29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:02 AM WIB

Arak Gula Banjiri Sidemen, Perajin Arak Desa Adat Kebung Protes Keras

AMLAPURA – Puluhan masyarakat Banjar Kebung Kangin Desa Adat Kebung, Kecamatan Sidemen menggelar aksi terkait peredaran arak gula di wilayah Sidemen kemarin.

Keluhan para pembuat arak ini lantaran arak gula dituding sebagai biang menurunnya serapan arak Bali tradisional yang selama digeluti warga setempat.

Bendesa Adat Kebung, I Ketut Wika, mengungkapkan, keluhan yang disampaikan lebih pada puncak kekecewaan masyarakat setempat khususnya para pembuat arak tradisional.

Wika menuturkan, sejak dikeluarkan Pergub Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali, arak gula mulai membanjiri kawasan Sidemen.

“Karena harganya sangat murah. Karena itu masyarakat kami yang sebagian besar menggantungkan hidup sebagai produsen arak menjerit,” ujarnya.

Di Desa Adat Kebung sendiri terdapat 300 Kepala Keluarga (KK) yang menggantungkan hidup dari pembuatan arak yang sudah berlangsung turun temurun.

Disparitas harga yang jauh ini membuat produsen arak di desanya memilih gulung tikar lantaran produksi arak tidak terserap.

Padahal, sebelum keberadaan arak gula, arak tradisional buatan warganya itu cukup banyak diminati konsumen.

Bahkan, sampai kekurangan produksi. Dia membeberkan perbandingan harga arak tradisional dengan arak gula ini.

Satu botol arak tradisional ukuran 600 mili dijual antara Rp 15 sampai Rp 20 ribu. Sementara untuk arak gula dengan volume yang sama hanya dijual dengan harga Rp 8.000 per botol.

“Dengan perbandingan harga sampai seperti itu, bagaimana kami bisa bertahan. Ini sama dengan membunuh produsen arak tradisional. Pastinya orang akan membeli yang lebih murah,” tegasnya.

Kondisi ini menyebabkan, pengepul yang biasa mengambil produk arak tradisional di Desa Adat Kebung juga terimbas. Bahkan ada yang merugi hingga puluhan juta.

“Stok araknya tidak laku. Sekarang pengepul banyak. Karena kondisi ini sebagian besar produsen arak memilih tutup karena tidak ada serapan,” imbuh Wika.

Dengan penyampaian asipirasi diharapkan ada tata kelola yang jelas untuk bisa menghidupi para produsen arak tradisional.

Karena dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

Dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 itu, ditetapkan bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.

“Kami berharap ada tata kelola yang jelas, standarisasi harga untuk arak Bali tradisional untuk mensejahterakan produsen arak khususnya produsen arak rumahan,” tukas dia. 

AMLAPURA – Puluhan masyarakat Banjar Kebung Kangin Desa Adat Kebung, Kecamatan Sidemen menggelar aksi terkait peredaran arak gula di wilayah Sidemen kemarin.

Keluhan para pembuat arak ini lantaran arak gula dituding sebagai biang menurunnya serapan arak Bali tradisional yang selama digeluti warga setempat.

Bendesa Adat Kebung, I Ketut Wika, mengungkapkan, keluhan yang disampaikan lebih pada puncak kekecewaan masyarakat setempat khususnya para pembuat arak tradisional.

Wika menuturkan, sejak dikeluarkan Pergub Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali, arak gula mulai membanjiri kawasan Sidemen.

“Karena harganya sangat murah. Karena itu masyarakat kami yang sebagian besar menggantungkan hidup sebagai produsen arak menjerit,” ujarnya.

Di Desa Adat Kebung sendiri terdapat 300 Kepala Keluarga (KK) yang menggantungkan hidup dari pembuatan arak yang sudah berlangsung turun temurun.

Disparitas harga yang jauh ini membuat produsen arak di desanya memilih gulung tikar lantaran produksi arak tidak terserap.

Padahal, sebelum keberadaan arak gula, arak tradisional buatan warganya itu cukup banyak diminati konsumen.

Bahkan, sampai kekurangan produksi. Dia membeberkan perbandingan harga arak tradisional dengan arak gula ini.

Satu botol arak tradisional ukuran 600 mili dijual antara Rp 15 sampai Rp 20 ribu. Sementara untuk arak gula dengan volume yang sama hanya dijual dengan harga Rp 8.000 per botol.

“Dengan perbandingan harga sampai seperti itu, bagaimana kami bisa bertahan. Ini sama dengan membunuh produsen arak tradisional. Pastinya orang akan membeli yang lebih murah,” tegasnya.

Kondisi ini menyebabkan, pengepul yang biasa mengambil produk arak tradisional di Desa Adat Kebung juga terimbas. Bahkan ada yang merugi hingga puluhan juta.

“Stok araknya tidak laku. Sekarang pengepul banyak. Karena kondisi ini sebagian besar produsen arak memilih tutup karena tidak ada serapan,” imbuh Wika.

Dengan penyampaian asipirasi diharapkan ada tata kelola yang jelas untuk bisa menghidupi para produsen arak tradisional.

Karena dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.

Dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021 itu, ditetapkan bidang usaha industri minuman keras mengandung alkohol, alkohol anggur, dan malt terbuka untuk penanaman modal baru di Provinsi Bali,

Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan setempat.

“Kami berharap ada tata kelola yang jelas, standarisasi harga untuk arak Bali tradisional untuk mensejahterakan produsen arak khususnya produsen arak rumahan,” tukas dia. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/