31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 9:53 AM WIB

Bendesa Bisa Rangkap Jabatan, Ranperda Desa Adat Bakal Disempurnakan

DENPASAR – Sejumlah hal menarik muncul dalam pertemuan Ratusan Pendamping Desa Adat dengan pihak DPRD Bali di Wantilan Kantor DPRD Bali.

Yakni terkait pembahasan Ranperda Desa Adat. Dalam pertemuan tersebut, sejumlah perwakilan Desa Pendamping memberikan kritikan dan masukan terkait dengan Ranperda tentang Desa Adat.

Salah satunya terkait dengan bunyi pasal 39 angka 3 tentang Bendesa yang dapat rangkap jabatan menjadi Ketua atau anggota Kerta Desa.

Kerta Desa Adat dalam penjelasan adalah lembaga mitra kerja Prajuru Desa Adat yang melaksanakan fungsi penyelesaian perkara adat berdasarkan hukum adat yang berlaku desa adat.

Sedangkan Bendesa adalah pucuk pengurus Desa Adat. “Dalam pasal 39 angka 3, disana kan bendesa rangkap jabatan.

Bagaimana nanti, misalkan ada bendesa yang selingkuh misalnya, dan kemudian yang mengadili dirinya sendiri. Ya sebaiknnya, jangan bebankan bendesa untuk jabatan lain lagi lah,” saran pendamping desa adat I Ketut Wijaya Mataram.

Menanggapi hal tersebut, I Nyoman Parta selaku Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali yang memimpin pertemuan tersebut menyatakan akan memikirkan kembali.

Sebab, dibeberapa desa, juga ditemukan bendesa adat yang rangkap jabatan. “Ya ini Ranperda masih perlu disempurnakan. Nanti akan didiskusikan kembali,” ungkapnya.

Tak hanya terkait rangkap jabatan Bendesa, sejumlah pendapat yang mengkritisi Ranperda Desa Adat dalam pertemuan pada siang tersebut juga tersaji dalam pertemuan tersebut.

Seperti halnya terkait dengan kedudukan desa adat. Sebagaimana dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang menyatakan desa menyatakan Desa Adat berkedudukan di kabupaten. Sedangkan dalam Ranperda Desa Adat, berkedudukan di Provinsi.

“Jadi yang benar yang mana! Kedudukan desa di provinsi atau kabupaten. Apa ini tidak bertentangan? Soal ini juga ada kaitannya dengan hasil pajak.

Apakah dengan berkedudukan di Provinsi, Desa Adat tidak berhak menerima hasil pajak dari kabupaten?” tanya salah satu pendamping yang hadir.

Menanggapi hal tersebut, Parta pun mengatakan sebelumnya sudah ada penjelasan dari tim ahli bahwa Desa Adat meski berkedudukan di provinsi, masih bisa menerima hasil pajak dari kabupatennya.

“Ya kan ada sumber pendapatan lain. Dalam hal ini boleh dong dari hasil pajak kabupaten. Selain itu, Desa adat ini satu kesatuan hukum masyarakat

Bali yang harus menjadi satu ekosistem. Mengapa kedudukan Provinsi, ya karena napasnya memang budaya Bali,” jawab Parta

Selain itu, ada beberapa pasal juga lainnya yang dikritisi. Namun karena keterbatasan waktu, akhirnya sosialisasi dihentikan.

“Ya, yang jelas masih ada waktu ke depan ini untuk menyempurnakan ranperda ini,” pungkasnya.

DENPASAR – Sejumlah hal menarik muncul dalam pertemuan Ratusan Pendamping Desa Adat dengan pihak DPRD Bali di Wantilan Kantor DPRD Bali.

Yakni terkait pembahasan Ranperda Desa Adat. Dalam pertemuan tersebut, sejumlah perwakilan Desa Pendamping memberikan kritikan dan masukan terkait dengan Ranperda tentang Desa Adat.

Salah satunya terkait dengan bunyi pasal 39 angka 3 tentang Bendesa yang dapat rangkap jabatan menjadi Ketua atau anggota Kerta Desa.

Kerta Desa Adat dalam penjelasan adalah lembaga mitra kerja Prajuru Desa Adat yang melaksanakan fungsi penyelesaian perkara adat berdasarkan hukum adat yang berlaku desa adat.

Sedangkan Bendesa adalah pucuk pengurus Desa Adat. “Dalam pasal 39 angka 3, disana kan bendesa rangkap jabatan.

Bagaimana nanti, misalkan ada bendesa yang selingkuh misalnya, dan kemudian yang mengadili dirinya sendiri. Ya sebaiknnya, jangan bebankan bendesa untuk jabatan lain lagi lah,” saran pendamping desa adat I Ketut Wijaya Mataram.

Menanggapi hal tersebut, I Nyoman Parta selaku Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali yang memimpin pertemuan tersebut menyatakan akan memikirkan kembali.

Sebab, dibeberapa desa, juga ditemukan bendesa adat yang rangkap jabatan. “Ya ini Ranperda masih perlu disempurnakan. Nanti akan didiskusikan kembali,” ungkapnya.

Tak hanya terkait rangkap jabatan Bendesa, sejumlah pendapat yang mengkritisi Ranperda Desa Adat dalam pertemuan pada siang tersebut juga tersaji dalam pertemuan tersebut.

Seperti halnya terkait dengan kedudukan desa adat. Sebagaimana dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang menyatakan desa menyatakan Desa Adat berkedudukan di kabupaten. Sedangkan dalam Ranperda Desa Adat, berkedudukan di Provinsi.

“Jadi yang benar yang mana! Kedudukan desa di provinsi atau kabupaten. Apa ini tidak bertentangan? Soal ini juga ada kaitannya dengan hasil pajak.

Apakah dengan berkedudukan di Provinsi, Desa Adat tidak berhak menerima hasil pajak dari kabupaten?” tanya salah satu pendamping yang hadir.

Menanggapi hal tersebut, Parta pun mengatakan sebelumnya sudah ada penjelasan dari tim ahli bahwa Desa Adat meski berkedudukan di provinsi, masih bisa menerima hasil pajak dari kabupatennya.

“Ya kan ada sumber pendapatan lain. Dalam hal ini boleh dong dari hasil pajak kabupaten. Selain itu, Desa adat ini satu kesatuan hukum masyarakat

Bali yang harus menjadi satu ekosistem. Mengapa kedudukan Provinsi, ya karena napasnya memang budaya Bali,” jawab Parta

Selain itu, ada beberapa pasal juga lainnya yang dikritisi. Namun karena keterbatasan waktu, akhirnya sosialisasi dihentikan.

“Ya, yang jelas masih ada waktu ke depan ini untuk menyempurnakan ranperda ini,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/