24 C
Jakarta
13 September 2024, 7:05 AM WIB

Tolak Rapid Tes Rp 375 Ribu, LBH Bali Sebut Koster Potensi Langgar HAM

DENPASAR – Pembahasan Ranperda tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum yang mencantumkan harga rapid test sebesar Rp 375 ribu merupakan usulan Gubernur Bali.

Ranperda yang dibahas 20 Agustus lalu kontan mengundang reaksi keras warga Bali. Pasalnya, ranperda itu justru mencerminkan komersialisasi kesehatan di tengah kesulitan hidup rakyat di tengah pandemi Covid-19.

Hal itu diungkap Direktur LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraning, Rabu (26/8). Menurut Vany, apabila dilihat secara utuh usulan tersebut dianggap bertentangan dengan beberapa hal.

Pertama, hak kesehatan merupakan hak asasi manusia (HAM). “Karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan.

Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional. Tanpa kesehatan, seseorang tidak akan mampu memperoleh hak-haknya yang lain,” papar Vany.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Hak Anak,

Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,

dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sehingga di tengah pandemi Covid-19 ini seharusnya pemeritah daerah berorientasi pada pemenuhan HAM rakyatnya, dan meminimalisir dampak protokol kesehatan terhadap pemenuhan akses kesehatan bagi pasien.

Hakekatnya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Retribusi Jasa Umum merupakan pungutan atas pelayanan yang disediakan

atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

Prinsip penetapan tarif retribusi ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut.

“Para pekerja di sektor formal usaha jasa pariwisata telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 2.667 orang dan yang

sudah dirumahkan sebanyak 73.631 orang.  Ditambah rencana meningkatnya harga rapid test, ini akan menyengsarakan rakyat,” kata Vany.

Sementara harga rapid test di produsen dan fasilitas pelayanan kesehatan berkisar Rp 72 ribu (kemenkes.go.id), maka hal ini hanya memperlihatkan komersialisasi kesehatan

tanpa merujuk pada hakekat dan prinsip dari Retribusi Jasa Umum yang lebih mengedepankan kepentingan dan kemanfaatan umum serta kemampuan masyarakat dan aspek keadilan.

Merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/247/2020 Tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

yang kemudian dipertegas melalui Surat Edaran No HK 02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi pada angka 1 dan 2 

“batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test antibodi adalah Rp 150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) atas permintaan sendiri”.

Maka seharusnya usulan Perda harus merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan  di atas sebagaimana diatur  pada Pasal 8 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 15 Tahun 2019 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Menteri,

diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasar kewenangan,” paparnya. 

DENPASAR – Pembahasan Ranperda tentang Perubahan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum yang mencantumkan harga rapid test sebesar Rp 375 ribu merupakan usulan Gubernur Bali.

Ranperda yang dibahas 20 Agustus lalu kontan mengundang reaksi keras warga Bali. Pasalnya, ranperda itu justru mencerminkan komersialisasi kesehatan di tengah kesulitan hidup rakyat di tengah pandemi Covid-19.

Hal itu diungkap Direktur LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraning, Rabu (26/8). Menurut Vany, apabila dilihat secara utuh usulan tersebut dianggap bertentangan dengan beberapa hal.

Pertama, hak kesehatan merupakan hak asasi manusia (HAM). “Karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan.

Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional. Tanpa kesehatan, seseorang tidak akan mampu memperoleh hak-haknya yang lain,” papar Vany.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi Hak Anak,

Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,

dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sehingga di tengah pandemi Covid-19 ini seharusnya pemeritah daerah berorientasi pada pemenuhan HAM rakyatnya, dan meminimalisir dampak protokol kesehatan terhadap pemenuhan akses kesehatan bagi pasien.

Hakekatnya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Retribusi Jasa Umum merupakan pungutan atas pelayanan yang disediakan

atau diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

Prinsip penetapan tarif retribusi ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut.

“Para pekerja di sektor formal usaha jasa pariwisata telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 2.667 orang dan yang

sudah dirumahkan sebanyak 73.631 orang.  Ditambah rencana meningkatnya harga rapid test, ini akan menyengsarakan rakyat,” kata Vany.

Sementara harga rapid test di produsen dan fasilitas pelayanan kesehatan berkisar Rp 72 ribu (kemenkes.go.id), maka hal ini hanya memperlihatkan komersialisasi kesehatan

tanpa merujuk pada hakekat dan prinsip dari Retribusi Jasa Umum yang lebih mengedepankan kepentingan dan kemanfaatan umum serta kemampuan masyarakat dan aspek keadilan.

Merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/247/2020 Tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)

yang kemudian dipertegas melalui Surat Edaran No HK 02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi pada angka 1 dan 2 

“batasan tarif tertinggi pemeriksaan rapid test antibodi adalah Rp 150.000 (seratus lima puluh ribu rupiah) atas permintaan sendiri”.

Maka seharusnya usulan Perda harus merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan  di atas sebagaimana diatur  pada Pasal 8 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 15 Tahun 2019 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Menteri,

diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasar kewenangan,” paparnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/