RadarBali.com – Memasuki musim hujan, aktivitas produksi garam terpaksa dihentikan. Bahkan, sejak seminggu sebelum hujan
para petani garam di kawasan Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, yang menjadi sentra produksi garam kawasan Bali Utara berhenti produksi.
Karena dalam kondisi hujan produksi garam menjadi tidak maksimal bahkan rusak. Ketua Petani Usaha Garam Bumi Putih Desa Pejarakan, Iksan, mengungkapkan, musim hujan menjadi waktu istirahat bagi 150 petani garam yang ada di desa tersebut.
Panen terakhir baru dilakukan dua hari lalu. Menurut Iksan, produksi garam turun drastis. Normalnya mencapai 6 ton sekali panen dalam kurun waktu 10 hari, terakhir hanya mampu menghasilkan 1 ton saja.
“Tapi tergantung luas lahan juga. Umumnya setengah hektare,” ucap Iksan, Rabu (15/11). Untuk harga garam saat ini diakui cukup tinggi sejak dua bulan lalu.
Harga di tingkat petani saat ini mencapai Rp 1.400 per kilogram dari sebelumnya hanya berkisar harga Rp 500 per kilogram.
Namun tingginya harga ini tidak dibarengi dengan serapan garam yang bagus. Sejak status Gunung Agung meningkat, serapan garam di Bali macet.
“Kami bawa ke Jawa Tengah, lewat pengepul. Harganya Rp 2 ribu per kilogram sudah sampai di Jawa Tengah. Baru kali ini jual ke luar Bali,” kata Iksan.
Sementara stok garam di Desa Pejarakan saat ini sudah menipis untuk menghadapi musim hujan. “Sekarang tinggal seribu ton. Kalau kebutuhan Bali saat musim hujan bisa sampai 10 ribu ton,” tuturnya.
Pengakuan yang sama datang dari Ketua Kelompok tani Amed Karangasem. I Nengah Suanda menuturkan, untuk di Amed produksi garam sangat kecil.
Untuk satu kali panen dalam kurun waktu empat hari, hanya mampu menghasilkan garam 60 kilogram saja dari luas lahan 300 meter persegi.
Namun, garam Amed dikenal memiliki kualitas cukup bagus. Untuk harga jual garam Amed di tingkat petani berkisar Rp 30 sampai 35 ribu per kilogram.
“Itu dikirim ke sejumlah daerah di Indonesia. Kualitas garam Amed sendiri memang di atas standar SNI, makanya mahal,” paparnya.
Suanda menambahkan, untuk stok garam di Amed hingga saat ini masih aman. Meski saat ini tidak lagi berproduksi, namun stok garam tahun lalu dan saat ini cukup untuk memenuhi pesanan.
“Sistem kami, stok tahun 2016 kami jual tahun ini, dan begitu seterusnya. Kami lakukan agar pesanan tidak putus,” tandas Suanda.
Meski tidak lagi berproduksi dalam kurun waktu empat bulan, bagi petani garam di Amed tidak menjadi masalah.
Sejumlah petaninya memiliki kerja lain selain menjadi petani garam. “Ada yang nelayan, tukang dan lainnya. Kalau bertani garam kan tidak banyak menyita waktu. Paling sehari hanya tiga jam,” pungkasnya