26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 4:26 AM WIB

BRI Suntik Modal dan Bantu Perlengkapan

GIANYAR, radarbali.id- Kerajinan bahan fiberglass, Jaya Sedana Simbiosis yang diketuai, Wayan Suparta kini menggeliatkan perekonomian di Banjar Gadungan, Desa Bresela, Kecamatan Payangan. Usaha berupa bokor, dulang, tamas hingga keben bahan fiberglass itu menghidupi 24 anggota yang kebanyakan ibu-ibu di desa.

Suparta menyatakan usaha yang digeluti sejak 2007 awalnya tidak berjalan mulus. Sebab belum diterima pasar. “Akhirnya perlahan mulai diterima kecil-kecilan,” jelasnya.

Ketika memperoleh pasar, Suparta lantas memberanikan diri meminjam modal Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar Rp 8 juta pada 2015. Dari sana usahanya berkembang. Dia mulai mengajak ibu-ibu di desa. Hingga akhirnya kembali membutuhkan modal tambahan Rp 50 juta melalui Kupedes pada 2018. Modal terakhir dari BRI pada 2020 sebesar Rp 100 juta. “Kami perlu bantuan dari bank, kami butuh modal. Yang namanya usaha butuh modal,” ujarnya.

Suparta menggunakan modal usaha untuk pengembangan jumlah produksi. “Ada juga saya gunakan membangun gudang,” ujarnya sembari menunjuk gudang berdinding batako.

Diakui, pada pandemi Covid-19, dia sempat digulung badai. “Pas sepi, saya sempat mohon penangguhan. Pas awal covid, sepi sekali,” ujarnya.
Berbekal kesabaran, akhirnya, dia mendapat pesanan dari saudara di Lampung. “Kebetulan di Lampung panen. Akhirnya mereka belanja,” jelasnya.
Untuk omzet sebelum covid, kata dia, bisa meraup Rp 20 juta bersih. “Pandemi turun 50 persen. Penghasilan sebulan Rp 10 juta,” terbangnya.

Hingga saat ini, dia mengajak 24 anggota yang kebanyakan ibu-ibu. Anggota itu bekerja mulai mencetak hingga memoles. Suparta merinci, total produksi dalam sehari menghasilkan bokor sebanyak 17, dulang 15, tamas 60.

 

“Satu produk tahan 10 tahun, cuma warna berubah. Harga yang sudah jadi, tamas Rp 20 ribu, dulang kotak Rp 325 ribu, dulang besar kotak Rp 350. Keben Rp 75 ribu,” terangnya.

Untuk pemasaran, dia mempercayai kepada 25 reseller yang tersebar di Desa Sebatu, Taro, Lukluk, Klungkung, Denkayu, Sangeh. Untuk luar Bali, reseller berada di Lampung, Kalimantan, NTB, dan Sulawesi. “Di saya beli 120, kalau dia merada (mengecat dengan bahan emas, red) dia (reseller, red) dapat sekian. Kami dominan jual bakalan,” ungkapnya.

Suparta juga terbantu dengan bantuan perlengkapan dari BRI. “Alat saya dikasih cuma-cuma. Kompresor, gerindra tangan, amplas, bor. Ini alat saya terima 2020 lalu,” ungkapnya.

Meski mempekerjakan 24 anggota, Suparta justru memberikan tempat bagi mereka. “Anggota kalau mau jualan saya kasih. Saya kasih tahu dimana nyari tukang ukir untuk bakalan cetakan, saya kasih jalan. Justru itu membantu saya juga untuk menambah produk. Makanya nama usaha saya Simbiosis,” jelasnya.
Dia juga tidak merasa disaingi para anggota. “Ini namanya perjuangan. Makanya kami main di inovasi. Saya tidak mau monopoli. Malah saya ajari ke tukang ukir,” ungkapnya.

Sementara itu, Regional CEO BRI Denpasar, Rudy Andimono, mengapresiasi semangat Suparta berusaha dan membangun klaster dengan anggota mencapai 24 orang.

Lebih lanjut dikatakan, fungsi BRI di usaha tersebut, membantu memudahkan akses permodalan dan pembinaan. “Anggota sudah diajarkan. Mereka diberikan modal untuk usaha,” jelasnya. Tidak hanya memberi modal bagi Suparta, BRI pun bisa memberikan modal usaha bagi anggota.

