25.2 C
Jakarta
20 November 2024, 1:22 AM WIB

Tanah Disertifikatkan Desa Adat, Bendesa Demayu Disomasi Warga Sendiri

GIANYAR – Bendesa Adat Demayu di Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, I Ketut Suamba disomasi warganya sendiri, I Made Sukarta, 60. Somasi itu dilayangkan karena Sukarta tidak terima tanah teba atau tegalan disertifikatkan atas nama Desa Adat.

 

Somasi atau keberatan oleh Sukarta itu dilayangkan kepada Bendesa Adat Demayu, I Ketut Suamba melalui surat bernomor 01/Somasi/IV/2022 tertanggal 16 Mei 2022.

 

Dalam surat itu, tertulis Sukarta, merupakan krama adat Demayu di Banjar Lodtunduh, Desa Singakerta. Dia menjadi kuasa atas ibunya, Ni Made Saba, 75, yang memiliki tanah seluas 3.150 M2.

 

Surat itu ditembuskan kepada Kepala Desa Singakerta; Kelian Banjar se-Desa Adat Demayu; dan Kelian Banjar Dinas Lodtunduh Desa Singakerta. “Ini surat peringatan pertama. Kalau tidak diindahkan, nanti akan ada somasi kedua, isinya lebih keras lagi,” tegas Sukarta, Selasa (17/5).

 

Menurut Sukarta, selama ini tanah milik ibunya memang belum bersertifikat. “Hanya ada DD, itu tanah warisan kami atas nama pendahulu. Kami, keberatan tanah itu disertifikatkan menjadi tanah milik desa adat,” ujarnya.

 

Somasi ini sudah melalui sejumlah pertimbangan. “Kami juga sudah rapat di paruman. Namun belum ada jawaban. Maka saya mensomasi Bendesa,” ungkapnya.

 

Bahkan, Sukarta juga sudah ke Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) Gianyar untuk memohon penundaan penerbitan sertifikat melalui PTSL pada 2018. “Dulu banyak masyarakat yang tandatangan, saya dan ada satu kerabat tidak mau tandatangan. Kami minta tunda di BPN. Akhirnya satu Banjar belum terbit sertifikat atas nama desa adat itu,” jelasnya.

 

Dalam surat tersebut, Sukarta juga mencantumkan sejumlah alasan keberatan dirinya dalam 16 poin. Mulai poin pertama menceritakan sejarah tanah teba milik keluarga sejak turun temurun. Kemudian menyebutkan definisi Karang Ayahan Desa berdasarkan Pararem Demayu. Hingga poin 15 yang mengharapkan Bendesa Demayu bersikap bijak.

 

Kemudian pada poin 16, berisi kalimat “Keluarga kami akan mengupayakan tuntutan hukum dari segala aspek yang ada, baik pidana melalui kepolisian dan perdata dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Gianyar,” tulis Sukarta dalam poin terakhir.

 

Surat itu juga berisi nomor telepon Sukarta dan ditandatangani juga oleh Sukarta. “Surat sudah kami kirimkan ke para pihak, termasuk Bendesa,” terangnya.

 

Dihubungi terpisah, Bendesa Adat Demayu, Ketut Suamba mengaku mendapat surat somasi dari warganya sendiri. “Kami rapatkan ini, yang jelas desa adat tetap bertahan. Ini bukan keputusan saya sendiri, ada Sabha Desa bertindak sebagai DPR-nya desa adat,” tegasnya.

 

Mengenai pensertifikatan tanah teba atas nama desa adat sudah diputuskan dalam rapat pada 2015 lalu. “Kami dari Bendesa jalankan pararem yang ada. Karena tanah ayahan desa termasuk teba itu dari isi pararem. Sudah dibuat tahun 2015. Jadi kita tetap mohonkan Sertifikat,” ujarnya.

 

Bendesa menegaskan tidak mungkin membatalkan permohonan pensertifikatan karena sudah atas kesepakatan semua krama dan diatur melalui pararem. “PTSL 2018 itu kan program Presiden Jokowi, kami selaku Bendesa sudah melakukan sosialisasi,” kata bendesa.

