31.5 C
Jakarta
25 April 2024, 10:28 AM WIB

Perajin Tenun Sutra di Desa Pering Bertahan saat Pandemi, Ini Kiatnya

GIANYAR – Pandemi Covid-19 juga berdampak pada usaha pembuatan kain tenun sutra di Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh. Meski begitu, perajin mencoba tetap bertahan. Sejumlah kiat dilakukan.

 

 

Produk kain tenun sutra hasil tangan perajin Desa Pering masih bisa dijumpai di pasaran. Beraneka ragam motif kain ditawarkan. Bahkan, perajin tenun masih bisa menerima pesanan meski dalam situasi Covid-19.

 

 

Pemilik Sritama Tenun Ikat yang berlokasi di Banjar Sema, Desa Pering, Wayan Sutama, 44, menyatakan tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19. Proses pembuatan kain tenun sutra di tempat usahanya masih berjalan. 

 

Hanya saja pekerja yang menenun hanya sebagian dari jumlah penenun biasanya. “Dulu sebelum ada Covid-19, jumlah tenaga tenun sampai 48 orang, ditambah beberapa tenaga tambahan,” jelasnya, Kamis (4/2).

 

Sejumlah tenaga tambahan yang terlibat diantaranya, tenaga motif atau tukang bebed sebanyak 8 orang, tukang sapih atau tukang kincir 4 orang, tukang pempen atau tukang kelos 4 orang, dan tukang sasah 2 orang.

 

“Jadi keseluruhan ada 66 orang. Dan itu belum termasuk tukang yang memborong di luar,” ujarnya.

 

 

Dan saat ini, tenaga yang menenun hanya 18 orang ditambah tukang tambahan hanya 7 orang saja. Hal itu terjadi lantaran omzet dari usaha tenunnya tersebut menurun drastis pasca pandemi Covid-19. 

 

 

Sehingga pihaknya terpaksa harus mengurangi jumlah penenun. “Sejak Covid-19 permintaan pasar terus menurun hampir 80 persen. Hanya ada beberapa saja. Kalau sebelum Covid-19 kami sampai kekurangan barang, dan tidak pernah punya stok,” tegasnya.

 

Berkurangnya jumlah penenun juga berpengaruh pada produksi kain. Jika sebelum pandemi Covid-19 pihaknya bisa memproduksi kain 250 hingga 300 lembar per minggu, kini ia hanya memproduksi kain apabila ada pesanan. “Keras sekali dampak pandemi Covid-19 ini,” imbuhnya.

 

 

Di tengah keterbatasan, sejumlah motif dibuat. Itu juga tergantung dari permintaan pelanggan. Biasanya pelangganlah yang langsung memberikan contoh. “Kalau kami jarang membuat motif sendiri kecuali ada langganan baru yang khusus minta motif lain,” terangnya.

 

 

 

Lanjut dia, untuk menyelesaikan satu kain, pihaknya membutuhkan waktu 6-7 jam. Itu tergantung dari kecakapan tukang tenun. Bahkan kadang bisa selesai 1,5 potong kain per 8 jam. “Untuk bahan yang saya gunakan khusus benang sutra saja,” bebernya.

 

 

Sutama menambahkan, selama ini pihaknya tidak mengalami kendala berarti selama proses menenun. Hanya saja, lanjut dia, dari menenun benang metris beralih ke benang sutra itu harus belajar lagi. “Dan kalau sudah memahami dan sudah terbiasa nenun tidak begitu lama belajar,” ujar pria yang melanjutkan usaha tenun orang tuanya itu.

 

 

Di awal usahanya, menghabiskan modal Rp 30 juta. Sejak merintis usaha tenun, sudah pernah mengalami kendala mirip situasi Covid-19. Yakni pada 1997 terjadi krisis moneter. Namun di tahun 2000 ia bangkit dan merintis kembali usaha tersebut.

 

 

Saat itu, kata dia, pihaknya masih memproduksi kain metris endek dan tahun 2006 beralih ke sutra sampai saat ini. Untuk satu lembar kain sutra berkisar antara Rp 350.000-400.000. Pemasarannya masih di sekitar Bali saja. 

 

Sementara itu, salah satu penenun, Ni Wayan Supadmi mengatakan, menenun sutra memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Penenun yang berpengalaman 15 tahun itu mengaku benang sutra halus dan benangnya per helai lebih kecil dari benang katun. “Sedangkan kalau endek kerjanya lebih cepat dapat persarungnya,” pungkasnya.

