DENPASAR – Penjualan daging anjing alias RW di Bali sangat memprihatinkan. Ironisnya, penjual daging anjing di Bali enggan menutup usahanya karena tidak ada aturan yang menegaskan binatang itu dilarang dijual.
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana memaparkan, ada 75 pedagang RW di Denpasar dan Badung, 8 di antaranya berskala besar.
Peneliti Fakultas Kedokteran Hewan Unud drh Sasa Vernandes memaparkan, dari 75 pedagang RW, 44 pedagang sudah menutup usahanya. Sisanya, 31 pedagang masih aktif berdagang.
“Di Bali paling banyak ada di Badung dan Denpasar. Sisanya ada di Buleleng,” kata drh Sasa. Menurutnya, banyak dampak negatif dengan perdagangan daging anjing ini.
Salah satunya adalah merusak citra pariwisata Bali. Wisatawan akan berpikir, pembunuhan anjing untuk diambil dagingnya adalah hal biasa.
“Mereka akan beranggapan kenapa sih seperti ini. Mereka di Bali tak ingin melihat anjing disiksa. Ini jelas berpengaruh, pengaruhnya jelas ke sektor ekonomi,” ungkapnya.
Selain itu, maraknya penjualan daging anjing karena tidak adanya kesinkronan aturan dan norma. Ada yang mengatakan tidak masalah, di satu sisi ada yang melarang.
Hal yang paling mengerikan, anjing tersebut dibunuh tidak sesuai dengan aturan yang ada. Seperti penjual menangkap anjing di jalan dan dibunuh dengan kejam.
Selain itu, pengangkutan anjing juga dengan metode tidak sesuai dengan kesejahteraan hewan yang membawa risiko penularan rabies.
“Memahami bahwa daging anjing bukan makanan menurut hukum Indonesia. Karena itu dikecualikan dari peraturan keamanan pangan. Yang perlu diketahui, jika terus dikonsumsi berpotensi menimbulkan risiko kesehatan masyarakat,” imbuhnya.
Yang paling tidak masuk akal, ada anjing yang dibunuh dengan racun sianida. Jelas ini sangat berbahaya. Apalagi jika daging itu diolah tidak higienis dan tiak dicuci, tentu ada kumannya.
Sementara Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syamsul Ma’arif menyatakan, kesejahteraan hewan di Indonesia perlu dilaksanakan secara bersama-sama lintas sektor.
Diperlukan dukungan legislasi yang jelas untuk memperkuat implementasi kesejahteraan hewan di Indonesia berikut
penegakan sanksi hukum. Serta dibutuhkan juga inovasi-inovasi baru dalam implementasi kesejahteraan hewan di Indonesia.
Hasil akhir dari seminar “Sosialisasi Kerangka Hukum Kesejahteraan Hewan dalam Upaya Mengakhiri Perdagangan Daging Anjing di Bali” adalah berupa rekomendasi.
Pertama, perlu diterbitkan peraturan daerah atau peraturan gubernur (pergub) untuk melarang perdagangan daging anjing termasuk hal-hal yang terkait dengan kesejahteraan hewan.
Selanjutnya, perlu sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan penegak hukum yang lebih intensif tentang kesejahteraan hewan termasuk perdagangan daging anjing.
Terakhir, perlu dibentuk tim khusus penegakan hukum kesejahteraan hewan yang terdiri dari PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) Dinas Peternakan, polisi, Satpol PP, dimulai dengan penghentingan perdagangan daging anjing di Bali.