 

Nantinya, ketika sertifikat terbit atas nama desa adat. “Atas namanya saja desa adat, yang memanfaatkan tetap krama yang menempati. Tujuannya supaya tanah itu tidak dijual. Misal disewa itu silahkan, yang memanfaatkan yang menempati,” pungkasnya. (dra)

 

GIANYAR – Bendesa Adat Demayu di Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, I Ketut Suamba disomasi warganya sendiri, I Made Sukarta, 60. Somasi itu dilayangkan karena Sukarta tidak terima tanah teba atau tegalan disertifikatkan atas nama Desa Adat.

 

Somasi atau keberatan oleh Sukarta itu dilayangkan kepada Bendesa Adat Demayu, I Ketut Suamba melalui surat bernomor 01/Somasi/IV/2022 tertanggal 16 Mei 2022.

 

Dalam surat itu, tertulis Sukarta, merupakan krama adat Demayu di Banjar Lodtunduh, Desa Singakerta. Dia menjadi kuasa atas ibunya, Ni Made Saba, 75, yang memiliki tanah seluas 3.150 M2.

 

Surat itu ditembuskan kepada Kepala Desa Singakerta; Kelian Banjar se-Desa Adat Demayu; dan Kelian Banjar Dinas Lodtunduh Desa Singakerta. “Ini surat peringatan pertama. Kalau tidak diindahkan, nanti akan ada somasi kedua, isinya lebih keras lagi,” tegas Sukarta, Selasa (17/5).

 

Menurut Sukarta, selama ini tanah milik ibunya memang belum bersertifikat. “Hanya ada DD, itu tanah warisan kami atas nama pendahulu. Kami, keberatan tanah itu disertifikatkan menjadi tanah milik desa adat,” ujarnya.

 

Somasi ini sudah melalui sejumlah pertimbangan. “Kami juga sudah rapat di paruman. Namun belum ada jawaban. Maka saya mensomasi Bendesa,” ungkapnya.

 

Bahkan, Sukarta juga sudah ke Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) Gianyar untuk memohon penundaan penerbitan sertifikat melalui PTSL pada 2018. “Dulu banyak masyarakat yang tandatangan, saya dan ada satu kerabat tidak mau tandatangan. Kami minta tunda di BPN. Akhirnya satu Banjar belum terbit sertifikat atas nama desa adat itu,” jelasnya.

 

Dalam surat tersebut, Sukarta juga mencantumkan sejumlah alasan keberatan dirinya dalam 16 poin. Mulai poin pertama menceritakan sejarah tanah teba milik keluarga sejak turun temurun. Kemudian menyebutkan definisi Karang Ayahan Desa berdasarkan Pararem Demayu. Hingga poin 15 yang mengharapkan Bendesa Demayu bersikap bijak.

 

Kemudian pada poin 16, berisi kalimat “Keluarga kami akan mengupayakan tuntutan hukum dari segala aspek yang ada, baik pidana melalui kepolisian dan perdata dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Gianyar,” tulis Sukarta dalam poin terakhir.

 

Surat itu juga berisi nomor telepon Sukarta dan ditandatangani juga oleh Sukarta. “Surat sudah kami kirimkan ke para pihak, termasuk Bendesa,” terangnya.

 

Dihubungi terpisah, Bendesa Adat Demayu, Ketut Suamba mengaku mendapat surat somasi dari warganya sendiri. “Kami rapatkan ini, yang jelas desa adat tetap bertahan. Ini bukan keputusan saya sendiri, ada Sabha Desa bertindak sebagai DPR-nya desa adat,” tegasnya.

 

Mengenai pensertifikatan tanah teba atas nama desa adat sudah diputuskan dalam rapat pada 2015 lalu. “Kami dari Bendesa jalankan pararem yang ada. Karena tanah ayahan desa termasuk teba itu dari isi pararem. Sudah dibuat tahun 2015. Jadi kita tetap mohonkan Sertifikat,” ujarnya.

 

Bendesa menegaskan tidak mungkin membatalkan permohonan pensertifikatan karena sudah atas kesepakatan semua krama dan diatur melalui pararem. “PTSL 2018 itu kan program Presiden Jokowi, kami selaku Bendesa sudah melakukan sosialisasi,” kata bendesa.

 

Nantinya, ketika sertifikat terbit atas nama desa adat. “Atas namanya saja desa adat, yang memanfaatkan tetap krama yang menempati. Tujuannya supaya tanah itu tidak dijual. Misal disewa itu silahkan, yang memanfaatkan yang menempati,” pungkasnya. (dra)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/