Lanjut dia, untuk menstimulus, setiap klaster BRI juga diberikan alat produksi. “Dengan terbentuknya klaster ini, bisa berdayakan masyarakat di sekitarnya. Contoh bapak ini menularkan ke anggota. Termasuk finishing sampai jual keluar. Harapannya mereka bisa berdiri sendiri,” pungkasnya. (adv)

GIANYAR, radarbali.id- Kerajinan bahan fiberglass, Jaya Sedana Simbiosis yang diketuai, Wayan Suparta kini menggeliatkan perekonomian di Banjar Gadungan, Desa Bresela, Kecamatan Payangan. Usaha berupa bokor, dulang, tamas hingga keben bahan fiberglass itu menghidupi 24 anggota yang kebanyakan ibu-ibu di desa.

Suparta menyatakan usaha yang digeluti sejak 2007 awalnya tidak berjalan mulus. Sebab belum diterima pasar. “Akhirnya perlahan mulai diterima kecil-kecilan,” jelasnya.

Ketika memperoleh pasar, Suparta lantas memberanikan diri meminjam modal Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar Rp 8 juta pada 2015. Dari sana usahanya berkembang. Dia mulai mengajak ibu-ibu di desa. Hingga akhirnya kembali membutuhkan modal tambahan Rp 50 juta melalui Kupedes pada 2018. Modal terakhir dari BRI pada 2020 sebesar Rp 100 juta. “Kami perlu bantuan dari bank, kami butuh modal. Yang namanya usaha butuh modal,” ujarnya.

Suparta menggunakan modal usaha untuk pengembangan jumlah produksi. “Ada juga saya gunakan membangun gudang,” ujarnya sembari menunjuk gudang berdinding batako.

Diakui, pada pandemi Covid-19, dia sempat digulung badai. “Pas sepi, saya sempat mohon penangguhan. Pas awal covid, sepi sekali,” ujarnya.
Berbekal kesabaran, akhirnya, dia mendapat pesanan dari saudara di Lampung. “Kebetulan di Lampung panen. Akhirnya mereka belanja,” jelasnya.
Untuk omzet sebelum covid, kata dia, bisa meraup Rp 20 juta bersih. “Pandemi turun 50 persen. Penghasilan sebulan Rp 10 juta,” terbangnya.

Hingga saat ini, dia mengajak 24 anggota yang kebanyakan ibu-ibu. Anggota itu bekerja mulai mencetak hingga memoles. Suparta merinci, total produksi dalam sehari menghasilkan bokor sebanyak 17, dulang 15, tamas 60.

 

“Satu produk tahan 10 tahun, cuma warna berubah. Harga yang sudah jadi, tamas Rp 20 ribu, dulang kotak Rp 325 ribu, dulang besar kotak Rp 350. Keben Rp 75 ribu,” terangnya.

Untuk pemasaran, dia mempercayai kepada 25 reseller yang tersebar di Desa Sebatu, Taro, Lukluk, Klungkung, Denkayu, Sangeh. Untuk luar Bali, reseller berada di Lampung, Kalimantan, NTB, dan Sulawesi. “Di saya beli 120, kalau dia merada (mengecat dengan bahan emas, red) dia (reseller, red) dapat sekian. Kami dominan jual bakalan,” ungkapnya.

Suparta juga terbantu dengan bantuan perlengkapan dari BRI. “Alat saya dikasih cuma-cuma. Kompresor, gerindra tangan, amplas, bor. Ini alat saya terima 2020 lalu,” ungkapnya.

Meski mempekerjakan 24 anggota, Suparta justru memberikan tempat bagi mereka. “Anggota kalau mau jualan saya kasih. Saya kasih tahu dimana nyari tukang ukir untuk bakalan cetakan, saya kasih jalan. Justru itu membantu saya juga untuk menambah produk. Makanya nama usaha saya Simbiosis,” jelasnya.
Dia juga tidak merasa disaingi para anggota. “Ini namanya perjuangan. Makanya kami main di inovasi. Saya tidak mau monopoli. Malah saya ajari ke tukang ukir,” ungkapnya.

Sementara itu, Regional CEO BRI Denpasar, Rudy Andimono, mengapresiasi semangat Suparta berusaha dan membangun klaster dengan anggota mencapai 24 orang.

Lebih lanjut dikatakan, fungsi BRI di usaha tersebut, membantu memudahkan akses permodalan dan pembinaan. “Anggota sudah diajarkan. Mereka diberikan modal untuk usaha,” jelasnya. Tidak hanya memberi modal bagi Suparta, BRI pun bisa memberikan modal usaha bagi anggota.

Lanjut dia, untuk menstimulus, setiap klaster BRI juga diberikan alat produksi. “Dengan terbentuknya klaster ini, bisa berdayakan masyarakat di sekitarnya. Contoh bapak ini menularkan ke anggota. Termasuk finishing sampai jual keluar. Harapannya mereka bisa berdiri sendiri,” pungkasnya. (adv)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/