25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 7:12 AM WIB

Siasat Negara dan Aparatusnya Mengubah Konflik menjadi Horizontal

Penggunaan pecalang dalam barisan mengamankan aksi massa Bali Tidak Diam di Jalan Sudirman Denpasar 22 Oktober 2020 lalu menjadi fenomena langka. Pecalang yang biasa menjadi pengaman kegiatan adat terkesan dimanfaatkan dalam ranah politik kontemporer konfliknya bersifat vertikal. Seperti tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Untuk menjawab mengapa hal ini bisa terjadi, radarbali.id akan menerbitkan tulisan antropolog Dr I Ngurah Suryawan dalam beberapa seri. Berikut tulisannya.

***

BARISAN pecalangan, pecalang, turun tangan mengamankan Bali. Demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat yang tergabung dalam Bali Tidak Diam pada Kamis, 22 Oktober 2020, dikawal berlapis oleh lapisan Polwan (Polisi Wanita), Dalmas, dan pecalang. 

Rombongan Pecalang tersebut diangkut oleh dua bus dan kemudian bergabung dengan aparat keamanan (Polisi, TNI, dan Satpol PP) untuk “mengamankan” demonstrasi. Kehadiran pecalang mengagetkan sekaligus mengundang pertanyaan besar. 

Pecalang terjun langsung mengamankan demonstrasi merujuk pada keputusan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali tentang pembatasan kegiatan unjuk rasa di wewidangan (wilayah) desa adat Bali selama gering agung Covid-19. Prajuru desa adat diinstruksikan oleh MDA untuk melarang kegiatan unjuk rasa yang melibatkan lebih dari 100 peserta dengan ujung tombak para pecalang, krama desa adat, krama tamiu, dan tamiu di wilayahnya. 

Aparat kepolisian mengungkapkan melibatkan pecalang karena mengedepankan kearifan lokal dengan melibatkan masyarakat adat yang mempunyai satuan pengamanan tradisional untuk menjaga wilayahnya. Tujuan utamanya adalah menjaga Bali tetap aman.

Pelibatan pecalang dalam pengamanan demonstrasi mengundang kompleksitas tersendiri. Tapi bukan itu saja persoalannya. Pelibatan “polisi adat” Bali ini terkesan berlebihan meski berargumentasi mengedepankan kearifan lokal. Persoalannya, kearifan lokal menjadi terkesan tidak arif lagi karena terdistorsi dan menjadi alat dari berbagai macam kepentingan.

Kita bisa berdebat tanpa ujung untuk soal ini. Tapi, izinkan saya mengurai sejarah panjang pelibatan pecalang dalam berbagai kontestasi kepentingan yang bertujuan mulia untuk menjaga citra Bali yang aman, damai, dan harmonis. 

Namun, di balik tujuan mulia menjaga citra Bali tersebut, barisan pecalang dan milisi atau ormas-ormas yang terbentuk menyusulnya, menghadirkan dua problematik yang meresahkan.

Pertama, elastis serta cairnya pecalang atau barisan jasa pengamanan lainnya membuatnya terombang-ambing di antara berbagai macam kepentingan yang memerlukan jasanya. Negara, birokrat, politisi, investor, bahkan sesama rakyat sendiri. 

Kedua, politik pengawasan terhadap gerak-gerik dan kritik dari rakyat terhadap kekuasaan termanifestasi secara horizontal. Artinya, negara dan kekuasaan menggunakan tangan-tangan masyarakat (milisi) sipil, tentu dengan berbagi dalih (menjungjung kearifan lokal, pemberdayaan masyarakat, kedamaian dan keselamatan rakyat, dan yang lainnya), agar terjadi fragmentasi dan konflik horizontal di tengah masyarakat.

