LEGIAN – Untuk memberikan pemahaman tentang lingkungan, Solidaritas Legian Peduli (Solid) mengadakan acara diskusi bertajuk “Masa Depan Pesisir Legian dalam Rencana Zonasi Wilayah Perairan dan Pulau-Pulau Kecil ”.
Gelaran diskusi ini sebagai bentuk dari serangkaian acara Ulang Tahun Solid yang ke – 3. Diskusi yang mengajak Yowana Manggala Desa Adat Legian yang membawahi
3 Sekaa Teruna –Teruni yang ada di Desa Adat Legian ini digelar di Balai Banjar ST. Wija Adnya Br. Pekandelan Legian Tengah, Minggu (5/5) lalu.
Diskusi ini melibatkan WALHI Bali dan ForBALI. Suriadi Darmoko Dewan daerah WALHI Bali memberikan pemaparan terkait rencana pertambangan pasir yang akan di lakukan di seputar wilayah pantai Legian hingga Canggu.
Moko panggilan akrabnya, menjelaskan bagaimana proses tambang pasir telah ada dalam draft RZWP3K dan sudah memiliki izin eksplorasi.
RZWP3K rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan
pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dari 0 sampai 12 mil.
Moko juga memberikan contoh bagaimana tambang pasir laut amat memberikan dampak negatif terhadap wilayah pesisir.
Seperti yang telah dilakukan di Banten dan tambang pasir laut di Makassar yang menimbulkan dampak negatif pada 14 desa sekitar di tempat dilakukannya tambang pasir di Makassar.
Moko juga menjelaskan bahwasannya sepanjang pantai di selatan Bali mengalami abrasi akibat reklamasi bandara dan bahkan ada pura yang bernama Pura Cedok Waru
yang sampai mengalami tiga kali pemindahan akibat terkena abrasi yang disebabkan oleh reklamasi Bandara Ngurah Rai pada tahun 1960an.
Di dalam diskusi ini juga hadir Wayan Gendo Suardana yang merupakan Dewan Nasional WALHI sekaligus koordinator ForBALI.
Gendo mempertanyakan mengapa elemen desa adat tidak pernah diajak berdiskusi dalam hal penyusunan draft RZWP3K oleh dinas terkait terlebih kegiatan atau proyek
tersebut akan terdampak pada suatu wilayah yang dalam hal ini adalah kegiatan tambang pasir yang akan dilakukan di sepanjang wilayah pantai Desa Adat Legian sampai Canggu.
“Ini prosesnya sudah tidak benar, mestinya Desa Adat Itu dilibatkan dalam penyusunan draft RZWP3K ini,” tegasnya.
Minimal mesti dilibatkan dan idealnya pemerintah mesti melakukan diskusi dan konsultasi khusus dengan cara turun langsung seperti apa yang di lakukan saat ini.
Gendo juga menjelaskan tidak anti terhadap pembangunan. Melainkan mencoba untuk mengkritisi sebagai penyeimbang,
apakah proyek-proyek yang direncanakan itu memang sesuai dengan kebutuhan atau hanya pemaksaan untuk menjalankan keinginan investasi.
Lebih lanjut dalam penyusunan draft tersebut WALHI sudah mampu menetapkan wilayah Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim.
Dalam konteks tambang pasir yang akan dilakukan di kawasan Pantai Legian hingga Canggu setelah WALHI Bali melakukan protes,
rencana tambang pasir yang tadinya akan dilakukan seluas 1900 hektare itu berkurang 1000 hektare dan akhirnya yang masuk hanya 900 hektare.
“Kita semua mesti terus berjuang agar rencana tambang pasir ini menjadi berkurang dari 900 hektare menjadi nol hektare alias tambang pasir tidak jadi dilakukan,” ajak Gendo.
Pekikan kesiapsediaan untuk melawan rencana tambang pasir ini mendapat respons yang semangat dari STT yang hadir pada saat diskusi berlangsung.
Terlebih Penglingsir dari Solid Legian Anak Agung Bajra turut hadir dan memberikan support agar generasi muda mesti bergerak untuk memperjuangkan kelangsungan lingkungan yang lebih baik.
Diskusi juga dihadiri oleh Sekretaris Desa Adat Legian I Wayan Sunadi, SE. Sunadi mengapresiasi usaha WALHI Bali beserta ForBALI dalam memberikan pemahaman terkait pentingnya
mengkritisi penyusunan draft RZWP3K. Sunadi juga menginstruksikan STT. Wija Adnya khususnya agar segera mengirimkan surat kepada dinas terkait guna merespons kegiatan tambang pasir ini.