KUTA – Lebih dari 350 peneliti dan pemerhati entomologi dari berbagai negara termasuk Jepang, Cina, Arab Saudi, Australia,
Malaysia, Turki, hingga Yunani datang ke Bali untuk mengikuti ajang International Conference & Congress of Entological Society of Indonesia.
Mengambil tema “Learning from the Past, Adapting for the future: Advancements in Ethnoentomology and Entomological Sciences for Food Security and Health”.
Mereka membahas pengembangan sains entomologi atau ilmu serangga di Kuta, Senin (7/10).
Staf Ahli Menteri Pertanian, Antarjo Dikin, mengatakan, ketahanan pangan nasional adalah tulang punggung bangsa dan menjadi salah satu indikator kesejahteraan rakyat Indonesia.
Jika ketahanan pangan ini tidak terjaga, dalam jangka panjang rakyat Indonesia akan jatuh ke dalam kesengsaraan dan kemiskinan,
sehingga akan berpengaruh kepada kinerja ekonomi dan berdampak pada munculnya berbagai masalah sosial.
Namun, faktor pembatas produksi pangan khususnya serangan hama acapkali menjadi kendala di lapangan.
“Entomologi atau ilmu tentang serangga menjadi signifikan untuk menopang ketahanan pangan nasional,” kata Antarjo.
Menurutnya, tantangan terkini yang dihadapi dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional salah satunya adalah adalah serangan hama.
Hama mengganggu proses pertumbuhan tanaman sehingga produktivitas tanaman penghasil bahan pangan termasuk padi, hortikultura, dan perkebunan akan terhambat.
Hal ini tentu saja menyebabkan ketersediaan bahan pangan nasional akan sangat terganggu sehingga dapat mengancam kesejahteraan masyarakat.
“Jika tidak segera ditangani dengan baik dalam jangka panjang akan mengancam keberlanjutan produktivitas pangan.
Oleh karena itu penelitian yang menunjang pengendalian hama ramah lingkungan dan bersifat jangka Panjang menjadi urgent,” tegasnya.
Ketua Perhimpunan Entomologi Indonesia Prof Damayanti Buchori mengatakan, untuk mengatasi masalah hama, optimalisasi peran serangga berguna perlu mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah.
Di dunia ini, sebenarnya sebagian besar serangga merupakan serangga berguna yang bukan saja dapat dioptimalkan perannya sebagai agen pengendalian hayati, tetapi juga sebagai penyerbuk, sumber protein, dan bioindikator lingkungan.
Bahkan, serangga banyak menjadi “ikon” budaya dan sumber pengetahuan. “Manusia dan serangga telah berinteraksi selama ribuan tahun, dan sejarah panjang penggunaan
serangga sebagai sumber protein, pengobatan tradisional, penyerbuk dan agens hayati telah menunjukkan pentingnya serangga untuk kelangsungan hidup manusia ” tegasnya.
Prof Damayanti Buchori juga mengatakan, penggalian kearifan lokal dan riset-riset entomologi untuk kesehatan dan ketahanan pangan perlu dikembangkan lebih lanjut.
Menurutnya, Indonesia memiliki ahli-ahli serangga yang mumpuni, hanya saja masih sedikit yang menekuni tentang kegunaannya secara luas.
“Ke depan keterlibatan lebih banyak para ahli serangga ini dalam menghasilkan temuan-temuan baru yang bisa diaplikasikan untuk pengendalian hama ramah lingkungan sangatlah diperlukan,” katanya.
Pengamat Entomologi dari Bali, Prof. I Wayan Supartha mengamini bahwa penelitian mengenai serangga untuk ketahanan pangan, kesehatan, dan budaya masih sangat sedikit.
Prof Supartha menegaskan bahwa sebagai warga asli Bali, serangga sangat identik dengan budaya terutama untuk lebah madu.
“Tarian Oleg Tamulilingan atau tarian lebah, menjadi bukti bahwa lebah sangat erat kaitannya dengan budaya masyarakat Bali,” katanya.
Prof Supartha mengatakan, pertemuan para ahli peneliti entomologi di Bali merupakan anugerah untuk masyarakat Bali karena selain promosi pariwisata,
tema yang diusung telah mengangkat kembali budaya leluhur Bali yang menjadikan serangga sebagai salah satu simbol budaya yang selama ini mulai kurang dihiraukan.