NEGARA – Kerugian petani akibat padi mereka yang rebah saat masa panen memang sulit diatasi. Penyebabnya karena tidak adanya kepastian perjanjian saudara atau penebas padi dengan petani.
Penyebab lainnya karena KUD dan Bulog tidak bisa membeli padi petani itu. Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Jembrana I Wayan Sutama mengatakan,
rebahnya padi petani yang sudah memasuki masa panen itu memang sulit diprediksi karena akibat faktor alam yakni hujan dan angin kencang.
Peristiwa ini memang resiko terburuk yang dihadapi petani karena akibat padi mereka rebah akan membuat buah padi terendam sehingga menurunkan kualitasnya serta sulit dipanen.
”Kondisi ini diperparah ketika petani enggan menjual gabah yang sudah dipanen tetapi menjual padi kepada penebas di sawah.
Ketika penebas yang sudah memberikan panjar ke petani tetapi tidak memberikan kepastian waktu penen lalu padi rebah penebas malah kabur s
edangkan patani menunggu-nunggu hingga bulir padinya tumbuh dan akhirnya merugi” ungkap Sutama yang juga Sekretaris Dewan Ketahanan Pangan Jembrana ini.
Masalah inui sudah dirapatkan untuk mencari solusi. Namun sangat disayangkan tidak ada penebas maupun dari Perpadi yang hadir dalam rapat tersebut.
Padahal, sangat diharapkan ada kepastian perjanjian antara penebas dengan petani seperti terkait jangka waktu pemberian panjar termasuk kepastian harga beli padi sehingga petani juga punya bargaining.
Sedangkan tujuh KUD yang menerima dana talangan pembelian gabah hanya bisa membeli gabah sesuai perjanjian tri partit.
KUD hanya membeli gabah dan belum optimal membeli gabah petani. Kalau membeli padi menyalahi perjanjian.
“Kami harapkan agar setiap subak punya sekaa manyi sehingga petani tidak lagi menjual padi disawahnya” jelasnya.
Saat ini dana talangan pembelian gabah Rp. 5 miliar serapannya juga belum maksimal yakni baru terealisasi Rp. 2,8 miliar.
“Daya tampung dan sarana yang dimiliki KUD juga kapasitasnya masih terbatas. Kita juga sadari kondisi KUD seperti gudang, lahan jemur dan rice milling unit (RMU) yang harus direvitalisasi” jelasnya.
Menurut Sutama, masalah lain yakni harga pembelian pemerintah (HPP) juga masih rendah yakni harga gabah kering panen (GKP) hanya Rp 3.700 per kilogram.
Sedangkan harga beli di pasaran jauh lebih tinggi. Kesenjangan GKP ini menyebabkan Perum Bulog sebagai BUMN tidak bisa membeli hasil panen petani di Jembrana.
Bulog kesulitan membeli gabah petani karena GKP nya rendah sedangkan harga jual saat ini sudah meningkat.
“Kami mengusulkan agar dilakukan revisi GKP karena Perpres 12 tahun 2015 sudah empat tahun tidak direvisi. Kalau bisa harga naik sehingga Bulog juga bisa mengambil dari petani,” terangnya.