25.6 C
Jakarta
19 April 2024, 5:10 AM WIB

Penantian Panjang Setelah Puluhan Tahun, Masyarakat Siap Migrasi

Kabupaten Buleleng selama puluhan tahun dikenal sebagai salah satu daerah dengan area blank spot siaran televisi. Tidak banyak stasiun televisi yang bersedia memasang pemancar siaran di Buleleng. Kehadiran siaran televisi digital, diharapkan menghapus dahaga masyarakat menyaksikan televisi.

 

Eka Prasetya, Buleleng

 

BILA berkunjung ke Buleleng, jangan heran saat melihat rumah warga. Sebagian besar rumah akan dilengkapi dengan piringan parabola. Baik itu parabola berlangganan, maupun parabola digital. Sebaliknya, sangat jarang menemukan rumah yang menggunakan antena televisi biasa.

 

Fenomena itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Maklum saja, Kabupaten Buleleng merupakan salah satu area blank spot siaran televisi. Hingga akhir tahun 2021 saja, hanya ada 4 stasiun televisi yang siarannya bisa disaksikan melalui antena televisi biasa.

 

Dampaknya, masyarakat memilih menggunakan parabola untuk menyaksikan siaran televisi. Salah satu yang digandrungi adalah parabola digital. Sebab biaya yang dikeluarkan relatif murah. Hanya berkisar Rp 350 ribu.

 

Sejak awal April, pemerintah mulai menggencarkan siaran televisi digital. Masyarakat cukup memasang antena ditambah alat yang bernama set top box. Biaya yang dikeluarkan hanya sekitar Rp 300 ribu. Maka masyarakat bisa menyaksikan siaran televisi dengan lebih jernih.

 

Kemarin, Dinas Komunikasi Informasi Persandian dan Statistik (Kominfo Santi) Buleleng mulai mengenalkan siaran televisi digital. Proses pengenalan siaran itu dilakukan di Kantor Camat Sukasada dan Balai Desa Silangjana.

 

Di Kantor Camat Sukasada, tim berhasil mendapatkan 8 buah kanal siaran. Sementara di Balai Desa Silangjana, hanya ada 4 buah kanal siaran. Jumlah itu tergantung dari ketinggian antena yang dipasang.

 

Kepala Dinas Kominfo Santi Buleleng, Ketut Suwarmawan mengatakan, pihaknya sengaja mengenalkan siaran televisi digital. Sebab pada 30 April mendatang, siaran televisi akan beralih secara bertahap dari siaran analog ke digital.

 

Pihaknya mulai menggencarkan sosialisasi sekaligus melakukan pengecekan titik siaran. Sehingga pemerintah dapat menginformasikan siaran televisi yang dapat diakses warga.

 

Hanya saja, belum semua wilayah bisa mengakses siaran secara penuh. Beberapa desa bisa mendapat akses sebanyak 15 kanal siaran, sementara daerah lainnya hanya mendapat 4 kanal siaran.

 

“Malah masih ada daerah blank spot. Yaitu di Desa Sumberklampok dan (kecamatan) Tejakula. Sumberklampok karena dia diapit hutan lindung, sedangkan Tejakula itu ada di balik perbukitan yang curam. Jadi siaran tidak menjangkau ke sana,” kata Suwarmawan.

 

Ia pun mengaku topografi wilayah masih menjadi masalah. “Makanya warga Buleleng lebih banyak pakai parabola. Karena siaran analog memang sedikit. Kami harap siaran digital akan jadi solusi masyarakat mendapat siaran yang memadai. Kalau memungkinkan ditambah menara lagi, sehingga semua daerah bisa dijangkau,” imbuhnya.

 

Sementara itu, salah seorang warga Silangjana, Wayan Edi Suparman mengamini bahwa sebagian besar warga menggunakan parabola digital. Edi sendiri telah memasang parabola digital sejak tahun 2008 hingga kini.

 

Sebelum menggunakan parabola, ia sempat menggunakan antena biasa. Namun kanal siaran hanya sedikit. Selain itu gambar yang didapat juga tidak jelas. Sehingga ia memilih menggunakan parabola digital.

 

Hanya saja, terkadang terjadi perubahan frekuensi. “Kalau ada perubahan frekuensi, akhirnya harus cari lagi informasi di internet. Cara setting-nya bagaimana. Kalau mau gampang ya tinggal cari teknisi, bayar Rp 70 ribu sekali setting,” katanya.

 

Selain itu kelemahan televisi digital adalah siaran yang diacak. Contohnya saat pertandingan sepakbola maupun motoGP. Masyarakat tak bisa menyaksikan siaran, karena diacak. Siaran hanya bisa disaksikan melalui siaran televisi berlangganan atau menggunakan antena analog. Masalahnya, antena analog tidak mampu menangkap siaran televisi yang menyiarkan pertandingan sepakbola.

