28.2 C
Jakarta
17 September 2024, 2:44 AM WIB

PT CIPL Sebut Karyawan Perusda Malas, Gaji Karyawan Nunggak 3 Bulan

DENPASAR – Mediasi antara PT. Citra Indah Prayasalestari (PT CIPL) dan karyawan Perusahaan Daerah (Perusda) Provinsi Bali yang dimediasi oleh Komisi 1 dan Komisi II DPRD Bali, pekan lalu menemui jalan buntu.

Dilaporkan belum ada kata sepakat antara Perusda Bali dan PT CIPL. Imbasnya, pembayaran karyawan Perusda selama 3 bulan, yakni September, Oktober, dan November 2019 yang siap dibayar oleh PT CIPL belum direalisasikan.

Direktur PT CIPL Tjokorda Alit Darma Putra, SH. menyebut hal itu terjadi karena Perusda Bali selaku pihak pertama tidak mau menandatangani surat pernyataan pasca mediasi.

Objek perjanjian kesepakatan antara PT CIPL dengan Perusda Bali jelas Cok Alit- sapaan akrab Tjokorda Alit Darma Putra- adalah pengelolaan sumber daya alam dengan luas lahan yang dikerjasamakan seluas 519.52 hektar.

Meliputi tanaman karet seluas 403,52 hektar, tanaman coklat 14 hektar, tanaman cengkeh 64,14 hektar, jalan dan emplacement seluas 37,86 hektar.

“Dalam pengelolaan perkebunan tersebut Perusda Bali mengkaryakan karyawannya yang berjumlah 100 orang di perkebunan yang dikelola

oleh PT.CIPL selaku pemegang hak atas perkebunan tersebut sejak 22 November 2006 sampai dengan November 2031 (25 tahun, red),” ucapnya.

Dalam perjalanan operasional, jelasnya, PT CIPL selalu mengalami penurunan di tingkat produksi. Setelah dilakukan analisa dan pengecekan secara langsung di lapangan

oleh jajaran direksi, komisaris, dan pemegang saham PT CIPL, ditemui fakta bahwa kedisiplinan karyawan-karyawan Perusda Bali yang dikaryakan tersebut sangat rendah.

“Di mana tanggung jawab seorang karyawan sadap karet seluas 1 hektar dengan jumlah tanaman atau pokok sebanyak 400 pohon, namun yang disadap hanya 70 persen. Bahkan ada yang disadap hanya 50 persen saja,” tegasnya.

Imbuh Cok Alit, PT CIPL sudah berusaha mengomunikasikan permasalahan pekerjaan yang tidak tuntas ini kepada karyawan sampai dengan tingkat Direksi Perusda, namun tidak ada upaya apapun.

“Akibatnya, kami mengalami keterlambatan pembayaran gaji karyawan yang disebabkan permasalahan finansial yang selalu merugi.

Kewajiban PT CIPL kepada Perusda meliputi pembayaran sewa lahan, gaji termasuk THR, tunjangan listrik karyawannya termasuk juga pajak

PBB dengan total kurang lebih dalam setahun sebesar Rp 3,5 M belum termasuk biaya-biaya operasional setiap bulannya,” ungkapnya.

Ditanyai lebih lanjut, Cok Alit menjelaskan permasalahan keterlambatan pembayaran termasuk pembayaran gaji karyawan, Perusda Bali telah mengundang PT.CIPL untuk bertemu Gubernur Bali Wayan Koster pada 8 Oktober 2019 lalu.

Konyolnya, Dewan Pengawas Perusda menyampaikan bahwa investasi karet di Bali tidak cocok. Merespons hal itu, terang Cok Alit, gubernur menyarankan agar ikatan kerjasama antara Perusda dan PT.CIPL diakhiri.

Dengan catatan Perusda Bali harus mengembalikan biaya investasi yang dikeluarkan PT CIPL kemudian mencari investor baru.

“Proses pengakhiran ikatan kerjasama PT CIPL telah diaudit oleh tim independen yang ditunjuk oleh Dewan Pengawas Perusda Bali.

Perihal keterlambatan pembayaran gaji, tanggal 3 Desember 2019 lalu PT CIPL telah memenuhi kewajiban dengan melakukan

proses pembayaran gaji karyawan untuk periode kerja bulan September 2019, namun anehnya pihak karyawan menolak menerima gaji tersebut,” bebernya.

Buntutnya, pada 10 Desember 2019 terjadi aksi perusakan pos satpam serta plang PT CIPL, pembakaran ban di halaman kantor, dan penyegelan pintu kantor PT CIPL.

Ungkap Cok Alit, pada saat itu administrasi kebun bernama Yohanes alias Nanang sedang cuti pulang ke Solo.

Karena tidak mengetahui siapa pelaku aksi pengrusakan tersebut, jelas Cok Alit setiba di perkebunan Nanang melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib, yakni Polsek Pekutatan Jembrana.

“Dasar pertimbangan kami adalah bahwa sebelum masa kerjasama ini berakhir, seluruh wilayah termasuk aset tidak bergerak yang berada di wilayah yang dikerjasamakan ini masih

menjadi hak dan tanggung jawab PT CIPL. Saat ini pihak kepolisian masih dalam proses pemanggilan dan pemeriksaan oleh pihak-pihak yang terkait.

Pihak PT CIPL bersedia mencabut laporan di kepolisian alias berdamai, tapi Perusda Bali tidak mau menandatangani surat pernyataan pasca mediasi,” tutupnya. 

