KEROBOKAN – Ketenangan warga Perumahan Kesambi Baru, Kelurahan Kerobokan, Kabupaten Badung terusik.
Pemicunya adalah munculnya sepucuk surat dari salah seorang warga setempat bernama Agus Trisna Hartanto.
Surat pemberitahuan tertanggal 6 Februari 2020 yang ditujukan kepada Ketua RT Perum Kesambi Baru Ketut Adi Sutrisna.
Surat yang ditembusan kepada kelian dan lurah itu berisi perintah agar balai pertemuan yang oleh warga setempat sering disebut bale banjar itu segera dikosongkan.
Batas waktunya, Kamis (13/2) kemarin. Merasa ada kejanggalan lantaran bidang tanah seluas 225 meter persegi itu berstatus fasum, mediasi pun digelar, Rabu (12/2) malam lalu namun belum menemui kata sepakat.
Agus Trisna Hartanto ngotot merupakan pemilik sah bidang tanah dimaksud dengan bukti sertifikat. Di sisi lain, puluhan warga yang hadir
di balai pertemuan menegaskan tanah tempat bale banjar dibangun merupakan tanah yang dihibahkan pengembang sebagai syarat mutlak dibukanya perumahan.
Mewakili Agus, Johan Ponco menjelaskan kehadiran rekannya di balai pertemuan dengan niatan baik. Dia mengklaim Agus mempunyai bukti atas kepemilikan bidang tanah yang dibangun sebagai bale banjar sejak 2001 silam.
Pihaknya mengklaim status dari lahan tersebut adalah hak milik sejak tahun 1993, yang dibelinya tahun 1986 dari PT Karimunadi selaku pengembang perumahan.
Agus mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Badung SK.285/HM/BPN.51.03.2013 dan sertifikat Hak Milik no.14791.
“Maka dari itu dengan adanya pertemuan kita mencoba untuk mencapai titik tengah dan solusinya,” kata Johan ditemui Radarbali.id di lokasi mediasi.
Menurutnya, warga juga diberi kesempatan untuk mendapatkan bukti-bukti lain seandainya jika memang lahan tersebut dulu dalam pengembangan perumahan merupakan tanah fasilitas umum (fasum).
“Kami berharap masalah ini segera selesai. Selama ini kami tidak mempermasalahkan penggunaan lahan tersebut untuk dibangun balai pertemuan,
tetapi karena sekarang tanah itu dibutuhkan mendesak maka kami minta kembali,” ujarnya sembari menegaskan bukan berposisi sebagai kuasa hukum Agus.
Di pihak berseberangan, Kaling Banjar Kesambi, Kerobokan, Nyoman Widana mengatakan merupakan kewajiban pengembang menyediakan lahan untuk fasum sebagai syarat membangun perumahan.
“Kami sebagai Kepala Lingkungan di sini sangat kecewa karena fasilitas umum untuk warga Kesambi Baru tiba-tiba menjadi hak milik dia (pihak Agus, red) sesuai sertifikat,” katanya.
Widana mengaku ada kejanggalan dalam proses pensertifikatan bidang tanah tersebut karena dalam proses pengukuran tidak melibatkan penyanding.
Terkait waktu 7 hari yang diberikan Agus untuk mengosongkan bale banjar, Widana mengaku bersama warga akan melakukan perlawanan.
“Kami tetap akan memperjuangkan hak kami sebagai warga di sini. Menjadikan tempat ini sebagai tanah balai pertemuan,” tegasnya sembari
menegaskan tanah fasum di lokasi perumahan lain yang juga dibangun sebagai balai pertemuan aman-aman saja.
Demi mencari keadilan, Widana juga mengaku akan menelusuri proses pensertifikatan lahan tersebut dengan mendatangi BPN Badung serta notaris yang terlibat dalam penerbitan sertifikat janggal tersebut.
Hal serupa ditegaskan Ida Bagus Gde Pidada. Penglingsir atau warga yang dituakan tersebut mengaku tinggal di Perumahan Kesambi Baru sejak tahun 1986; jauh sebelum balai pertemuan dibangun pada 2001.
“Setelah tahun 2001 aman-aman saja. Selama kita tinggal di sini tidak ada apa-apa,” tandasnya.
Gde Pidada pun menegaskan bahwa pengembang menetapkan lahan tersebut menjadi tanah fasum.
“Dalam denah perumahan juga sudah dicantumkan hal tersebut. Lahan tersebut memang tidak disertifikatkan karena statusnya adalah Hak Guna Bangunan (HGB)
karena semua sertifikat perumahan ada di Bank Tabungan Negara (BTN). Setelah kita melunasi di sana (BTN, red) baru kita bawa BPN, baru jadi sertifikat hak milik,” jelasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Lurah Kerobokan, Anak Agung Oka Wiranata mengapresiasi jalannya pertemuan yang berlangsung damai.
Pihaknya menyarankan agar kedua belah pihak selanjutnya melakukan pertemuan kembali dengan melibatkan pihak-pihak
terkait yang berwenang, baik dari BPN maupun notaris yang menetapkan sampai menjadi tanah fasum untuk mencari titik temunya.
Oka menegaskan dalam pengembangan perumahan, 35 persen dari luas lahannya wajib menjadi fasum dan fasilitas sosial (fasos).
“Sehingga kalau sudah menjadi fasum, dari pihak pemerintah bisa memberikan bantuan seperti bantuan perbaikan jalan ataupun gedung untuk fasum tersebut,” tandasnya.