DENPASAR – Temuan babi mati mendadak mulai menyebar di Bali. Selain di Badung, kasus serupa dilaporkan terjadi di Tabanan, Gianyar, dan Denpasar.
Kondisi ini menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Prof Dr drh IGN Mahardika, bukan suatu yang biasa.
Melihat kematian ternak babi yang tinggi, dipastikan ada penyakit baru yang menyerang ternak babi milik peternak. Apalagi kejadiannya menyebar di beberapa daerah.
“Apapun penyakitnya, melihat pola kematian tinggi dan menyebar di beberapa kabupaten, ini pasti penyakit baru. Melihat pola kematian, penyakitnya cukup ganas,” ujar Prof Mahardika.
Tanpa menyebut nama penyakitnya, kata dia, biosecurity yang dilakukan harus ketat dan wajib dilaksanakan untuk wilayah dan kandang yang belum kena.
Pemerintah juga harus mengambil tindakan wajib seperti babi yang ada wilayah kabupaten, kecamatan atau desa. Babi hanya boleh beredar di wilayah tersebut, jangan sampai dibawa keluar.
“Jangan beri izin masuk kandang tanpa mandi, ganti baju, ganti sepatu dan sandal, dan semprot desinfektan,” terangnya.
Menurutnya, meski belum ada hasil uji dari Balai Besar Veteriner Denpasar, masyarakat harus tetap waspada.
Salah satunya, jangan sampai mengonsumsi babi yang mati mendadak. “Semua agama mengajarkan agar hanya mengonsumsi daging hewan yang sehat, bukan sakit, apalagi yang sudah jadi bangkai,” bebernya.
Peternak juga dilarang memotong babi yang sakit. Pasalnya, babi yang sakit berpotensi menyebarkan penyakit. Yang jelas, kondisi ini berdampak kepada perekonomian.
Harga daging babi akan terjun bebas. Menurutnya, kejadian ini menunjukkan ada keterlambatan penangan.
Hanya saja, bagi wilayah yang belum ada kasus kematian babi, harus dijaga dan jangan sampai babi dari wilayah yang terkena kasus masuk ke wilayah yang belum kena.
“Melihat pola penyebaran, tindakan laporan dini dan tindakan segera sudah sangat terlambat bagi daerah atau desa tertular. Bagi daerah/desa belum tertular, lakukan deteksi dini san tindakan segera,” ucapnya.
Prof Mahardika bahkan berani blak-blakan virus African Swine Fever (ASF) bisa masuk Bali, karena sistem karantina yang menurutnya lemah, tak sekuat seperti di Australia.
Apalagi, Bali adalah pintu masuk dunia. Lebih rentan datang dari luar negeri, pun dalam negeri seperti Medan.
“Artinya begini, ASF pasti bisa masuk Bali. Tidak ada yang bisa mencegah kecuali kita memiliki sistem karantina yang ketat seperti Australia. Australia punya rontgen, anjing pelacak, dan system yang bagus,” terangnya.
Katanya, 200 orang yang ketahuan membawa makanan berbahan babi di Australia, 20 persen positif terkena virus ASF.
“Sementara Indonesia tidak melakukan itu sehingga risiko sangat besar. Ttidak ada sistem yang bisa menahannya sama sekali. Sumbernya dari luar negeri, sementara dalam negeri dari Medan,” pungkasnya.