DENPASAR – Mediasi antara PT. Citra Indah Prayasalestari (PT CIPL) dan karyawan Perusahaan Daerah (Perusda) Provinsi Bali yang dimediasi oleh Komisi 1 dan Komisi II DPRD Bali, pekan lalu menemui jalan buntu.

Dilaporkan belum ada kata sepakat antara Perusda Bali dan PT CIPL. Imbasnya, pembayaran karyawan Perusda selama 3 bulan, yakni September, Oktober, dan November 2019 yang siap dibayar oleh PT CIPL belum direalisasikan.

Direktur PT CIPL Tjokorda Alit Darma Putra, SH. menyebut hal itu terjadi karena Perusda Bali selaku pihak pertama tidak mau menandatangani surat pernyataan pasca mediasi.

Objek perjanjian kesepakatan antara PT CIPL dengan Perusda Bali jelas Cok Alit- sapaan akrab Tjokorda Alit Darma Putra- adalah pengelolaan sumber daya alam dengan luas lahan yang dikerjasamakan seluas 519.52 hektar.

Meliputi tanaman karet seluas 403,52 hektar, tanaman coklat 14 hektar, tanaman cengkeh 64,14 hektar, jalan dan emplacement seluas 37,86 hektar.

“Dalam pengelolaan perkebunan tersebut Perusda Bali mengkaryakan karyawannya yang berjumlah 100 orang di perkebunan yang dikelola

oleh PT.CIPL selaku pemegang hak atas perkebunan tersebut sejak 22 November 2006 sampai dengan November 2031 (25 tahun, red),” ucapnya.

Dalam perjalanan operasional, jelasnya, PT CIPL selalu mengalami penurunan di tingkat produksi. Setelah dilakukan analisa dan pengecekan secara langsung di lapangan

oleh jajaran direksi, komisaris, dan pemegang saham PT CIPL, ditemui fakta bahwa kedisiplinan karyawan-karyawan Perusda Bali yang dikaryakan tersebut sangat rendah.

“Di mana tanggung jawab seorang karyawan sadap karet seluas 1 hektar dengan jumlah tanaman atau pokok sebanyak 400 pohon, namun yang disadap hanya 70 persen. Bahkan ada yang disadap hanya 50 persen saja,” tegasnya.

Imbuh Cok Alit, PT CIPL sudah berusaha mengomunikasikan permasalahan pekerjaan yang tidak tuntas ini kepada karyawan sampai dengan tingkat Direksi Perusda, namun tidak ada upaya apapun.

“Akibatnya, kami mengalami keterlambatan pembayaran gaji karyawan yang disebabkan permasalahan finansial yang selalu merugi.

Kewajiban PT CIPL kepada Perusda meliputi pembayaran sewa lahan, gaji termasuk THR, tunjangan listrik karyawannya termasuk juga pajak

PBB dengan total kurang lebih dalam setahun sebesar Rp 3,5 M belum termasuk biaya-biaya operasional setiap bulannya,” ungkapnya.

Ditanyai lebih lanjut, Cok Alit menjelaskan permasalahan keterlambatan pembayaran termasuk pembayaran gaji karyawan, Perusda Bali telah mengundang PT.CIPL untuk bertemu Gubernur Bali Wayan Koster pada 8 Oktober 2019 lalu.

Konyolnya, Dewan Pengawas Perusda menyampaikan bahwa investasi karet di Bali tidak cocok. Merespons hal itu, terang Cok Alit, gubernur menyarankan agar ikatan kerjasama antara Perusda dan PT.CIPL diakhiri.

Dengan catatan Perusda Bali harus mengembalikan biaya investasi yang dikeluarkan PT CIPL kemudian mencari investor baru.

“Proses pengakhiran ikatan kerjasama PT CIPL telah diaudit oleh tim independen yang ditunjuk oleh Dewan Pengawas Perusda Bali.

Perihal keterlambatan pembayaran gaji, tanggal 3 Desember 2019 lalu PT CIPL telah memenuhi kewajiban dengan melakukan

proses pembayaran gaji karyawan untuk periode kerja bulan September 2019, namun anehnya pihak karyawan menolak menerima gaji tersebut,” bebernya.

Buntutnya, pada 10 Desember 2019 terjadi aksi perusakan pos satpam serta plang PT CIPL, pembakaran ban di halaman kantor, dan penyegelan pintu kantor PT CIPL.

Ungkap Cok Alit, pada saat itu administrasi kebun bernama Yohanes alias Nanang sedang cuti pulang ke Solo.

Karena tidak mengetahui siapa pelaku aksi pengrusakan tersebut, jelas Cok Alit setiba di perkebunan Nanang melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib, yakni Polsek Pekutatan Jembrana.

“Dasar pertimbangan kami adalah bahwa sebelum masa kerjasama ini berakhir, seluruh wilayah termasuk aset tidak bergerak yang berada di wilayah yang dikerjasamakan ini masih

menjadi hak dan tanggung jawab PT CIPL. Saat ini pihak kepolisian masih dalam proses pemanggilan dan pemeriksaan oleh pihak-pihak yang terkait.

Pihak PT CIPL bersedia mencabut laporan di kepolisian alias berdamai, tapi Perusda Bali tidak mau menandatangani surat pernyataan pasca mediasi,” tutupnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/