29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:07 AM WIB

Hadapai Empat Masalah Global, Ini Pesan Ketum DPP LDII

JAKARTA – Generasi muda khususnya generasi milenial harus memiliki dan meningkatkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme, baik dalam geopolitik maupun geoekonomi.

Hal itu ditegaskan Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), KH. Chriswanto Santoso.

Ditegaskan KH. Chriswanto, nasionalisme dan wawasan kebangsaan penting untuk menghadapi konflik global.

Sebab, konflik dunia yang terus menderu kerap menggunakan dalih penegakan demokrasi maupun agama.

Padahal, konflik tersebut bila diperhatikan secara seksama berkaitan dengan persoalan sumberdaya yang kian terbatas.

“Namun, yang terjadi pada permukaan atau yang muncul di grass root, konflik-konflik tersebut seringkali atas nama penegakan demokrasi, bahkan agama,” tegas KH. Chriswanto di Kantor DPW LDII Jawa Timur, Senin (21/6).

Dijelaskan KH. Chriswanto, nasionalisme yang dimaksud bukan nasionalisme dalam arti sempit, yang memandang besar diri sendiri dan menutup diri dalam pergaulan internasional.

Namun, nasionalisme yang diharapkan adalah sosio-nasionalisme. Sosio-nasionalisme merupakan pemikiran awal abad 20, ketika bangsa-bangsa terjajah mulai menuntut kemerdekaannya.

Sosio-nasionalisme adalah pemikiran Bung Karno mengenai nasionalisme yang bertujuan mencapai kebahagiaan umat manusia.

“Bukan nasionalisme sempit, tapi nasionalisme yang berlandaskan kemanusiaan dan antipenindasan sesama umat manusia,” tegasnya.

Chriswanto mengutip buku Geof Hischock Earth Wars: The Battle for Global Resources. Dalam buku tersebut dijelaskan, konflik global saat ini pada dasarnya memperebutkan sumber daya seperti pangan, air, logam langka, dan energi.

Menurutnya, sebagai bangsa yang besar, rakyat Indonesia harus memiliki wawasan kebangsaan. Dengan wawasan tersebut, mereka bisa melihat posisinya di tengah-tengah hiruk-pikuk politik nasional dan global.

“Sebagai negeri yang kaya dengan sumberdaya, negara dengan ideologi tertentu ingin menguasai negeri ini,” paparnya.

Ideologi yang sifatnya transnasionalisme seperti liberalisme, sosialisme, komunisme, hingga pan-islamisme, tak henti-henti berebut pengaruh di tanah air.

Kehadirannya, bisa dalam bentuk perdagangan dan investasi internasional, hingga masuk dalam dunia politik.

“Inilah pentingnya memupuk sosio-nasionalisme dan wawasan kebangsaan, untuk menjaga keutuhan NKRI sebagaimana cita-cita pendiri bangsa,” tukasnya.

Setali tiga uang, dengan Ketua MUI Jawa Timur KH. Ali Maschan Moesa menegaskan berbeda-beda adalah sunnatullah atau kehendak Allah,

“Hidup berbangsa-bangsa itu sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Hujurat Ayat 13,” ujarnya dalam Tausiah Kebangsaan yang diselenggarakan DPW LDII Jawa Timur, di Aula Ponpes Sabilurrosyidin Annur, Surabaya, Minggu (20/6).

Artinya, menjadikan bangsa-bangsa menjadi satu ideologi tidak tepat, justru bakal memunculkan anggapan anggapan diri mereka yang terbaik atau chauvinisme.

Menurutnya, bila NKRI diganti dengan bentuk pan-islamisme atau yang lebih dikenal dengan khilafah, justru bertentangan dengan sunnatullah.

 “Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI merupakan bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia untuk mendirikan sebuah negara-bangsa,” jelas KH Ali Maschan Moesa yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.

Ia memaparkan, dalam perspektif agama, sebagian kelompok-kelompok umat Islam mengartikan Surat Al Baqarah ayat 208, untuk membenarkan berdirinya negara Islam.

“Mereka mengartikan masuklah kamu sekalian ke dalam negara Islam secara totalitas. Padahal kosa kata al-silmi, bukan berarti negara Islam tapi perdamaian,” ujarnya.

Surat Al Anfal ayat 61, menurut KH Ali Maschan Moesa, menegaskan kembali al-silmi sebagai perdamaian.

“Maka jelaslah Surat Al Baqarah ayat 208 tidak berkaitan dengan kewajiban untuk mendirikan negara Islam,” imbuhnya.

KH. Ali Maschan Moesa dan KH. Chriswanto Santoso sama-sama meyakini, Islam tak perlu menjadi negara dalam konteks keindonesiaan.

Dengan lahirnya Pancasila, umat Islam di tanah air dapat melaksanakan Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Sementara itu, Ketua DPW LDII Bali, Olih Solihat Karso mengatakan, perbedaan adalah anugerah dari Tuhan yang wajib dijaga.

“Dari dulu leluhur kita sudah mewariskan rasa saling asah, asih, dan asuh terhadap sesama tanpa memandang perbedaan agama. Inilah yang harus kita jaga,” katanya. 

