DENPASAR – Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Denpasar, tampaknya, membuat sosok I Ketut Ismaya, eks Sekretaris Jenderal Ormas Laskar Bali makin bijaksana dan dewasa.
Menyikapi pro kontra pelaporan anggota DPD RI Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa atau AWK ke Polda Bali,
Keris- sapaan akrab I Ketut Ismaya- menyebut masyarakat Bali sedang diuji untuk menjadi ksatria yang sesungguhnya.
“Kalau ksatria itu apa yang diucapkan harus dipertanggungjawabkan. Ksatria itu harus berani ngomong. Ketika kini banyak yang berani berbicara, mengeluarkan pendapat, seorang ksatria harus berani bicara. Jangan lari. Bila lari tentu sangat disayangkan,” ucapnya.
Sikap ksatria orang Bali juga akan menghadapi ujian berat saat mereka yang “dianggap” tokoh Hindu, baik terlapor maupun pelapor masuk penjara.
Namun, karena kebernaran atau dharma harus ditegakkan, maka sepahit apapun ujian tersebut harus diterima dengan lapang dada.
Keris berkata kebenaran dharma harus ditegakkan. Tidak membeda-bedakan orang. Seperti apapun perjuangan atau cita-cita perjuangan seorang tokoh, tetap dharma yang utama.
“Mari berpikir dan menyikapi semua masalah dengan dharma. Kalau menutupi kebohongan atau kepalsuan, siapapun dia,
jelas melakukan adharma. Apakah tetap akan mengatakan ya? Apakah akan tetap dibela? Tuhan pun akan marah.” tegasnya.
Seorang pemimpin, terang Ismaya harus menyuarakan dharma demikian juga dengan para pengikutnya. Lebih-lebih tanah Bali sangat keramat.
Jadi, pantang untuk main-main. Siapapun yang berani berbohong atau sengaja melakukan kesalahan, diyakini akan menerima akibatnya.
“Saya tidak membela siapapun. Saya hanya ingin kebenaran ditegakkan. Ketika saya di penjara, proses hidup dan proses alam membuat saya lebih paham apa yang dimaksud ksatria.
Pikiran, ucapan, dan perilaku seorang ksatria haruslah sama,” jelasnya. Dharma harus dijunjung tinggi agar zaman tidak menjadi kaliyuga.
Para sulinggih, tokoh, budayawan, praktisi, akademisi tegas Ismaya harus berani mengatakan salah untuk sesuatu yang salah dan sebaliknya berkata benar untuk segala sesuatu yang benar.
Bila mereka tersandera, maka generasi berikutnya yang akan menjadi tumbalnya. “Semeton Hindu, betul-betulah pakai hatimu untuk melihat kebenaran. Jangan melihat sosok. Jangan melihat figur.
Ketika salah ya tetap katakan salah. Masyarakat harus paham banyak yang berjuang untuk tanah Bali di dunia nyata dan memilih
tidak pamer di dunia maya. Buktinya, dari dulu sampai saat ini tatanan adat dan budaya Bali tetap ajeg,” tandasnya.
Kepada para ksatria yang berjuang atau merasa berjuang dan suka koar-koar, Keris mengajak untuk berpikir bijaksana dan mulat sarira.
Jika salah lebih baik mengakui kesalahan dan bukan malah mencari pembenaran. “Lambat laun kebusukan apapun akan tercium, terbuka, dan terbongkar.
Saran saya, para tokoh mari duduk bersama. Ini penting agar tidak terjadi kesalahan persepsi. Generasi muda kita jelas bisa
jadi tumbal keegoisan kita. Jangan sampai generasi muda Bali, khususnya yang beragama Hindu dibawa ke jalan tidak benar,” pungkasnya.
Lebih lanjut, jelas Keris perayaan Siwalatri dan Tahun Baru Imlek 2571 di awal tahun 2020 merupakan hari Siwa-Budha yang sangat sakral. Alam semesta sedang berproses.
Tuhan akan memperlihatkan kebenaran dan kematian bagi yang tidak benar. Kebohongan akan terbongkar.
“Karena tahun ini adalah tahun tikus maka markus-markus dan pembohongan ini akan terbongkar. Dewa Ganesha, melambangkan kepintaran.
Artinya banyak orang pintar akan bermunculan. Bukan satu dua orang, tapi 1.000 orang puntar akan bersuara. Yang dibodohi selama ini akan tenggelam.
Secara niskala, bila sudah melakukan salah ucap kepada orang suci dan disucikan, maka ia akan tenggelam,” ucap pria kekar bergelar Jero Mangku Bima itu.
Menariknya, Ismaya mengaku miris menyaksikan sepak terjang orang-orang yang mengaku Soekarno, tapi suka mengadu domba satu sama lain.
“Soekarno itu membangun negara ini tidak berbekal satu agama, satu suku. Kalau ada yang mengaku Soekarno tapi mengagung-agungkan
satu agama atau satu suku ya itu bukan Soekarno, tapi Soekarni! Saya berharap generasi muda Bali membela adharma dan jangan suka mem-bully.
Bicara harus sopan. Jangan mencaci-maki. Mari hormati hukum dan beri kesempatan bagi mereka yang ingin mencari kebenaran. Mari satya wacana, satya pada dharma,” harapnya.
Keris juga mengkritisi gejala primordialisme sempit dan rasis yang tumbuh dan berkembang di Bali.
Saat Provinsi Bali menjadi bagian dari NKRI, maka seharusnya sejak saat itu pula tidak ada istilah Nak Dauh Tukad, dangin jurang, dan sejenisnya.
“Saat seorang pendeta atau kiyai masuk UGD dan membutuhkan transfusi, darah berbeda boleh masuk ke tubuhnya. Darah orang yang berbeda agama dan keyakinan. Tidak ada istilah haram-haraman karena keselamatan
jiwa jauh lebih penting. Ketika seorang butuh ginjal, bisa lari ke China dan mencangkok ginjal. Kenapa cangkok orang berbeda agama dan negara boleh masuk ke tubuhnya? Ini yang harus kita resapi,” pesannya.