SINGARAJA – Dengan berlakunya penyesuaian tarif nilai jual objek pajak NJOP membuat sejumlah wajib pajak di Buleleng merasa keberatan.
Pasalnya, tarif kenaikan pajak bumi bangunan (PBB) mencapai 100 persen lebih. Patokan kenaikan tarif pajak berdasar dari daftar nilai jual objek pajak (NJOP) hasil zonasi.
Saat usai rapat paripurna kemarin, sejumlah warga desa pakraman Anturan mendatangi kantor Dewan DPRD Buleleng untuk menyampaikan protes terhadap kenaikan pajak PBB yang begitu mahal.
Mereka yang datang diantaranya Perbekel Desa Anturan I Made Budiarsana, Ketua Kerta Desa Made Suwimaya, Bendesa Adat Anturan Ketut Mangku dan Ketut Supandra.
Mereka datang bukan tanpa sebab dan langsung diterima wakil ketua DPRD Buleleng Ketut Susila Umbara bersama dengan komisi III DPRD Buleleng.
“Ya, kami datang sampaikan keberatan, karena pajak PBB yang kami bayar terlalu mahal. Tidak sebanding dengan nilai dan harga tanah yang kami miliki. Bayar pajak naik dratis,” keluh Ketut Supandra.
Bisa dibayangkan coba. Kata Supandra, dirinya memiliki tanah seluas 56 are. Tanah tersebut tidak produkitf dan berupa tegalan yang lokasinya masih berada di desa bukan berada dipinggir jalan.
“Dulunya saya bayar pajak hanya Rp 151 ribu sekarang, malah bayar pajak mencapai Rp 896 ribu. Naik berkali lipat,” keluhnya.
Supandra mengaku baru mengetahui kenaikan pembayaran pajak PBB dua hari yang lalu. Dasar kenaikannya pun dia tidak begitu jelas. Juga tak ada sosialiasi dari pemerintah daerah.
“Saya belum bayar, baru dua hari yang lalu datang kitir SPPT pajak. Terkejut melihat kenaikan pembayaran pajak yang menggila,” ungkapnya.
Hal yang sama juga disampaikan Bendesa Adat Anturan Ketut Mangku. Pajak PBB yang biasanya dia bayarkan sebesar 300 ribu kini menjadi Rp 1 juta lebih.
Kenaikan pajak PBB yang begitu signifikan tidak wajar. “Pajak PBB yang naik drastis tentu menjadi beban masyarakat. Ya, kalau tanah ini milik dari warga mampu. Kalau petani yang jelas tak mampu membayar pajak PBB,” ujarnya.
Dia pun berharap pemerintah segera meninjau ulang kembali kenaikan pajak yang begitu tinggi. Bila perlu kenaikan pajak jangan dipakai NJOP lah, namun berdasarkan hasil survey di lapangan.
“Mudah-mudahan keluhan kami ini didengar pemerintah Buleleng,” imbuhnya. Di sisi lain anggota Komisi III DPRD Buleleng Putu Tirta Adnyana menilai kenaikan NJOP harus melihat harga rill di lapangan, melihat pembanding dan syarat lainnya.
Misal sebidang tanah yang diusulkan untuk pertanian, maka tidak sama dengan tanah yang diperuntukan untuk perhotelan.
Maka harga jualnya pun berbeda. Logisnya tanah dengan hasil pertanian tidak sama dengan hasil perhotelan dan itu dijadikan patokan untuk NJOP.
“Inilah yang memberatkan masyarakat,” kata Putu Tirta Adnyana.