SINGARAJA– Angka kasus kekerasan terhadap anak masih menyita perhatian. Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBP3A) mencatat, hingga bulan September 2022 ada 29 kasus melibatkan anak yang dilaporkan pada pemerintah.
Kasus-kasus yang menonjol merupakan kasus kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Namun di luar kasus-kasus itu ada pula kasus yang melibatkan anak dalam tindak kejahatan. Sehingga pemerintah juga wajib melindungi mereka.
Angka yang relatif tinggi memaksa pemerintah menyusun strategi. Sebab Buleleng telah mengantongi predikat sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA). Bila kasus kekerasan terus meningkat, maka predikat tersebut bisa saja ditinjau kembali pemerintah pusat.
Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Putu Agustini saat ditemui di Singaraja kemarin (1/11) mengungkapkan, sebagai kabupaten layak anak, maka pemerintah harus memenuhi hak-hak anak. Mulai dari hak mereka mengantongi identitas kependudukan, hak mendapat pendidikan, hak memperoleh akses kesehatan, hak untuk bermain, hingga hak perlindungan dari eksploitasi dan kekerasan.
Khusus dalam kasus kekerasan pada anak, Agustini menyatakan pemerintah telah menyiapkan pendamping hukum maupun psikolog ahli. Mereka memberi pendampingan pada anak yang menjadi korban, maupun pada anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan harapan peristiwa yang menimpa anak-anak itu tidak memicu trauma yang mendalam.
Ia menegaskan kasus kekerasan terhadap anak harus dicegah. Bukan hanya kekerasan seksual dan kekerasan fisik, peristiwa kekerasan psikis juga harus dicegah. Sebab hal itu berdampak pada pengalaman traumatik bagi anak.
“Kami sudah libatkan instansi vertikal. Seperti kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Ini kami lakukan sebagai upaya pencegahan. Tapi ini tidak bisa dilakukan pemerintah sendirian. Harus ada partisipasi keluarga dan masyarakat sekitar dalam langkah pencegahan,” ujarnya. (eps)