31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 12:00 PM WIB

Iuran BPJS Naik, Peserta Terancam Berbondong-bondong Pindah Kelas

DENPASAR –  Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)  Kesehatan sebesar 100 persen. 

Kenaikan itu berlaku bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (PBP). 

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Sosial. 

Kenaikkan ini tentu dianggap memberatkan masyarakat. Seperti salah satu seorang guru honor di SMP swasta di Badung bernama Monica.

Monica mengaku sangat  kaget dan keberatan dengan kenaikan ini. Dirinya hanya guru yang digaji Rp 2 juta. 

Dengan upah sedikit, dia harus membayar kos setiap bulan. Belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, mau tidak mau harus berhemat karena iuran BPJS naik.

Lantas ada keinginan untuk turun kelas dari kelas 2 ke kelas 3. “ Dulu kan sempat BPJS kelas 1 naik harga jadi Rp 80 ribu akhirnya pindah ke kelas 2,” katanya. 

Kini setelah iuran naik, dia pun kaget bukan main. “ Kaget pasti, yang biasa bayar Rp 50 ribuan tiba-tiba harus bayar Rp 100 ribuan. Sempat kepikiran pindah ke kelas yang lebih kecil,” imbuhnya.

 Disinggung tentang kesanggupan, sebenarnya tidak sanggup. Sebab, seorang guru honorer yang kerja hitungan per jam tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Tapi, kalau tidak bayar BPJS, biaya untuk pengobatan lebih mahal. “Mau tidak mau, kan lumayan Rp 50 ribu bisa dapat beras 5 kilogram,” selorohnya.

Hal senada dilontarkan Pengurus Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) daerah Bali Ngakan Made Giriyasa.

Bahkan, dirinya yang sudah berkeluarga yang masih  menanggung semuanya. “Kenaikan BPJS tidak bisa  hanya dinilai perorangan karena peserta BPJS itu sekeluarga. 

Kalau ikut KB nasional anggota keluarga itu 4, kalau ikut program KB Gubernur Bali anggota keluarga jadi 6. 

Apalagi yang dalam keluarga itu hanya satu yang produktif berpenghasilan tentu kenaikan BPJS ini sangat bikin pengeng,” ungkapnya.

 Awalnya kelas satu biayanya Rp 60 ribu per peserta kemudian naik menjadi Rp 80 ribu,  kini jadi Rp 160 ribu. 

Kalau anggota keluarga ada 4  dulu bayar  Rp 320  ribu dan  kini harus bayar Rp 640 ribu.  Sehingga dalam situasi ekonomi yang sulit kenaikan ini tentu sangat berat.

Wajar kalau kemudian masyarakat turun kelas BPJS. “ Karena yang penting  ikut dan ada asuransi kesehatan.

Dalam beberapa riset terkait BPJS ini peran pemerintah daerah untuk turut mengurai kerumitan pendanaan BPJS ini sangat penting,” tuturnya.

“Program BPJS ini akan suskses kalau upaya preventif terhadap penyakit dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif. 

Kalau itu tidak dilakukan sama saja dengam bakar uang karena wabah penyakit akan terus terjadi,” tukasnya.

 

DENPASAR –  Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)  Kesehatan sebesar 100 persen. 

Kenaikan itu berlaku bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (PBP). 

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Sosial. 

Kenaikkan ini tentu dianggap memberatkan masyarakat. Seperti salah satu seorang guru honor di SMP swasta di Badung bernama Monica.

Monica mengaku sangat  kaget dan keberatan dengan kenaikan ini. Dirinya hanya guru yang digaji Rp 2 juta. 

Dengan upah sedikit, dia harus membayar kos setiap bulan. Belum lagi untuk kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, mau tidak mau harus berhemat karena iuran BPJS naik.

Lantas ada keinginan untuk turun kelas dari kelas 2 ke kelas 3. “ Dulu kan sempat BPJS kelas 1 naik harga jadi Rp 80 ribu akhirnya pindah ke kelas 2,” katanya. 

Kini setelah iuran naik, dia pun kaget bukan main. “ Kaget pasti, yang biasa bayar Rp 50 ribuan tiba-tiba harus bayar Rp 100 ribuan. Sempat kepikiran pindah ke kelas yang lebih kecil,” imbuhnya.

 Disinggung tentang kesanggupan, sebenarnya tidak sanggup. Sebab, seorang guru honorer yang kerja hitungan per jam tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Tapi, kalau tidak bayar BPJS, biaya untuk pengobatan lebih mahal. “Mau tidak mau, kan lumayan Rp 50 ribu bisa dapat beras 5 kilogram,” selorohnya.

Hal senada dilontarkan Pengurus Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) daerah Bali Ngakan Made Giriyasa.

Bahkan, dirinya yang sudah berkeluarga yang masih  menanggung semuanya. “Kenaikan BPJS tidak bisa  hanya dinilai perorangan karena peserta BPJS itu sekeluarga. 

Kalau ikut KB nasional anggota keluarga itu 4, kalau ikut program KB Gubernur Bali anggota keluarga jadi 6. 

Apalagi yang dalam keluarga itu hanya satu yang produktif berpenghasilan tentu kenaikan BPJS ini sangat bikin pengeng,” ungkapnya.

 Awalnya kelas satu biayanya Rp 60 ribu per peserta kemudian naik menjadi Rp 80 ribu,  kini jadi Rp 160 ribu. 

Kalau anggota keluarga ada 4  dulu bayar  Rp 320  ribu dan  kini harus bayar Rp 640 ribu.  Sehingga dalam situasi ekonomi yang sulit kenaikan ini tentu sangat berat.

Wajar kalau kemudian masyarakat turun kelas BPJS. “ Karena yang penting  ikut dan ada asuransi kesehatan.

Dalam beberapa riset terkait BPJS ini peran pemerintah daerah untuk turut mengurai kerumitan pendanaan BPJS ini sangat penting,” tuturnya.

“Program BPJS ini akan suskses kalau upaya preventif terhadap penyakit dilakukan secara sistematis, terstruktur dan masif. 

Kalau itu tidak dilakukan sama saja dengam bakar uang karena wabah penyakit akan terus terjadi,” tukasnya.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/