27.3 C
Jakarta
30 April 2024, 9:23 AM WIB

Ibu Rumah Tangga di Buleleng Didorong Menenun Songket

SINGARAJA – Para ibu rumah tangga (IRT) di Desa Pakraman Beratan Samayaji, kini didorong menggeluti keterampilan sebagai penenun songket.

Mengingat kini jumlah penenun songket di desa pakraman makin susut. Warga yang menggeluti kebiasaan sebagai penenun songket di Beratan Samayaji, kini tak banyak lagi.

Hanya ada tujuh orang yang menenun secara rutin. Selain digunakan untuk keperluan keluarga, tenun songket yang dihasilkan juga disalurkan ke toko-toko penjual kerajinan songket yang ada di wilayah Beratan.

Kondisi itu sebenarnya cukup ironis. Sebab dalam catatan sejarah Beratan dikenal sebagai pelopor tenun songket di Bali Utara, tepatnya pada akhir abad 7 masehi.

Beratan juga dikenal sebagai perajin tenun kerajaan pada masa Kerajaan Buleleng. Selain itu, tenun Songket Beratan juga belum lama ini menerima

sertifikat pengakuan warisan budaya tak benda (WBTB) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.

Namun, jumlah penenun dari hari ke hari makin susut. Kelian Desa Pakraman Beratan Samayaji Ketut Beny Dirgariawan mengaku saat ini regenerasi penenun sulit dilakukan.

Sebab tak banyak lagi kalangan muda yang tertarik dengan kerajinan ini. Padahal jika digeluti dengan serius, profesi penenun akan memberikan imbal hasil yang lumayan.

“Remaja-remaja sekarang kebanyakan tidak mau serius belajar menenun. Jadi, tinggal yang usia paro baya saja. Padahal, kalau mau serius menenun songket, hasilnya lumayan,” kata Beny.

Desa pakraman makin gelisah dengan ditetapkannya songket Beratan sebagai WBTB. Saat ini Benny mengaku desa pakraman belum bisa menerima penghargaan itu secara penuh.

Sebab masih ada banyak hal yang harus dibenahi. “Ini kan warisan budaya tak benda. Menurut pendapat kami yang jadi warisan budaya itu kebiasaannya,

bukan kain songketnya. Makanya kami belum bisa terima secara penuh, karena belum menjadi kebiasaan di masyarakat,” imbuhnya.

Untuk itu pihaknya akan mendorong para ibu rumah tangga menggeluti kerajinan tenun songket. Pihak desa pakraman akan menggelar semacam workshop sederhana, sehingga jumlah penenun songket di Beratan Samayaji semakin meningkat.

“Rencananya setelah Nyepi ini kami akan sosialisasikan pada ibu-ibu di Kelurahan Beratan. Bagi yang berminat, kami akan siapkan pelatihan sederhana,” tandasnya. 

SINGARAJA – Para ibu rumah tangga (IRT) di Desa Pakraman Beratan Samayaji, kini didorong menggeluti keterampilan sebagai penenun songket.

Mengingat kini jumlah penenun songket di desa pakraman makin susut. Warga yang menggeluti kebiasaan sebagai penenun songket di Beratan Samayaji, kini tak banyak lagi.

Hanya ada tujuh orang yang menenun secara rutin. Selain digunakan untuk keperluan keluarga, tenun songket yang dihasilkan juga disalurkan ke toko-toko penjual kerajinan songket yang ada di wilayah Beratan.

Kondisi itu sebenarnya cukup ironis. Sebab dalam catatan sejarah Beratan dikenal sebagai pelopor tenun songket di Bali Utara, tepatnya pada akhir abad 7 masehi.

Beratan juga dikenal sebagai perajin tenun kerajaan pada masa Kerajaan Buleleng. Selain itu, tenun Songket Beratan juga belum lama ini menerima

sertifikat pengakuan warisan budaya tak benda (WBTB) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.

Namun, jumlah penenun dari hari ke hari makin susut. Kelian Desa Pakraman Beratan Samayaji Ketut Beny Dirgariawan mengaku saat ini regenerasi penenun sulit dilakukan.

Sebab tak banyak lagi kalangan muda yang tertarik dengan kerajinan ini. Padahal jika digeluti dengan serius, profesi penenun akan memberikan imbal hasil yang lumayan.

“Remaja-remaja sekarang kebanyakan tidak mau serius belajar menenun. Jadi, tinggal yang usia paro baya saja. Padahal, kalau mau serius menenun songket, hasilnya lumayan,” kata Beny.

Desa pakraman makin gelisah dengan ditetapkannya songket Beratan sebagai WBTB. Saat ini Benny mengaku desa pakraman belum bisa menerima penghargaan itu secara penuh.

Sebab masih ada banyak hal yang harus dibenahi. “Ini kan warisan budaya tak benda. Menurut pendapat kami yang jadi warisan budaya itu kebiasaannya,

bukan kain songketnya. Makanya kami belum bisa terima secara penuh, karena belum menjadi kebiasaan di masyarakat,” imbuhnya.

Untuk itu pihaknya akan mendorong para ibu rumah tangga menggeluti kerajinan tenun songket. Pihak desa pakraman akan menggelar semacam workshop sederhana, sehingga jumlah penenun songket di Beratan Samayaji semakin meningkat.

“Rencananya setelah Nyepi ini kami akan sosialisasikan pada ibu-ibu di Kelurahan Beratan. Bagi yang berminat, kami akan siapkan pelatihan sederhana,” tandasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/