25.9 C
Jakarta
25 April 2024, 3:50 AM WIB

Dirjen Peternakan Telisik Kelangkaan Unggas di Bali

RadarBali.com – Pertemuan Garpu (gabungan pengusaha rumah potong unggas), PBB (Pinsar Broiler Bali), dan Gada (gabungan dagang ayam Bali) yang buntu dan berakhir debat kusir di Kantor Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi Bali, Selasa (8/8) lalu, ternyata sampai di telinga Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.

Minggu (13/8) kemarin, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan RI, drh. I Ketut Diarmita langsung menemui para pengusaha lokal Bali di sektor peternakan di Rumah Aspirasi Amarta, Jalan Raya Canggu No. 88, Kuta Utara.

Kelangkaan ayam hidup dan melonjaknya harga daging ayam potong di pasaran juga direspons anggota DPR RI Komisi IV,  Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra.

Hasilnya sungguh miris; memprihatinkan. Fokus dan getolnya Pemerintah Provinsi Bali di bidang pariwisata ternyata berimbas pada kurang diperhatikannya sektor lain, khususnya peternakan.

Buktinya lembaga peternakan dan kesehatan hewan di Bali masih berantakan. Hal itu diungkapkan sendiri oleh Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi Bali, I Putu Sumatra kemarin.

Mirisnya, penelitian berkesinambungan agar kualitas daging sapi Bali mampu diserap hotel tak pernah dilakukan.

“Alasan hotel tak terima karena daging sapi Bali keras. Katanya, semakin muda dipotong semakin lembut dagingnya, tapi penelitian untuk itu belum ada. Oleh karena itu, penelitian di bidang sapi harus serius. Komprehensif. Jangan ecek-ecek,” ucapnya.

Kepada Dirjen I Ketut Diarmita dan Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra, sang kadis juga mengeluh soal sulitnya memasukkan sperma beku babi dari Australia.

“Sangat sulit bisa masuk genetik babi baru ke Bali. Terakhir masuk 2005. Seharusnya bisa masuk 5 tahun sekali secara reguler agar kualitas babi Bali semakin bagus,” tandasnya.

Dirinya juga menyoroti masalah pemasaran daging babi ke luar Bali. “Masalahnya sesuai regulasi harus ada izin dari daerah yang memasukkan. Alasan penyakit dan survei dinas yang membuat sulit. Juga karena babi bawa penyakit,” paparnya.

Khusus konflik antara Garpu dan Gada Bali dengan Pinsar Broiler Bali, Sumatra menyebut pihaknya belum memberikan izin rekomendasi pemasukkan unggas ke Bali menyikapi langkanya stok ayam demi menjaga peternak Bali dari kerugian.

“Kalau kita memberi izin terus kalau orang lain bisa memasukkan ke Bali kita siap tidak? Siap tidak kita bersaing? Ini bisa bikin celaka peternak kita,” selorohnya sembari menyebut kondisi itu tidak akan lama dan ke depannya seluruh pelaku bisnis unggas di Bali harus saling mendukung.

“Tolok ukur saya peternak tersenyum,” tandasnya. Pernyataan sang kepala dinas langsung direspons balik oleh Garpu dan Gada Bali yang menuntut solusi riil mengenai masalah kelangkaan ayam yang mereka alami.

Dewa Budiana, perwakilan Garpu menyebut pasar ayam Bali 40 % direbut oleh pihak luar. “Perusahaan banyak dari luar dan kami kalah bersaing. Perda Pasar harus baik disertai dengan pengawasan. Semua pasar di Bali harus beli produk dari Bali. Itu pengawasannya bagaimana?” tanyanya.

Dewa Budiana juga menyebut industri peternakan ayam di Bali hampir 95% dikuasi perusahaan kemitraan.

“Menurut penelitian peternak kemitraan semua untung. Peternak ayam di Bali itu siapa sebenarnya? Saya bingung peternak mana yang rugi itu siapa?  Peternak Ayam mandiri rugi Rp 280 miliar seperti kata Pak Kadis itu datangnya dari mana rugi itu?” tandasnya.

Di sisi lain, Kadek Agus Ariawan dari Gada Bali juga menyoroti kelangkaan stok ayam. Ariawan menduga ada intervensi pihak tertentu terkait pemotongan DOC (bibit ayam) yang menyebabkan terjadi kelangkaan stok ayam di Bali.

Dirinya juga menyoroti pendirian RPU yang memproduksi ayam potong 300 ribu ekor per minggu untuk kepentingan ekspor.

“Siapa yang memastikan 300 ribu ekor ayam per minggu itu memang diekspor? Kalau tak dikeluarkan, siapa yang menjamin ayam itu tidak dilepas di pasar basah alias kelas bawah?” tanyanya kepada Sumantra.

Dirinya menyebut hal tersebut harus diantisipasi sejak awal. “Kalau perusahaan besar harus diawasi agar tak menyerang pasar lokal, melainkan benar-benar diekspor,” pintanya.

