31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 11:41 AM WIB

Unud dan Greenpeace Garap Peta Jalan Energi Surya di Bali

JIMBARAN – Pengembangan energi terbarukan, seperti menggunakan tenaga matahari di Provinsi Bali mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan.

Seperti yang tertuang dalam nota kesepahaman antara Greenpeace Indonesia dengan Universitas Udayana untuk melakukan kerjasama penelitian. 

Targetnya, hasil penelitian nantinya dapat memberikan gambaran secara utuh bagaimana energi terbarukan khususnya energi surya dapat dikembangkan di Pulau Dewata.

Selain itu, penelitian tersebut akan menghasilkan peta jalan energi surya bagi Bali agar dapat menjadi pelopor transisi energi dari energi fosil, terutama batu bara, ke energi bersih dan terbarukan.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2019-2028, mayoritas bauran energi listrik nasional pada tahun 2028 masih berasal dari batu bara, yaitu sebesar 48 persen.

Pada saat yang sama, pemanfaatan potensi energi terbarukan di Indonesia masih sangat rendah dan jauh tertinggal dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam.
Di lain sisi, Gubernur Bali I Wayan Koster telah menyampaikan komitmen Bali untuk menggunakan energi bersih dan terbarukan.

Tindak lanjutnya tentu memerlukan kerjasama dengan semua pemangku kepentingan mengingat saat ini ekspansi PLTU batu bara masih berlangsung di Bali melalui ekspansi PLTU Celukan Bawang.

Di sisi lain, Bali memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, terutama energi surya, untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakatnya.

“Dari beberapa penelitian, Bali memiliki potensi energi surya yang sangat tinggi karena letak geografis dan kondisi cuacanya”, ucap Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, Jumat (12/4) siang.

Potensi energi surya yang dimiliki oleh Bali begitu besar, yaitu 32,000 GWh hingga 53,300 GWh per tahun dengan menggunakan solar PV jenis thin-film silicon sebagai opsi termurah.

Dengan kata lain, potensi energi surya tersebut telah jauh melebihi kebutuhan listrik di Provinsi Bali pada tahun 2028, yaitu 9,828 GWh per tahun.

“Pemanfaatan energi surya di Bali sejalan dengan komitmen Gubernur Provinsi Bali, I Wayan Koster, untuk mewujudkan energi terbarukan dan mandiri energi di Bali,” tambah Leo.

Pemerintah Provinsi Bali saat ini sedang menyusun Peraturan Gubernur mengenai pemanfaatan energi terbarukan di Bali, yang memuat kebijakan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, termasuk energi surya. 

Selain itu, penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Provinsi (RUKP) Bali tentang pembangunan sistem kelistrikan untuk beberapa tahun mendatang juga sedang berjalan.

Penelitian bersama Center of Excellence Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana dan Greenpeace mengenai “Peta Jalan Energi Surya di Bali” bertujuan

memberikan masukan kepada Pergub Energi Terbarukan dan RUKP, untuk mendorong pengembangan energi surya di Bali. 

Penelitian ini akan mencari tahu apa saja yang dibutuhkan baik strategi maupun kebijakan untuk mencapai target tersebut. Hal ini mencakup kebijakan yang kondusif, penciptaan pasar, dan gerakan masyarakat.
Penelitian yang telah dilakukan CORE menunjukkan,  teknologi untuk pemanfaatan energi surya sudah sangat memadai dan secara keekonomian juga makin menjanjikan.

Pada saat bersamaan, Pemerintah Provinsi Bali memiliki komitmen kuat dengan visi “Bali bersih hijau dan indah” dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemanfaatan energi bersih juga sudah mulai terbangun.
Biaya pembangkitan energi terbarukan sudah dapat menyaingi biaya pembangkitan batubara saat ini, bahkan dengan mengabaikan subsidi untuk energi batu bara.

Dengan melakukan perhitungan biaya amortisasi per kWh energi yang dihasilkan oleh energi surya atap selama lebih dari 20 tahun, maka harga listrik yang dihasilkan adalah Rp 800/kWh.

Harga ini 45 persen lebih murah dibandingkan tarif dasar listrik (TDL) yang diberlakukan PLN saat ini yang kemungkinan akan mengalami kenaikan dalam waktu dekat.

Berdasar hasil studi, industri energi surya akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Panel surya telah menciptakan jumlah pekerjaan

terbanyak dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya, mencapai sekitar 3.1 juta pekerjaan di seluruh dunia (IRENA, 2017).

Dibandingkan dengan energi konvensional, panel surya menciptakan sebanyak 10 pekerjaan/MW, jauh lebih tinggi daripada tenaga batu bara yang hanya menciptakan 1 pekerjaan/MW.

Dengan kata lain, untuk memenuhi seluruh kebutuhan listrik Bali pada tahun 2027, akan tercipta lebih kurang 10,000 pekerjaan baru jika penambahan kapasitas listrik tersebut akan dipenuhi dengan menggunakan energi surya.

Pemerintah Provinsi Bali akan dapat mengurangi angka pengangguran yang saat ini mencapai 22,345 orang. “Untuk mewujudkan komitmen Gubernur Provinsi Bali dalam pemanfaatan energi terbarukan dan mewujudkan Bali mandiri energi,

diharapkan Pemerintah Provinsi Bali dapat menggunakan penelitian bersama ini sebagai bahan masukan bagi kebijakan energi dan ketenagalistrikan di Provinsi Bali,” pungkas Leonard. 