JAKARTA – Generasi muda khususnya generasi milenial harus memiliki dan meningkatkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme, baik dalam geopolitik maupun geoekonomi.

Hal itu ditegaskan Ketua Umum DPP Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), KH. Chriswanto Santoso.

Ditegaskan KH. Chriswanto, nasionalisme dan wawasan kebangsaan penting untuk menghadapi konflik global.

Sebab, konflik dunia yang terus menderu kerap menggunakan dalih penegakan demokrasi maupun agama.

Padahal, konflik tersebut bila diperhatikan secara seksama berkaitan dengan persoalan sumberdaya yang kian terbatas.

“Namun, yang terjadi pada permukaan atau yang muncul di grass root, konflik-konflik tersebut seringkali atas nama penegakan demokrasi, bahkan agama,” tegas KH. Chriswanto di Kantor DPW LDII Jawa Timur, Senin (21/6).

Dijelaskan KH. Chriswanto, nasionalisme yang dimaksud bukan nasionalisme dalam arti sempit, yang memandang besar diri sendiri dan menutup diri dalam pergaulan internasional.

Namun, nasionalisme yang diharapkan adalah sosio-nasionalisme. Sosio-nasionalisme merupakan pemikiran awal abad 20, ketika bangsa-bangsa terjajah mulai menuntut kemerdekaannya.

Sosio-nasionalisme adalah pemikiran Bung Karno mengenai nasionalisme yang bertujuan mencapai kebahagiaan umat manusia.

“Bukan nasionalisme sempit, tapi nasionalisme yang berlandaskan kemanusiaan dan antipenindasan sesama umat manusia,” tegasnya.

Chriswanto mengutip buku Geof Hischock Earth Wars: The Battle for Global Resources. Dalam buku tersebut dijelaskan, konflik global saat ini pada dasarnya memperebutkan sumber daya seperti pangan, air, logam langka, dan energi.

Menurutnya, sebagai bangsa yang besar, rakyat Indonesia harus memiliki wawasan kebangsaan. Dengan wawasan tersebut, mereka bisa melihat posisinya di tengah-tengah hiruk-pikuk politik nasional dan global.

“Sebagai negeri yang kaya dengan sumberdaya, negara dengan ideologi tertentu ingin menguasai negeri ini,” paparnya.

Ideologi yang sifatnya transnasionalisme seperti liberalisme, sosialisme, komunisme, hingga pan-islamisme, tak henti-henti berebut pengaruh di tanah air.

Kehadirannya, bisa dalam bentuk perdagangan dan investasi internasional, hingga masuk dalam dunia politik.

“Inilah pentingnya memupuk sosio-nasionalisme dan wawasan kebangsaan, untuk menjaga keutuhan NKRI sebagaimana cita-cita pendiri bangsa,” tukasnya.

Setali tiga uang, dengan Ketua MUI Jawa Timur KH. Ali Maschan Moesa menegaskan berbeda-beda adalah sunnatullah atau kehendak Allah,

“Hidup berbangsa-bangsa itu sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Hujurat Ayat 13,” ujarnya dalam Tausiah Kebangsaan yang diselenggarakan DPW LDII Jawa Timur, di Aula Ponpes Sabilurrosyidin Annur, Surabaya, Minggu (20/6).

Artinya, menjadikan bangsa-bangsa menjadi satu ideologi tidak tepat, justru bakal memunculkan anggapan anggapan diri mereka yang terbaik atau chauvinisme.

Menurutnya, bila NKRI diganti dengan bentuk pan-islamisme atau yang lebih dikenal dengan khilafah, justru bertentangan dengan sunnatullah.

 “Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI merupakan bentuk final perjuangan umat Islam di Indonesia untuk mendirikan sebuah negara-bangsa,” jelas KH Ali Maschan Moesa yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.

Ia memaparkan, dalam perspektif agama, sebagian kelompok-kelompok umat Islam mengartikan Surat Al Baqarah ayat 208, untuk membenarkan berdirinya negara Islam.

“Mereka mengartikan masuklah kamu sekalian ke dalam negara Islam secara totalitas. Padahal kosa kata al-silmi, bukan berarti negara Islam tapi perdamaian,” ujarnya.

Surat Al Anfal ayat 61, menurut KH Ali Maschan Moesa, menegaskan kembali al-silmi sebagai perdamaian.

“Maka jelaslah Surat Al Baqarah ayat 208 tidak berkaitan dengan kewajiban untuk mendirikan negara Islam,” imbuhnya.

KH. Ali Maschan Moesa dan KH. Chriswanto Santoso sama-sama meyakini, Islam tak perlu menjadi negara dalam konteks keindonesiaan.

Dengan lahirnya Pancasila, umat Islam di tanah air dapat melaksanakan Islam sebagai rahmatan lil alamin.

Sementara itu, Ketua DPW LDII Bali, Olih Solihat Karso mengatakan, perbedaan adalah anugerah dari Tuhan yang wajib dijaga.

“Dari dulu leluhur kita sudah mewariskan rasa saling asah, asih, dan asuh terhadap sesama tanpa memandang perbedaan agama. Inilah yang harus kita jaga,” katanya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/