Nasionalisme menampakan wajah yang sangat patriotik menjelang kemerdekaan Indonesia, wajah yang menggelora dengan semangat juang tinggi
untuk melepaskan diri dari penjajahan, memerdekakan diri dari belenggu kolonialisme yang sudah berlangsung tiga ratus lima puluh tahun.
Penjajahan telah mengajarkan rakyat bangsa untuk bersatu, baik dari suku, agama, pendidikan, ras dan sosial. Solidaritas kebangsaan membungcak kala tekanan atas penindasan begitu besar.
Kemiskinan, kebodoham dan ketertekanan akan kesatuan tak mungkin dapat dihilangkan. Kemerdekaan menjadi perekat bangsa.
Nasionalisme sekarang ini dikaitkan dengan modernisasi dewasa ini dilakukan dalam rangka memberikan makna dan tantangan bagi pembangunan bangsa kedepan..
Modernisasi disatu sisi memberikan makna kemajuan dengan segala aspek teknologi media, komunikasi, tata kehidupan yang individual,
pelonggaran kekerabatan dan tanpa batas negara; modernisasi menjadikan pelonggaran dan erosi ikatan-ikatan primordial.
Akan tetapi di dalam kemajuan dan persaingan ekonomi dan politik justru primordial kembali menguat. Sehingga ikatan sebagai sebuah bangsa Nasional menjadi sebuah keniscayaan untuk kembali dikuatkan.
Karena persaingan di bidang ekonomi dan politik apalagi dibungkus dengan kepentingan agama, persaingan teraebut sangat berpotensi meruncing, berpotensi menegangkan dan juga benturan yang mendebarkan. (Aswad Mahasin, 76).
Apalagi jika kelompok primordial tertentu menguasai ekonomi, politik sehingga mendominasi kehidupan sosial politik, maka akan dapat berdampak sosial karena kelompok lain merasa terabaikan atau bahkan merasa terancam.
Diplomasi Kebudayaan
Perkembangan modernisasi dalam gerak kebangsaan kita yang sudah 74 tahun menikmati udara kemerdekaan.
Namun, bangsa ini masih bergelut keras mencapai tujuan kemerdekaan itu sendiri yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur.
Berjuang dalam integrasi seluruh aspek dalam kehidupan kebangsaan kita. Penguatan rasa Nasionalisme.
Namun, begitu tentu saja pemerintah tak bisa sendirian mengejar cita-cita itu. Peran serta masyarakat tentu saja sangat dibutuhkan.
Momen peringatan Hut Kemerdeakaan RI ke-74 tahun ini, Presiden Ir.Joko Widodo ingin menghadirkan kembali semangat yang menyala dari para pejuang.
Semangat itu adalah bersatu untuk bergerak berjalan dalam perubahan yang penuh optimisme menatap masa depan bersama.
Dalam tulisan ini, penulis memandang kemerdekaan atau kebebasan dari keterbatasan bukan hanya milik warga kota-kota besar yang dipadati kenyamanan.
Maasyarakat Indonesia yang tinggal dipelososk desa-desa terpencil dipenjuru Nusantara juga berhak mendapat kemerdekaan.
Merefleksi peringatan HUT RI ke 74, Jokowi mencoba membawa komunikasi politiknya melalui komunikasi budaya atau diistilahkan sebagai sebuah diplomasi budaya.
Istilah diplomasi kebudayaan memang bukanlah merupakan kosa kata baru. Kita sering mendengarnya, setidaknya kalau kita
mengartikan diplomasi sekedar sebagai alat untuk mengelola hubungan antar bangsa dan menganggap kebudayaan hanya sebatas kesenian.
Dengan Semangat memperingati HUT RI ke-74 yang menggusung tema “SDM Unggul Indonesia Maju” dimana tertuang dalam
surat No. B-779/M.Sesneg/SET/TU.00.04/07/2019, tentang Penyampaian Tema dan Logo Peringatan Hari Kemerdekaan Tahun 2019 yang ditandatangani pada 23 Juli 2019.
Tema tersebut memiliki arti bahwa Republik Indonesia memiliki semangat untuk bisa membangun SDM yang unggul.
Selain itu, Presiden Joko Widodo berharap dengan unggulnya SDM, dapat memajukan kesejahteraan Indonesia ke dalam persaingan global dunia.
Oleh karenanya, Saya melihat istilah diplomasi kebudayaan dalam peringatan HUT RI ke 74 kali ini dibentangkan dari yang bersifat mikro,
dan Presiden menganggap bahwa kebudayaan bukan hanya sebatas kesenian saja, tapi sampai dengan yang bersifat makro,
artinya kebudayaan bisa dilihat secara lebih luas lagi, sampai dengan nilai-nilai ideologi, nasionalisme, ekonomi primordial ataupun globalisasi.