 

GIANYAR – Pandemi Covid-19 juga berdampak pada usaha pembuatan kain tenun sutra di Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh. Meski begitu, perajin mencoba tetap bertahan. Sejumlah kiat dilakukan.

 

 

Produk kain tenun sutra hasil tangan perajin Desa Pering masih bisa dijumpai di pasaran. Beraneka ragam motif kain ditawarkan. Bahkan, perajin tenun masih bisa menerima pesanan meski dalam situasi Covid-19.

 

 

Pemilik Sritama Tenun Ikat yang berlokasi di Banjar Sema, Desa Pering, Wayan Sutama, 44, menyatakan tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19. Proses pembuatan kain tenun sutra di tempat usahanya masih berjalan. 

 

Hanya saja pekerja yang menenun hanya sebagian dari jumlah penenun biasanya. “Dulu sebelum ada Covid-19, jumlah tenaga tenun sampai 48 orang, ditambah beberapa tenaga tambahan,” jelasnya, Kamis (4/2).

 

Sejumlah tenaga tambahan yang terlibat diantaranya, tenaga motif atau tukang bebed sebanyak 8 orang, tukang sapih atau tukang kincir 4 orang, tukang pempen atau tukang kelos 4 orang, dan tukang sasah 2 orang.

 

“Jadi keseluruhan ada 66 orang. Dan itu belum termasuk tukang yang memborong di luar,” ujarnya.

 

 

Dan saat ini, tenaga yang menenun hanya 18 orang ditambah tukang tambahan hanya 7 orang saja. Hal itu terjadi lantaran omzet dari usaha tenunnya tersebut menurun drastis pasca pandemi Covid-19. 

 

 

Sehingga pihaknya terpaksa harus mengurangi jumlah penenun. “Sejak Covid-19 permintaan pasar terus menurun hampir 80 persen. Hanya ada beberapa saja. Kalau sebelum Covid-19 kami sampai kekurangan barang, dan tidak pernah punya stok,” tegasnya.

 

Berkurangnya jumlah penenun juga berpengaruh pada produksi kain. Jika sebelum pandemi Covid-19 pihaknya bisa memproduksi kain 250 hingga 300 lembar per minggu, kini ia hanya memproduksi kain apabila ada pesanan. “Keras sekali dampak pandemi Covid-19 ini,” imbuhnya.

 

 

Di tengah keterbatasan, sejumlah motif dibuat. Itu juga tergantung dari permintaan pelanggan. Biasanya pelangganlah yang langsung memberikan contoh. “Kalau kami jarang membuat motif sendiri kecuali ada langganan baru yang khusus minta motif lain,” terangnya.

 

 

 

Lanjut dia, untuk menyelesaikan satu kain, pihaknya membutuhkan waktu 6-7 jam. Itu tergantung dari kecakapan tukang tenun. Bahkan kadang bisa selesai 1,5 potong kain per 8 jam. “Untuk bahan yang saya gunakan khusus benang sutra saja,” bebernya.

 

 

Sutama menambahkan, selama ini pihaknya tidak mengalami kendala berarti selama proses menenun. Hanya saja, lanjut dia, dari menenun benang metris beralih ke benang sutra itu harus belajar lagi. “Dan kalau sudah memahami dan sudah terbiasa nenun tidak begitu lama belajar,” ujar pria yang melanjutkan usaha tenun orang tuanya itu.

 

 

Di awal usahanya, menghabiskan modal Rp 30 juta. Sejak merintis usaha tenun, sudah pernah mengalami kendala mirip situasi Covid-19. Yakni pada 1997 terjadi krisis moneter. Namun di tahun 2000 ia bangkit dan merintis kembali usaha tersebut.

 

 

Saat itu, kata dia, pihaknya masih memproduksi kain metris endek dan tahun 2006 beralih ke sutra sampai saat ini. Untuk satu lembar kain sutra berkisar antara Rp 350.000-400.000. Pemasarannya masih di sekitar Bali saja. 

 

Sementara itu, salah satu penenun, Ni Wayan Supadmi mengatakan, menenun sutra memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Penenun yang berpengalaman 15 tahun itu mengaku benang sutra halus dan benangnya per helai lebih kecil dari benang katun. “Sedangkan kalau endek kerjanya lebih cepat dapat persarungnya,” pungkasnya.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/