.

Ia melanjutkan, menurut keterangan petugas banjar yang datang itu, biaya administrasi yang dikenakan tersebut juga sekaligus untuk pembuatan Kartu Tanda Lapor Diri (KTLD) yang juga terus diperbaharui setiap 3 bulan sekali.

Dijelaskan dia, masa berlaku KTLD yang ia miliki tertanggal mulai tanggal 26 November 2018 hingga 26 Februari 2019.

“Setiap mengeluarkan KTLD itu dipungut biaya 100 ribu. Apabila terjadi keterlambatan atau masa berlaku kartu kadaluwarsa, akan ada dikenakan denda tersendiri,” katanya sembari memohon tidak menulis nama terangnya di media.

Yang dia heran, pendataan dan pungutan itu dilakukan terkesan kurang sopan. Diungkapkan. penagihan dilakukan secara door to door ke setiap pintu penghuni kost dengan menggedor-gedor pintu. 

Parahnya, petugas akan terus menggedor hingga dipastikan penghuni bangun atau sedang tidak berada di tempat. Bahkan, petugas  sampai memeriksa ke belakang kamar 

“Saya tidak memakai istilah barbaric disini. Tapi agak nyentrik juga sih teknisnya. Saya juga kurang paham apakah ini indikator premanisme

atau repressing. Tapi, bagi yang kedapatan bersembunyi akan ada ancaman hukum tersendiri dari mereka,” tambahnya.

Ia mengaku sejatinya, ia tidak mempermasalahkan soal nominal biaya yang dikenakan. Namun, dia akan merasa keberatan jika pungutan ini tidak didasarkan pada hukum dan perundang-undangan yang berlaku.

Selama ini, ia mengaku belum tahu-menahu soal kejelasan payung hukum adat ini seperti apa. Sebab itu, ia ingin mempertanyakan kepastian legalitas hukum adat atau banjar di mata hukum negara.

“Jadi begini logikanya, kalau tindakan itu didasari hukum dan perundang-undangan yang berlaku saya tidak mempermasalahkan.

Tapi, kalau tindakan itu tanpa didasari hukum, ya bisa bayangkan berapa cash flow dari warga yang dirugikan secara materil dan dilakukan secara simultan ini,”  cetusnya.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/