DENPASAR – Anggota DPR RI dapil Bali I Nyoman Parta meminta pemerintah meninjau ulang rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok.
Legislator PDI Perjuangan ini berpandangan, penerapan pajak terhadap sembako tersebut justru hanya akan menambah beban ekonomi masyarakat yang tengah kesulitan akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan.
“Situasi ekonomi sedang sangat sulit, dan daya beli juga menurun. Jangan masukkan sembako sebagai objek PPN,” ujar Parta.
Pasalnya, jika pajak sembako diterapkan, kondisinya bakal kontraproduktif dengan kebijakan pemerintah.
Pasalnya, pemerintah beberapa waktu lalu baru saja menghilangkan pajak untuk barang mewah seperti mobil. Belum lagi kebijakan tax amnesty untuk orang-orang kaya di negeri ini.
Nyoman Parta mengkalkulasi, jika PPN diterapkan dengan persentase yang cukup besar maka akan berdampak pada harga sembako. Tentu saja hal tersebut bisa memicu instabilitas ekonomi di tingkat bawah.
“Coba bayangkan jika PPN 12 persen. Untuk 1 kg beras yang awalnya harga Rp 10 ribu bisa jadi Rp 11.200. Ini tentu memberatkan.
Apalagi jika bahan pokok itu dibuat untuk produk UMKM, tentu akan lebih memberatkan,” tandas politisi asal Ketewel, Sukawati, Gianyar ini.
Idealnya, menurut dia, pemerintah berpikir bahwa ketika sembako dikenakan PPN maka akan berefek ke barang konsumsi lainnya.
“Masyarakat tentu tidak hanya butuh beras. Mereka juga butuh minyak, gula, kopi dan yang lain, kan bisa banyak kena PPN,” ucapnya.
Setidaknya, ada 11 item barang kebutuhan pokok yang direncanakan akan kena PPN. Salah satunya adalah beras. Hal tersebut tertuang dalam rumusan RUU Ketentuan Umum Pajak (KUP).
Dalam Pasal 4A ayat 2 huruf b UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang
PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah telah menetapkan 11 bahan pokok yang tidak dikenakan PPN.