32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 15:50 PM WIB

Tiga Pedanda Bali “Usir” Covid-19 dengan Upacara Caru Antha Septha

DENPASAR – Upaya sekala niskala ditempuh masyarakat Bali agar pagebluk corona virus disease (Covid- 19) sirna dari Pulau Dewata.

Seperti yang berlangsung Rabu (29/4) sore kemarin di areal Catur Muka Kota Denpasar yang dilaksanakan upacara Caru Antha Septa.

Upacara caru ini dilakukan sebagai akibat munculnya virus (sasab) yang tengah merebak saat ini. Upacara ini dilakukan secara pribadi oleh pasraman Pula Kerthi, Denpasar. 

Caru Antha Septha sendiri diartikan sebagai upacara pemutusan penyebaran viris (sasab) untuk selanjutnya menuju keteduhan pada alam semesta. 

Upacara pecaruan ini dipuput oleh tiga sulinggih yakni Ida Pedanda Gede Pemayun dengan busana merah, dari griya panyembahan, Gianyar;

Ida Cri Bhagawan Sandha Mutthi Dharma Kerti Maha Putra Manuaba dengan busana putih dari Pasraman Pula Kerthi Denpasar dan Ida Pedanda Gede Jelantik Giri Santha Cita dengan busana hitam dari Griya Budha Jati Tabanan. 

Upacara mecaru juga merupakan salah satu implementasi dari filosofi Tri Hita Karana dalam Budaya Bali, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Tirta agar terjadi keharmonisan

antara manusia dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan). 

Penasihat pasraman Pula Kerthi Komang Paramarta menyampaikan, caru ini dilaksanakan merujuk pada beberapa lontar yang ada.

Dari beberapa lontar yang menyinggung masalah virus (sasab) dilakukanlah Caru Antha Septa dengan tujuan agar bhuwana agung (alam semesta) terlepas dari serangan bhuta kala.

Dalam hal ini bhuta dalam wujud virus (sasab). “Dari petunjuk lontar Roga Sangara Bumi, Catur Yuga, serta lontar tanpa tulis.

Disinilah kami gabungkan dan cocokkan. Dari isi lontar-lontar tersebut kami ikuti petunjuknya dan kami lakukan upacara ini,” ujar Komang Paramartha.

Komang Paramarta menambahkan, upacara ini merupakan langkah niskala yang ditempuh untuk kembali “menyembuhkan” alam dari bencana seperi wabah yang saat ini terjadi.

“Ini salah satu cara untuk memutus mata rantai secara niskala. Ini baru pertama kali dilakukan mengikuti petunjuk-petunjuk dari lontar,” ungkapnya. 

Caru Antha Septa ini dilakukan bertepatan dengan hari Kajeng Kliwon. Dipilihnya hari tersebut untuk melaksanakan upacara caru ini, sebab diyakini kajeng kliwon merupakan hari yang tepat.

Selain itu waktu pelaksanaannya dilakukan tepat pada pukul 18.00.  “Hari ini menurut Hindu merupakan hari baik. Waktunya dilakukan jam 6 sore atau sandikala.

Karena pada waktu  gumatat-gumitit atau sang kala lahir. Melalui pecaruan ini nanti dapat meredam “amukan” dari bhuta kala itu,” tuturnya. 

Merujuk pada lontar Roga Sangara Bumi, dalam lontar ini berisi tentang sebab-sebab malapetaka/bencana yang terjadi di dunia,

jenis-jenis malapetaka/bencana yang dapat terjadi dan beberapa ciri akan datangnya malapetaka/bencana.

Lontar Sangara Bumi sendiri berarti menetralisir atau meniadakan bencana di dunia. Dalam lontar ini juga disebutkan ciri-ciri atau tanda-tanda alam yang bermuara akan terjadi sesuatu yang tidak baik.

Seperti halnya bencana gempa bumi yang terjadi pada sasih kesanga. Datangnya gempa terus-menerus pertanda negara dalam kondisi tidak baik. 