Menurut Budayawan Mohamad Sobary, dalam wawancara dengan Metro TV, pakaian adat Bali yang dikenakan Presiden Jokowi dan sang cucu Jan Ethes di HUT ke-74 RI yang kembali menjadi perhatian.
Boleh dibilang, bisa dimaknai sarat simbol dan sebagai bentuk diplomasi budaya Indonesia. Itulah salah satu alasan, Presiden Jokowi menjadikan pakaian adat sebagai simbol diplomasi budaya Indonesia.
Dan ini merupakan salah satu cara efektif untuk mewujudkan keutuhan NKRI. Dalam wawancaranya dengan Metro TV, Mohamad Sobary, melihat sebenarnya tradisi ini sudah dilakukan Presiden Jokowi dua tahun sebelumnya.
Sobari menilai dalam hal ini Presiden sangat aspiratif terhadap budaya daerah. Dia memberi contoh; dalam beberapa kesempatan dimana Presiden dalam berbagai kesempatan selalu menampilkan simbol-simbol budaya daerah.
Karena, lanjut Sobari, Presiden Jokowi itu bukan miliknya orang Jawa, Batak atau pun Bali tpi miliknya seluruh daerah yang ada di nusantara.
“Ide baju daerah yang coba ditampilkan dalam peringatan HUT RI Ke 74 jika dikaitkan Diplomasi kebudayaan tentu saja bukan satu -satunya cara yang diitempuh oleh Presiden,” ujar Sobari.
Sobari menilai bicara kebudayaan itu bukan bicara sesuatu yang ritual sentris, bukan tradisi sentris, tapi kita bicara kebudayaan ini untuk merayakan kehidupan.
Penulis berpendapat bahwa diplomasi kebudyaan bisa ditempuh tidak saja dengan mereproduksi baju daerah, tapi tentu saja disini adalah bagian dari membangun sebuah karakter sumber manusia unggul.
Presiden Jokowi saat menghadiri Kongres Kebudayaan Indonesia (KKI) Tahun 2018 silam di komplek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud),
Senayan, Jakarta, Minggu (9/12), meyakini bahwa bangsa Indonesia memiliki kekhasan sendiri dibanding bangsa-bangsa lain.
Menurut Presiden, kebudayaan dan ilmu pengetahuan serta peradaban bangsa Indonesia lahir dari pengalaman panjang melalui perkembangan zaman.
Namun, menjaga budaya untuk terus tumbuh di tengah interaksi belantara budaya-budaya dunia menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Penulis melihat strategi kebudayaan nasional yang disusun Presiden Jokowi telah memerhatikan Trisakti. Yakni asas berdaulat dalam politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Presiden berharap dalam perkembangan teknologi transportasi dan informasi yang semakin canggih dan cepat, membuat lalu lintas dan interaksi budaya semakin padat dan kompleks.
Akan tetapi yang terpenting budaya kesadaran masyarakat bawah untuk meraih kesejahteraan untuk meraih kemajuan jangan sampai sirna.
Menghadapi kompleksitas lalu lintas budaya yang berpotensi menimbulkan gesekan tersebut, Presiden pun mengimbau agar semua masyarakat untuk teguh menjaga peradaban Indonesia,
sekaligus keterbukaan untuk berinteraksi. Dan harus diingat peluang untuk toleransi dan kolaborasi sinergi juga selalu terbuka lebar.
Nasionalisme versus Primordial
Penguatan rasa nasionalisme bangsa Indonesia terus menerus digelorakan, ditengah perkembangan dunia yang semakin cepat.
Ditengah gempuran modernisitas teknonologi. Timbulnya Nasionalisme adanya campur tangan bangsa lain misalnya penjajahan dalam wilayahnya.
Selain itu bisa juga karena keinginan dan tekad bersama untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan absolut, agar manusia mendapatkan hak – haknya secara wajar sebagai warga Negara.
Ada banyak hal yang bisa menjadi faktor pendorong tumbuhnya rasa Nasionalisme, salah satunya, campur tangan bangsa lain misalnya penjajahan dalam wilayahnya.
Selain itu keinginan dan tekad bersama untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan absolut penjajah, agar manusia mendapatkan hak – haknya secara wajar sebagai warga Negara,
bisa juga dengan adanya rasa senasib dan seperjuangan, persamaan tempat tinggal dalam suatu wilayah juga dapat menjadi pendorong tumbuhnya rasa Nasionalisme.
Dampak positif dari Nasionalisme di Indonesia dalam berbangsa dan bernegara adalah majunya ekonomi negara.
Dengan majunya ekonomi negara, maka Indonesia kembali Berjaya sehingga harus dibela dari ancaman luar.
Majunya ekonomi juga akan meningkatkan kebangsaan dan rasa cinta pada Indonesia. Pengaruh agama yang dianut oleh bangsa Indonesia juga memberikan watak terhadap Nasionalisme masyarakatnya.