Di sisi lain, Ketua Garpu Sang Putu Sudarsana menyoroti dugaan adanya monopoli di sektor ayam oleh segelintir orang. 

Menyikapi sanggahan Garpu dan Gada, Sumantra menyebut ada pemasukan ayam tak terkontrol dan tanpa rekomendasi ke Bali yang merusak pasar ayam.

“Ini menyebabkan ayam di lapangan tidak terpotong. Bagaimana ya caranya agar terserap. Satu-satunya cara tidak boleh masuk. Akibatnya DOC tersendat karena kandang masih terisi. Saya sangat bersyukur garpu datang. Mudah-mudahan setelah setelah bulan ini situasi normal,” katanya.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan RI, drh. I Ketut Diarmita menyebut kini para pengusaha tak bisa kongkalikong terkait izin dan rekomendasi di pusat.

“Tak bisa kongkalikong. Semua transparan. Izin di daerah saya tidak mau ikut campur. Jika semua punya prinsip melayani masyarakat pasti jalan semua,” ungkapnya.

Menyikapi persoalan di Bali, Diarmita menyarankan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali bermitra dengan para akademisi kampus.

“Saya saran dilibatkan bidang ahli untuk menghitung. Kadis memfasilitasi saja. Berapa kekurangan dan kelebihan ahlinya yang tahu. Harus ada pihak independen dalam hal ini akademisi,” tandasnya.

Sementara itu, anggota DPR RI Komisi IV,  Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra menyebut tiga simpulan bisa ditarik dari pertemuan tersebut.

Pertama, terkait RPU (rumah pemotongan unggas), diputuskan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali akan menerapkan sistem kuota.

Dengan hal tersebut tidak akan ada pihak tertentu yang diuntungkan, melainkan semua ayam bisa dibagi rata untung dipotong.

Kedua, Dirjen Peternakan akan merespons mandeknya kualitas babi di Bali dengan mendatangkan genetik babi unggul dari luar negeri.

Ekspor babi ke luar Bali yang mandeg akan disikapi memalui bantuan administrasi berupa rekomendasi pengeluaran babi ke Jakarta.

“Hal ini akan mendorong peternak babi untuk lebih giat bekerja,” tegasnya. Ketiga, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan akan mengirim staf ahli untuk menghitung pemasukan dan pengeluaran hewan serta unggas di Bali.

“Sehingga betul-betul kita mengetahui berapa kebutuhan hewan di Bali. Ini harus dihitung dengan baik sehingga tidak ada alasan lagi unggas yang menumpuk atau sebaliknya, kelangkaan unggas dan mahalnya harga di tingkat pedagang,” pungkasnya.

RadarBali.com – Pertemuan Garpu (gabungan pengusaha rumah potong unggas), PBB (Pinsar Broiler Bali), dan Gada (gabungan dagang ayam Bali) yang buntu dan berakhir debat kusir di Kantor Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi Bali, Selasa (8/8) lalu, ternyata sampai di telinga Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.

Minggu (13/8) kemarin, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan RI, drh. I Ketut Diarmita langsung menemui para pengusaha lokal Bali di sektor peternakan di Rumah Aspirasi Amarta, Jalan Raya Canggu No. 88, Kuta Utara.

Kelangkaan ayam hidup dan melonjaknya harga daging ayam potong di pasaran juga direspons anggota DPR RI Komisi IV,  Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra.

Hasilnya sungguh miris; memprihatinkan. Fokus dan getolnya Pemerintah Provinsi Bali di bidang pariwisata ternyata berimbas pada kurang diperhatikannya sektor lain, khususnya peternakan.

Buktinya lembaga peternakan dan kesehatan hewan di Bali masih berantakan. Hal itu diungkapkan sendiri oleh Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Provinsi Bali, I Putu Sumatra kemarin.

Mirisnya, penelitian berkesinambungan agar kualitas daging sapi Bali mampu diserap hotel tak pernah dilakukan.

“Alasan hotel tak terima karena daging sapi Bali keras. Katanya, semakin muda dipotong semakin lembut dagingnya, tapi penelitian untuk itu belum ada. Oleh karena itu, penelitian di bidang sapi harus serius. Komprehensif. Jangan ecek-ecek,” ucapnya.

Kepada Dirjen I Ketut Diarmita dan Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra, sang kadis juga mengeluh soal sulitnya memasukkan sperma beku babi dari Australia.

“Sangat sulit bisa masuk genetik babi baru ke Bali. Terakhir masuk 2005. Seharusnya bisa masuk 5 tahun sekali secara reguler agar kualitas babi Bali semakin bagus,” tandasnya.

Dirinya juga menyoroti masalah pemasaran daging babi ke luar Bali. “Masalahnya sesuai regulasi harus ada izin dari daerah yang memasukkan. Alasan penyakit dan survei dinas yang membuat sulit. Juga karena babi bawa penyakit,” paparnya.

Khusus konflik antara Garpu dan Gada Bali dengan Pinsar Broiler Bali, Sumatra menyebut pihaknya belum memberikan izin rekomendasi pemasukkan unggas ke Bali menyikapi langkanya stok ayam demi menjaga peternak Bali dari kerugian.

