DENPASAR – Ketua Majelis Desa Adat Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet mengeluarkan surat larangan untuk berunjuk rasa di wewidangan atau wilayah desa adat di Bali. Dalam penelusuran radarbali.id terkait surat tersebut, ternyata surat yang poinnya membatasi demonstrasi tidak lebih 100 orang itu belum diterima oleh sejumlah bendesa adat di Bali.
Seperti diakui Bendesa Adat Tanjung Benoa, Badung, Jro Made Wijaya atau dikenal dengan Panggilan Yonda ini. “Belum ada surat yang kami terima. Kalau pun ada, kami tidak ikut dalam demo itu,” ujarnya Selasa (13/10).
Yonda mengaku saat ini lebih mementingkan untuk memikirkan masyarakatnya karena dampak ekonomi akibat Covid 19 itu sendiri. “Saya dan prajuru adat memikirkan masyarakat saja. Nggak ada memikirkan demo,” sebutnya.
Mengapa? “Konsentrasi kami sekarang ini lebih ke isi perut mengingat pemerintah belum maksimal membantu masyarakat. Kalau urusan demo, kami melarang pun nggak ada juga. Yang jelas kami sekarang mikirkan perut masyarakat,” jawabnya.
Di sisi Lain, Bendesa Adat Renon, Denpasar, Jro Wayan Suarta juga mengaku belum menerima surat tersebut secara langsung.
“Surat secara langsung belum. Tapi kalau informasi di grup WA (WhatspApp) sudah. Dikirim ke Grup,” ujarnya saat dikonfirmasi terpisah.
Ditanya tanggapannya terkait surat itu, terlebih lagi Desa Adat Renon merupakan salah satu titik aksi unjuk rasa di Bali, ia tetap akan memberi imbauan.
“Kami akan melarang demo, apalagi demo yang tidak jelas,” ujarnya.
Disinggung mengenai pola pelarangan, pihaknya masih akan melakukan pembahasan dengan sejumlah tokoh dan prajuru adat. Termasuk dalam melibatkan pecalang.
“Ya kami nanti akan melakukan pelarangan sesuai prosedur yang ada. Kalau mengerahkan pecalang, belum sampai ke sana. Nanti kami bahas lagi bagaimana teknisnya,” pungkasnya.
Sekadar diketahui, Renon memang menjadi salah satu titik utama demonstrasi di Bali. Sebab, di kawasan ini ada pusat pemerintahan Provinsi Bali. Terutama adalah Kantor DPRD Bali dan Gubernur Bali.