Jelang pesta kemerdekaan, rasa ‘Nasionalisme’ biasa kembali membuncah seolah menampakan wajah-wajah patriotik yang menggelora dengan semangat juang tinggi,
seperti hendak kembali dalam perjuangan para pendahulunya yang berusaha melepaskan diri dari penjajahan serta memerdekakan diri dari belenggu kolonialisme yang sudah berlangsung ratusan tahun.
Nasionalisme versus Indonesia Unggul
Indonesia adalah negara yang sangat heterogen. Beragam suku, agama, adat istiadat, suku bangsa, ras, warna kulit, dan bahasa hidup dan berkembang di negara ini.
Dari kondisi heterogenitas, terdapat dua kemungkinan, yaitu persatuan dan tidak jarang muncul pertentangan dan konflik.
Konflik horizontal antar agama, suku, dan daerah kerap kali mewarnai bahtera rumah tangga Republik Indonesia. Salah satu jawabannya adalah kurangnya rasa nasionalisme sebagai perekat bangsa.
Visi misi, simbol, dan doktrin bangsa yang tertuang di dalam pembukaan UUD, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda,
dan Garuda Pancasila adalah instrument untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, rasa memiliki terhadap bangsa dan perasaan persamaan identitas yang timbul secara alami, meskipun diawali oleh sebuah perbedaan.
Melihat karakteristik Indonesia, bentuk nasionalisme Indonesia lebih kepada Nasionalisme Romantik, yang tak berdasar etnis, budaya, kewarganegaraan,
dan struktural kenegaraan semata tetapi lebih kepada integrasi kesemuanya itu yang diperoleh secara alami menuju romantisme sebagai sebuah bangsa, dimana rasa persamaan identitas lebih dominan.
Pertanyaannya, sejauhmana Persatuan Indonesia diwujudkan dengan nasionalisme, lantas apakah kehancuran dan perpecahan Indonesia disebabkan oleh Primordialisme?
Penulis menilai, sebenarnya Primordialisme dan nasionalisme bukanlah sesuatu yang bertentangan karena keduanya merupakan
suatu ikatan yang tumbuh antara individu dengan society dan keduanya sama-sama mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan ikatan itu.
Namun, yang berbeda hanyalah pada luasan ikatan itu, nasionalisme mencakup ikatan wilayah suatu bangsa dan negara, sedangkan Primordialisme hanya mewakili ikatan budaya, etnis, daerah, dan suku bangsa.
Seperti apa yg disampaikan M.Alfan Alfian di tempo.com, Indonesia telah dimerdekakan oleh bapak bangsa Soekarno Hatta, atas nama rakyat Indonesia.
Kemerdekaan dari penjajahan Belanda dan Jepang. Merdeka sebagai jimat sakti yang selalu hadir pada 17 Agustus, tapi kurang dalam pencerdasan.
Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekedar kalimat sakral pembukaan UUD 1945. Kalimat tersebut terus menerus kita ihtiarkan.
Hanya dengan kecerdasan tingkat tinggilah kita bisa mengejar bangsa-bangsa maju. Sumber daya manusia unggul, sebagai mana jargon hut kemerdekaan ke-74 RI. Unggul sudang otomatis cerdas.
Agar masyarakat menjadi cerdas, jelaslah bahwa pendidikan dan kebudayaan penting. kenapa pendidikan penting?
Karena kesenjangan pendidikan akan menghasilan SDM yang tidak mempunyai daya saing, kurang mempunyai wawasan dan daya juang tinggi untuk bersaing.
Sependapat dengan apa yang disampakan Sri Mulyani Indrawati , dalam harian kompas, 19 agustus 2019 peran negara melalui penataan dan perencanaan dana pendidikan melalui APBN sangat penting.
Negara hadir dalam mempersiapkan SDM Indonesia unggul sedini mungkin. Tiada berarti bonus demografi Indonesia apabila SDM nya tidak berpendidikan, tidak berketrampilan dan mempunyai daya juang, daya saing dengan bangsa-bangsa lain.
Oleh karena nya sependapat dengan Sri Mulyani, negara harus hadir, mengawal mengawasi agar setiap rupiah yang dianggarkan bagi pendidikan, pembangunan negara Indonesia tidak boleh dikorupsi,
tidak boleh ada yang menghianatinya, karena dengan itulah cita-cita pendiri bangsa dapar terwujud, masyarakat Indonesia Adil dan makmur.
Pemerintah tidak bisa sendiri dalam mewujudkan harapan tersebut, sel komponen bangsa sudah seyogyanya juga berperan serta, bahu membanhu dalam penyiapan, bergotong royong,
agar tercapainya manusia Indonesia unggul , generasi Indonesia Emas. Dirgahayu Indonesia ke 74, Menuju ‘SDM Unggul Indonesia Maju’. (I Made Pria Dharsana)