JIMBARAN – Pengembangan energi terbarukan, seperti menggunakan tenaga matahari di Provinsi Bali mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan.

Seperti yang tertuang dalam nota kesepahaman antara Greenpeace Indonesia dengan Universitas Udayana untuk melakukan kerjasama penelitian. 

Targetnya, hasil penelitian nantinya dapat memberikan gambaran secara utuh bagaimana energi terbarukan khususnya energi surya dapat dikembangkan di Pulau Dewata.

Selain itu, penelitian tersebut akan menghasilkan peta jalan energi surya bagi Bali agar dapat menjadi pelopor transisi energi dari energi fosil, terutama batu bara, ke energi bersih dan terbarukan.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2019-2028, mayoritas bauran energi listrik nasional pada tahun 2028 masih berasal dari batu bara, yaitu sebesar 48 persen.

Pada saat yang sama, pemanfaatan potensi energi terbarukan di Indonesia masih sangat rendah dan jauh tertinggal dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam.
Di lain sisi, Gubernur Bali I Wayan Koster telah menyampaikan komitmen Bali untuk menggunakan energi bersih dan terbarukan.

Tindak lanjutnya tentu memerlukan kerjasama dengan semua pemangku kepentingan mengingat saat ini ekspansi PLTU batu bara masih berlangsung di Bali melalui ekspansi PLTU Celukan Bawang.

Di sisi lain, Bali memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, terutama energi surya, untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakatnya.

“Dari beberapa penelitian, Bali memiliki potensi energi surya yang sangat tinggi karena letak geografis dan kondisi cuacanya”, ucap Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, Jumat (12/4) siang.

Potensi energi surya yang dimiliki oleh Bali begitu besar, yaitu 32,000 GWh hingga 53,300 GWh per tahun dengan menggunakan solar PV jenis thin-film silicon sebagai opsi termurah.

Dengan kata lain, potensi energi surya tersebut telah jauh melebihi kebutuhan listrik di Provinsi Bali pada tahun 2028, yaitu 9,828 GWh per tahun.

“Pemanfaatan energi surya di Bali sejalan dengan komitmen Gubernur Provinsi Bali, I Wayan Koster, untuk mewujudkan energi terbarukan dan mandiri energi di Bali,” tambah Leo.

Pemerintah Provinsi Bali saat ini sedang menyusun Peraturan Gubernur mengenai pemanfaatan energi terbarukan di Bali, yang memuat kebijakan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, termasuk energi surya. 

Selain itu, penyusunan Rencana Umum Ketenagalistrikan Provinsi (RUKP) Bali tentang pembangunan sistem kelistrikan untuk beberapa tahun mendatang juga sedang berjalan.

Penelitian bersama Center of Excellence Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana dan Greenpeace mengenai “Peta Jalan Energi Surya di Bali” bertujuan

memberikan masukan kepada Pergub Energi Terbarukan dan RUKP, untuk mendorong pengembangan energi surya di Bali. 

Penelitian ini akan mencari tahu apa saja yang dibutuhkan baik strategi maupun kebijakan untuk mencapai target tersebut. Hal ini mencakup kebijakan yang kondusif, penciptaan pasar, dan gerakan masyarakat.
Penelitian yang telah dilakukan CORE menunjukkan,  teknologi untuk pemanfaatan energi surya sudah sangat memadai dan secara keekonomian juga makin menjanjikan.

Pada saat bersamaan, Pemerintah Provinsi Bali memiliki komitmen kuat dengan visi “Bali bersih hijau dan indah” dan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemanfaatan energi bersih juga sudah mulai terbangun.
Biaya pembangkitan energi terbarukan sudah dapat menyaingi biaya pembangkitan batubara saat ini, bahkan dengan mengabaikan subsidi untuk energi batu bara.

Dengan melakukan perhitungan biaya amortisasi per kWh energi yang dihasilkan oleh energi surya atap selama lebih dari 20 tahun, maka harga listrik yang dihasilkan adalah Rp 800/kWh.

Harga ini 45 persen lebih murah dibandingkan tarif dasar listrik (TDL) yang diberlakukan PLN saat ini yang kemungkinan akan mengalami kenaikan dalam waktu dekat.

Berdasar hasil studi, industri energi surya akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja. Panel surya telah menciptakan jumlah pekerjaan

terbanyak dibandingkan dengan sumber energi terbarukan lainnya, mencapai sekitar 3.1 juta pekerjaan di seluruh dunia (IRENA, 2017).

Dibandingkan dengan energi konvensional, panel surya menciptakan sebanyak 10 pekerjaan/MW, jauh lebih tinggi daripada tenaga batu bara yang hanya menciptakan 1 pekerjaan/MW.

Dengan kata lain, untuk memenuhi seluruh kebutuhan listrik Bali pada tahun 2027, akan tercipta lebih kurang 10,000 pekerjaan baru jika penambahan kapasitas listrik tersebut akan dipenuhi dengan menggunakan energi surya.

Pemerintah Provinsi Bali akan dapat mengurangi angka pengangguran yang saat ini mencapai 22,345 orang. “Untuk mewujudkan komitmen Gubernur Provinsi Bali dalam pemanfaatan energi terbarukan dan mewujudkan Bali mandiri energi,

diharapkan Pemerintah Provinsi Bali dapat menggunakan penelitian bersama ini sebagai bahan masukan bagi kebijakan energi dan ketenagalistrikan di Provinsi Bali,” pungkas Leonard. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/