29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:22 AM WIB

Permintaan Naik, KTT Sari Nandini Genjot Produksi Pupuk Organik

BANJAR – Di tengah pandemic Covid-19 yang tak kunjung berakhir, masyarakat mulai ramai-ramai melirik keguatan berkebun dan bertani.

Seperti yang dilakukan Kelompok Tani Ternak (KTT) Sari Nandini di Desa Dencarik, Kecamatan Banjar, Buleleng yang bergerak dalam pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk organik.

Saat pandemic, mereka mulai menggenjot produksi pupuk dari limbah kotoran sapi. Kelompok peternak sapi Bali yang beranggotakan sebanyak 25 orang memelihara sapi dengan sistem kandang koloni.

Setiap hari harus memenuhi kebutuhan pupuk organik dari masyarakat. Selain memenuhi permintaan pupuk organik bersubsidi dari pemerintah. 

Ketua Kelompok Tani Ternak Sari Nandini I Ketut Mertaya mengaku sejak wabah Covid-19 berlangsung, permintaan pupuk organik meningkat.

“Dulu kami hanya distribusi pupuk organik bersubsidi, tetapi sekarang permintaan datang dari sejumlah masyarakat dan toko tani,” kata pria yang juga Ketua HKTI Buleleng ini.

Menurutnya, produksi pupuk dari kotoran sapi yang difermentasi sederhana selama 20 hari. Sebelum pandemi Covid-19, kapasitas produksi khusus pupuk padat dalam setahun rata-rata 300 ton.

Sedangkan pupuk cair 2 ribu liter. Namun, saat ini baru setengah tahun sudah memproduksi 400 ton pupuk padat dan pupuk cair 3 ribu liter.

“Kami melihat pandemi Covid-19 tidak hanya berpengaruh buruk ekonomi. Tetapi masyarakat mau beralih bekerja sebagai petani dan beralih juga menggunakan pupuk organik,” ungkapnya.

Mertaya menambahkan, untuk kotoran sapi yang dihasilkan, karena kelompoknya memelihara 20 ekor sapi, setiap satu ekor sapi bisa hasilkan kotoran 4 kilogram setiap hari.

Maka rata-rata sehari ada sekitar 80 kilogram kotoran sapi. Kemudian kencing sapi sehari 3 liter sampai 5 liter.

“Kotoran inilah yang ditampung dan diolah menjadi pupuk. Selain untuk pupuk, kotoran sapi ini kami buat menjadi biogas. Kemudian biogas ini digunakan untuk keperluan memasak oleh anggota kelompok setiap harinya,” paparnya.

Diakui Mertaya, kendati kelompok tani ternak sapi yang berdiri 2015 lalu sudah mampu memberikan pendapatan tambahan ekonomi bagi petani desa, namun tak mudah mengajak dan menyadarkan petani dari awal.

Butuh waktu yang cukup lama sehingga mereka tertarik mengolah pupuk dari kotoran sapi. “Ya, kami perlahan mendekati dan memberikan pemahaman kepada petani,

bagaimana menerapkan sistem pertanian terintegrasi. Mulai dari pemeliharaan sapi, kotoran sapi diubah menjadi pupuk dan pupuk dihasilkan selain dijual juga dipakai untuk bertani,” tuturnya.

Dia melanjutkan, untuk sistem pengelolaan Kelompok Tani Ternak Sari Nandini yang ia bina dilakukan bagi hasil.

Petani dari hasil kotoran sapi yang diolah menjadi pupuk mendapat bagian sebesar 75 persen. Sisanya 25 persen masuk kas. Begitu pula ketika sapi dijual 75 persen ke petani dan sisa 25 persen ke kas kelompok.

“Jadi, keuntungan atau bagi hasil lebih memprioritaskan pembagian kepada petani. Karena mereka yang memelihara sapi dan mengolah pupuk tersebut,” tandasnya. 

BANJAR – Di tengah pandemic Covid-19 yang tak kunjung berakhir, masyarakat mulai ramai-ramai melirik keguatan berkebun dan bertani.

Seperti yang dilakukan Kelompok Tani Ternak (KTT) Sari Nandini di Desa Dencarik, Kecamatan Banjar, Buleleng yang bergerak dalam pengolahan kotoran sapi menjadi pupuk organik.

Saat pandemic, mereka mulai menggenjot produksi pupuk dari limbah kotoran sapi. Kelompok peternak sapi Bali yang beranggotakan sebanyak 25 orang memelihara sapi dengan sistem kandang koloni.

Setiap hari harus memenuhi kebutuhan pupuk organik dari masyarakat. Selain memenuhi permintaan pupuk organik bersubsidi dari pemerintah. 

Ketua Kelompok Tani Ternak Sari Nandini I Ketut Mertaya mengaku sejak wabah Covid-19 berlangsung, permintaan pupuk organik meningkat.

“Dulu kami hanya distribusi pupuk organik bersubsidi, tetapi sekarang permintaan datang dari sejumlah masyarakat dan toko tani,” kata pria yang juga Ketua HKTI Buleleng ini.

Menurutnya, produksi pupuk dari kotoran sapi yang difermentasi sederhana selama 20 hari. Sebelum pandemi Covid-19, kapasitas produksi khusus pupuk padat dalam setahun rata-rata 300 ton.

Sedangkan pupuk cair 2 ribu liter. Namun, saat ini baru setengah tahun sudah memproduksi 400 ton pupuk padat dan pupuk cair 3 ribu liter.

“Kami melihat pandemi Covid-19 tidak hanya berpengaruh buruk ekonomi. Tetapi masyarakat mau beralih bekerja sebagai petani dan beralih juga menggunakan pupuk organik,” ungkapnya.

Mertaya menambahkan, untuk kotoran sapi yang dihasilkan, karena kelompoknya memelihara 20 ekor sapi, setiap satu ekor sapi bisa hasilkan kotoran 4 kilogram setiap hari.

Maka rata-rata sehari ada sekitar 80 kilogram kotoran sapi. Kemudian kencing sapi sehari 3 liter sampai 5 liter.

“Kotoran inilah yang ditampung dan diolah menjadi pupuk. Selain untuk pupuk, kotoran sapi ini kami buat menjadi biogas. Kemudian biogas ini digunakan untuk keperluan memasak oleh anggota kelompok setiap harinya,” paparnya.

Diakui Mertaya, kendati kelompok tani ternak sapi yang berdiri 2015 lalu sudah mampu memberikan pendapatan tambahan ekonomi bagi petani desa, namun tak mudah mengajak dan menyadarkan petani dari awal.

Butuh waktu yang cukup lama sehingga mereka tertarik mengolah pupuk dari kotoran sapi. “Ya, kami perlahan mendekati dan memberikan pemahaman kepada petani,

bagaimana menerapkan sistem pertanian terintegrasi. Mulai dari pemeliharaan sapi, kotoran sapi diubah menjadi pupuk dan pupuk dihasilkan selain dijual juga dipakai untuk bertani,” tuturnya.

Dia melanjutkan, untuk sistem pengelolaan Kelompok Tani Ternak Sari Nandini yang ia bina dilakukan bagi hasil.

Petani dari hasil kotoran sapi yang diolah menjadi pupuk mendapat bagian sebesar 75 persen. Sisanya 25 persen masuk kas. Begitu pula ketika sapi dijual 75 persen ke petani dan sisa 25 persen ke kas kelompok.

“Jadi, keuntungan atau bagi hasil lebih memprioritaskan pembagian kepada petani. Karena mereka yang memelihara sapi dan mengolah pupuk tersebut,” tandasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/