 

“Pas Euro tahun lalu, akhirnya langganan siaran berbayar. Akunnya dipakai nonton bareng di balai desa. Tapi kalau memang siaran digital ini siaran sepak bola tidak diacak, saya pribadi akan pindah ke digital,” demikian Suparman. (*)

 

Kabupaten Buleleng selama puluhan tahun dikenal sebagai salah satu daerah dengan area blank spot siaran televisi. Tidak banyak stasiun televisi yang bersedia memasang pemancar siaran di Buleleng. Kehadiran siaran televisi digital, diharapkan menghapus dahaga masyarakat menyaksikan televisi.

 

Eka Prasetya, Buleleng

 

BILA berkunjung ke Buleleng, jangan heran saat melihat rumah warga. Sebagian besar rumah akan dilengkapi dengan piringan parabola. Baik itu parabola berlangganan, maupun parabola digital. Sebaliknya, sangat jarang menemukan rumah yang menggunakan antena televisi biasa.

 

Fenomena itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Maklum saja, Kabupaten Buleleng merupakan salah satu area blank spot siaran televisi. Hingga akhir tahun 2021 saja, hanya ada 4 stasiun televisi yang siarannya bisa disaksikan melalui antena televisi biasa.

 

Dampaknya, masyarakat memilih menggunakan parabola untuk menyaksikan siaran televisi. Salah satu yang digandrungi adalah parabola digital. Sebab biaya yang dikeluarkan relatif murah. Hanya berkisar Rp 350 ribu.

 

Sejak awal April, pemerintah mulai menggencarkan siaran televisi digital. Masyarakat cukup memasang antena ditambah alat yang bernama set top box. Biaya yang dikeluarkan hanya sekitar Rp 300 ribu. Maka masyarakat bisa menyaksikan siaran televisi dengan lebih jernih.

 

Kemarin, Dinas Komunikasi Informasi Persandian dan Statistik (Kominfo Santi) Buleleng mulai mengenalkan siaran televisi digital. Proses pengenalan siaran itu dilakukan di Kantor Camat Sukasada dan Balai Desa Silangjana.

 

Di Kantor Camat Sukasada, tim berhasil mendapatkan 8 buah kanal siaran. Sementara di Balai Desa Silangjana, hanya ada 4 buah kanal siaran. Jumlah itu tergantung dari ketinggian antena yang dipasang.

 

Kepala Dinas Kominfo Santi Buleleng, Ketut Suwarmawan mengatakan, pihaknya sengaja mengenalkan siaran televisi digital. Sebab pada 30 April mendatang, siaran televisi akan beralih secara bertahap dari siaran analog ke digital.

 

Pihaknya mulai menggencarkan sosialisasi sekaligus melakukan pengecekan titik siaran. Sehingga pemerintah dapat menginformasikan siaran televisi yang dapat diakses warga.

 

Hanya saja, belum semua wilayah bisa mengakses siaran secara penuh. Beberapa desa bisa mendapat akses sebanyak 15 kanal siaran, sementara daerah lainnya hanya mendapat 4 kanal siaran.

 

“Malah masih ada daerah blank spot. Yaitu di Desa Sumberklampok dan (kecamatan) Tejakula. Sumberklampok karena dia diapit hutan lindung, sedangkan Tejakula itu ada di balik perbukitan yang curam. Jadi siaran tidak menjangkau ke sana,” kata Suwarmawan.

 

Ia pun mengaku topografi wilayah masih menjadi masalah. “Makanya warga Buleleng lebih banyak pakai parabola. Karena siaran analog memang sedikit. Kami harap siaran digital akan jadi solusi masyarakat mendapat siaran yang memadai. Kalau memungkinkan ditambah menara lagi, sehingga semua daerah bisa dijangkau,” imbuhnya.

 

Sementara itu, salah seorang warga Silangjana, Wayan Edi Suparman mengamini bahwa sebagian besar warga menggunakan parabola digital. Edi sendiri telah memasang parabola digital sejak tahun 2008 hingga kini.

 

Sebelum menggunakan parabola, ia sempat menggunakan antena biasa. Namun kanal siaran hanya sedikit. Selain itu gambar yang didapat juga tidak jelas. Sehingga ia memilih menggunakan parabola digital.

 

Hanya saja, terkadang terjadi perubahan frekuensi. “Kalau ada perubahan frekuensi, akhirnya harus cari lagi informasi di internet. Cara setting-nya bagaimana. Kalau mau gampang ya tinggal cari teknisi, bayar Rp 70 ribu sekali setting,” katanya.

 

Selain itu kelemahan televisi digital adalah siaran yang diacak. Contohnya saat pertandingan sepakbola maupun motoGP. Masyarakat tak bisa menyaksikan siaran, karena diacak. Siaran hanya bisa disaksikan melalui siaran televisi berlangganan atau menggunakan antena analog. Masalahnya, antena analog tidak mampu menangkap siaran televisi yang menyiarkan pertandingan sepakbola.

 

“Pas Euro tahun lalu, akhirnya langganan siaran berbayar. Akunnya dipakai nonton bareng di balai desa. Tapi kalau memang siaran digital ini siaran sepak bola tidak diacak, saya pribadi akan pindah ke digital,” demikian Suparman. (*)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/