“Kalau kita memberi izin terus kalau orang lain bisa memasukkan ke Bali kita siap tidak? Siap tidak kita bersaing? Ini bisa bikin celaka peternak kita,” selorohnya sembari menyebut kondisi itu tidak akan lama dan ke depannya seluruh pelaku bisnis unggas di Bali harus saling mendukung.

“Tolok ukur saya peternak tersenyum,” tandasnya. Pernyataan sang kepala dinas langsung direspons balik oleh Garpu dan Gada Bali yang menuntut solusi riil mengenai masalah kelangkaan ayam yang mereka alami.

Dewa Budiana, perwakilan Garpu menyebut pasar ayam Bali 40 % direbut oleh pihak luar. “Perusahaan banyak dari luar dan kami kalah bersaing. Perda Pasar harus baik disertai dengan pengawasan. Semua pasar di Bali harus beli produk dari Bali. Itu pengawasannya bagaimana?” tanyanya.

Dewa Budiana juga menyebut industri peternakan ayam di Bali hampir 95% dikuasi perusahaan kemitraan.

“Menurut penelitian peternak kemitraan semua untung. Peternak ayam di Bali itu siapa sebenarnya? Saya bingung peternak mana yang rugi itu siapa?  Peternak Ayam mandiri rugi Rp 280 miliar seperti kata Pak Kadis itu datangnya dari mana rugi itu?” tandasnya.

Di sisi lain, Kadek Agus Ariawan dari Gada Bali juga menyoroti kelangkaan stok ayam. Ariawan menduga ada intervensi pihak tertentu terkait pemotongan DOC (bibit ayam) yang menyebabkan terjadi kelangkaan stok ayam di Bali.

Dirinya juga menyoroti pendirian RPU yang memproduksi ayam potong 300 ribu ekor per minggu untuk kepentingan ekspor.

“Siapa yang memastikan 300 ribu ekor ayam per minggu itu memang diekspor? Kalau tak dikeluarkan, siapa yang menjamin ayam itu tidak dilepas di pasar basah alias kelas bawah?” tanyanya kepada Sumantra.

Dirinya menyebut hal tersebut harus diantisipasi sejak awal. “Kalau perusahaan besar harus diawasi agar tak menyerang pasar lokal, melainkan benar-benar diekspor,” pintanya.

Di sisi lain, Ketua Garpu Sang Putu Sudarsana menyoroti dugaan adanya monopoli di sektor ayam oleh segelintir orang. 

Menyikapi sanggahan Garpu dan Gada, Sumantra menyebut ada pemasukan ayam tak terkontrol dan tanpa rekomendasi ke Bali yang merusak pasar ayam.

“Ini menyebabkan ayam di lapangan tidak terpotong. Bagaimana ya caranya agar terserap. Satu-satunya cara tidak boleh masuk. Akibatnya DOC tersendat karena kandang masih terisi. Saya sangat bersyukur garpu datang. Mudah-mudahan setelah setelah bulan ini situasi normal,” katanya.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan RI, drh. I Ketut Diarmita menyebut kini para pengusaha tak bisa kongkalikong terkait izin dan rekomendasi di pusat.

“Tak bisa kongkalikong. Semua transparan. Izin di daerah saya tidak mau ikut campur. Jika semua punya prinsip melayani masyarakat pasti jalan semua,” ungkapnya.

Menyikapi persoalan di Bali, Diarmita menyarankan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali bermitra dengan para akademisi kampus.

“Saya saran dilibatkan bidang ahli untuk menghitung. Kadis memfasilitasi saja. Berapa kekurangan dan kelebihan ahlinya yang tahu. Harus ada pihak independen dalam hal ini akademisi,” tandasnya.

Sementara itu, anggota DPR RI Komisi IV,  Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra menyebut tiga simpulan bisa ditarik dari pertemuan tersebut.

Pertama, terkait RPU (rumah pemotongan unggas), diputuskan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali akan menerapkan sistem kuota.

Dengan hal tersebut tidak akan ada pihak tertentu yang diuntungkan, melainkan semua ayam bisa dibagi rata untung dipotong.

Kedua, Dirjen Peternakan akan merespons mandeknya kualitas babi di Bali dengan mendatangkan genetik babi unggul dari luar negeri.

Ekspor babi ke luar Bali yang mandeg akan disikapi memalui bantuan administrasi berupa rekomendasi pengeluaran babi ke Jakarta.

“Hal ini akan mendorong peternak babi untuk lebih giat bekerja,” tegasnya. Ketiga, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan akan mengirim staf ahli untuk menghitung pemasukan dan pengeluaran hewan serta unggas di Bali.

“Sehingga betul-betul kita mengetahui berapa kebutuhan hewan di Bali. Ini harus dihitung dengan baik sehingga tidak ada alasan lagi unggas yang menumpuk atau sebaliknya, kelangkaan unggas dan mahalnya harga di tingkat pedagang,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/