DENPASAR – Upaya sekala niskala ditempuh masyarakat Bali agar pagebluk corona virus disease (Covid- 19) sirna dari Pulau Dewata.

Seperti yang berlangsung Rabu (29/4) sore kemarin di areal Catur Muka Kota Denpasar yang dilaksanakan upacara Caru Antha Septa.

Upacara caru ini dilakukan sebagai akibat munculnya virus (sasab) yang tengah merebak saat ini. Upacara ini dilakukan secara pribadi oleh pasraman Pula Kerthi, Denpasar. 

Caru Antha Septha sendiri diartikan sebagai upacara pemutusan penyebaran viris (sasab) untuk selanjutnya menuju keteduhan pada alam semesta. 

Upacara pecaruan ini dipuput oleh tiga sulinggih yakni Ida Pedanda Gede Pemayun dengan busana merah, dari griya panyembahan, Gianyar;

Ida Cri Bhagawan Sandha Mutthi Dharma Kerti Maha Putra Manuaba dengan busana putih dari Pasraman Pula Kerthi Denpasar dan Ida Pedanda Gede Jelantik Giri Santha Cita dengan busana hitam dari Griya Budha Jati Tabanan. 

Upacara mecaru juga merupakan salah satu implementasi dari filosofi Tri Hita Karana dalam Budaya Bali, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Tirta agar terjadi keharmonisan

antara manusia dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi), manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan). 

Penasihat pasraman Pula Kerthi Komang Paramarta menyampaikan, caru ini dilaksanakan merujuk pada beberapa lontar yang ada.

Dari beberapa lontar yang menyinggung masalah virus (sasab) dilakukanlah Caru Antha Septa dengan tujuan agar bhuwana agung (alam semesta) terlepas dari serangan bhuta kala.

Dalam hal ini bhuta dalam wujud virus (sasab). “Dari petunjuk lontar Roga Sangara Bumi, Catur Yuga, serta lontar tanpa tulis.

Disinilah kami gabungkan dan cocokkan. Dari isi lontar-lontar tersebut kami ikuti petunjuknya dan kami lakukan upacara ini,” ujar Komang Paramartha.

Komang Paramarta menambahkan, upacara ini merupakan langkah niskala yang ditempuh untuk kembali “menyembuhkan” alam dari bencana seperi wabah yang saat ini terjadi.

“Ini salah satu cara untuk memutus mata rantai secara niskala. Ini baru pertama kali dilakukan mengikuti petunjuk-petunjuk dari lontar,” ungkapnya. 

Caru Antha Septa ini dilakukan bertepatan dengan hari Kajeng Kliwon. Dipilihnya hari tersebut untuk melaksanakan upacara caru ini, sebab diyakini kajeng kliwon merupakan hari yang tepat.

Selain itu waktu pelaksanaannya dilakukan tepat pada pukul 18.00.  “Hari ini menurut Hindu merupakan hari baik. Waktunya dilakukan jam 6 sore atau sandikala.

Karena pada waktu  gumatat-gumitit atau sang kala lahir. Melalui pecaruan ini nanti dapat meredam “amukan” dari bhuta kala itu,” tuturnya. 

Merujuk pada lontar Roga Sangara Bumi, dalam lontar ini berisi tentang sebab-sebab malapetaka/bencana yang terjadi di dunia,

jenis-jenis malapetaka/bencana yang dapat terjadi dan beberapa ciri akan datangnya malapetaka/bencana.

Lontar Sangara Bumi sendiri berarti menetralisir atau meniadakan bencana di dunia. Dalam lontar ini juga disebutkan ciri-ciri atau tanda-tanda alam yang bermuara akan terjadi sesuatu yang tidak baik.

Seperti halnya bencana gempa bumi yang terjadi pada sasih kesanga. Datangnya gempa terus-menerus pertanda negara dalam kondisi tidak baik. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/