Siasat ini mudah ditebak agar negara dan apparatus-nya hanya menjadi dalang dan “cuci tangan” di tengah polemik dan konflik yang terjadi di tengah masyarakat. (Bersambung)

2

Penggunaan pecalang dalam barisan mengamankan aksi massa Bali Tidak Diam di Jalan Sudirman Denpasar 22 Oktober 2020 lalu menjadi fenomena langka. Pecalang yang biasa menjadi pengaman kegiatan adat terkesan dimanfaatkan dalam ranah politik kontemporer konfliknya bersifat vertikal. Seperti tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Untuk menjawab mengapa hal ini bisa terjadi, radarbali.id akan menerbitkan tulisan antropolog Dr I Ngurah Suryawan dalam beberapa seri. Berikut tulisannya.

***

BARISAN pecalangan, pecalang, turun tangan mengamankan Bali. Demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat yang tergabung dalam Bali Tidak Diam pada Kamis, 22 Oktober 2020, dikawal berlapis oleh lapisan Polwan (Polisi Wanita), Dalmas, dan pecalang. 

Rombongan Pecalang tersebut diangkut oleh dua bus dan kemudian bergabung dengan aparat keamanan (Polisi, TNI, dan Satpol PP) untuk “mengamankan” demonstrasi. Kehadiran pecalang mengagetkan sekaligus mengundang pertanyaan besar. 

Pecalang terjun langsung mengamankan demonstrasi merujuk pada keputusan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali tentang pembatasan kegiatan unjuk rasa di wewidangan (wilayah) desa adat Bali selama gering agung Covid-19. Prajuru desa adat diinstruksikan oleh MDA untuk melarang kegiatan unjuk rasa yang melibatkan lebih dari 100 peserta dengan ujung tombak para pecalang, krama desa adat, krama tamiu, dan tamiu di wilayahnya. 

Aparat kepolisian mengungkapkan melibatkan pecalang karena mengedepankan kearifan lokal dengan melibatkan masyarakat adat yang mempunyai satuan pengamanan tradisional untuk menjaga wilayahnya. Tujuan utamanya adalah menjaga Bali tetap aman.

Pelibatan pecalang dalam pengamanan demonstrasi mengundang kompleksitas tersendiri. Tapi bukan itu saja persoalannya. Pelibatan “polisi adat” Bali ini terkesan berlebihan meski berargumentasi mengedepankan kearifan lokal. Persoalannya, kearifan lokal menjadi terkesan tidak arif lagi karena terdistorsi dan menjadi alat dari berbagai macam kepentingan.

Kita bisa berdebat tanpa ujung untuk soal ini. Tapi, izinkan saya mengurai sejarah panjang pelibatan pecalang dalam berbagai kontestasi kepentingan yang bertujuan mulia untuk menjaga citra Bali yang aman, damai, dan harmonis. 

Namun, di balik tujuan mulia menjaga citra Bali tersebut, barisan pecalang dan milisi atau ormas-ormas yang terbentuk menyusulnya, menghadirkan dua problematik yang meresahkan.

Pertama, elastis serta cairnya pecalang atau barisan jasa pengamanan lainnya membuatnya terombang-ambing di antara berbagai macam kepentingan yang memerlukan jasanya. Negara, birokrat, politisi, investor, bahkan sesama rakyat sendiri. 

Kedua, politik pengawasan terhadap gerak-gerik dan kritik dari rakyat terhadap kekuasaan termanifestasi secara horizontal. Artinya, negara dan kekuasaan menggunakan tangan-tangan masyarakat (milisi) sipil, tentu dengan berbagi dalih (menjungjung kearifan lokal, pemberdayaan masyarakat, kedamaian dan keselamatan rakyat, dan yang lainnya), agar terjadi fragmentasi dan konflik horizontal di tengah masyarakat.

Siasat ini mudah ditebak agar negara dan apparatus-nya hanya menjadi dalang dan “cuci tangan” di tengah polemik dan konflik yang terjadi di tengah masyarakat. (Bersambung)

2

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/