25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:51 AM WIB

Pandemi, Warga Pendatang di Denpasar Pusing Bayar Pungutan Desa Adat

DENPASAR – Pandemi Covid 19 memang meluluhlantakkan perekonomian di Bali. Tak terkecuali di Denpasar.

Banyak warga pendatang yang masih bertahan di Bali meski mengaku pengeng (pusing) karena berurusan dengan biaya administrasi kependudukan.

“Lagi pandemi begini, gajih sudah dipotong. Masih harus ngirim biaya adik buat biaya sekolah di kampung,” keluh warga pendatang yang enggan namanya ditulis usai membayar ke pihak salah satu petugas di desa adat di Denpasar pada Jumat (30/4).

Iya, warga pendatang ini merasa keberatan karena dikenakan biaya untuk membayar surat tanda lapor diri ke desa adat tempat ia tinggal. Ia dipungut senilai Rp 100 ribu selama tiga bulan.

Menanggapi hal ini, Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali, I Gusti Putu Budiarta menyampaikan saat ini memang sudah ada Perda Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2019 tentang penguatan desa adat.

Nah, biaya lapor diri yang dikenakan ke warga pendatang atau disebut warga tamiu itu senilai Rp 100 ribu pertiga bulan itu merupakan keputusan Majelis Madya Desa Adat di Denpasar.

“Surat tanda lapor diri ini harus ada di setiap desa adat. Gunanya untuk pendataan dan ketertinggalan penduduk tersedia di desa adat,” katanya.

Tak hanya tamiu (warga pendatang luar Bali), warga Bali di luar kabupaten di Denpasar, atau krama tamiu juga dikenakan, namun diangka Rp 25 ribu saja per tiga bulan.

“Jadi tidak hanya tamiu saja. Krama tamiu juga dikenakan. Uangnya kemana? Ya uangnya dipakai untuk biaya pujawali dan lainnya di desa adat. Desa Adat kan sifatnya mandiri, berbeda dengan desa dinas yang sudah punya dana desa,” tukasnya.

DENPASAR – Pandemi Covid 19 memang meluluhlantakkan perekonomian di Bali. Tak terkecuali di Denpasar.

Banyak warga pendatang yang masih bertahan di Bali meski mengaku pengeng (pusing) karena berurusan dengan biaya administrasi kependudukan.

“Lagi pandemi begini, gajih sudah dipotong. Masih harus ngirim biaya adik buat biaya sekolah di kampung,” keluh warga pendatang yang enggan namanya ditulis usai membayar ke pihak salah satu petugas di desa adat di Denpasar pada Jumat (30/4).

Iya, warga pendatang ini merasa keberatan karena dikenakan biaya untuk membayar surat tanda lapor diri ke desa adat tempat ia tinggal. Ia dipungut senilai Rp 100 ribu selama tiga bulan.

Menanggapi hal ini, Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali, I Gusti Putu Budiarta menyampaikan saat ini memang sudah ada Perda Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2019 tentang penguatan desa adat.

Nah, biaya lapor diri yang dikenakan ke warga pendatang atau disebut warga tamiu itu senilai Rp 100 ribu pertiga bulan itu merupakan keputusan Majelis Madya Desa Adat di Denpasar.

“Surat tanda lapor diri ini harus ada di setiap desa adat. Gunanya untuk pendataan dan ketertinggalan penduduk tersedia di desa adat,” katanya.

Tak hanya tamiu (warga pendatang luar Bali), warga Bali di luar kabupaten di Denpasar, atau krama tamiu juga dikenakan, namun diangka Rp 25 ribu saja per tiga bulan.

“Jadi tidak hanya tamiu saja. Krama tamiu juga dikenakan. Uangnya kemana? Ya uangnya dipakai untuk biaya pujawali dan lainnya di desa adat. Desa Adat kan sifatnya mandiri, berbeda dengan desa dinas yang sudah punya dana desa,” tukasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/