DENPASAR – Aksi mogok yang dilakukan sebagian distributor ayam yang tergabung dalam Perhimpunan Dagang Ayam (Gada) Bali selama dua hari terakhir
membuat pasokan daging ayam di pasar tradisional di Denpasar, Badung, dan Tabanan seret. Kondisi ini menimbulkan gejolak harga daging ayam di tingkat konsumen cukup tinggi.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Broiler Bali Ketut Yahya Kurniadi mengatakan, sebelum anggota Gada Bali mogok memasok ayam, sudah ada pemberitahuan sehari sebelum aksi dilakukan.
Karena itu, para peternak ayam bisa memaklumi. Karena bagaimanapun aksi mogok itu ada pemicunya.
“Kami sikapi bijaksana keputusan teman-teman di Gada Bali yang tidak melakukan pendistribusian ayam. Karena ketika tidak diserap selama dua hari, bobot ayam di peternak ikut bertambah.
Dan, keputusan itu sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak,” ujar I Ketut Yahya Kurniadi kemarin.
Saat ini, para beternak berusaha memperbaiki pola beternak, terutama memperbaiki kualitas agar bobot ayam bisa bertambah seperti yang diinginkan pasar.
Meski diakui cukup sulit untuk mencapai berat ideal sesuai keinginan pasar. Apalagi, setelah pemerintah melarang peternak menggunakan Antibiotic Growth Promoter/AGP (antibiotik imbuhan pakan).
Karena itu, peternak berusaha menggunakan antikoksi untuk meningkatkan berat ayam. Penggunaan antikoksi ini justru menambah cost peternak dan berakibat pada peningkatan harga jual di tingkat distribusi hingga pedagang ayam.
“Karena harga produksi kami naik, pemberian dengan antikoksi sebelumnya hanya satu kali dalam satu masa panen.
Sekarang harus diberikan antibiotik lain sebanyak dua sampai tiga kali. Kami terus berusaha cari pola yang lebih baik lagi,” bebernya.
Diakui, larangan menggunakan AGP membuat daging ayam di Bali menyusut. Sebelum ada pelarangan pemakaian AGP, produksi daging ayam di Bali mencapai 9.000 ton lebih.
Asumsinya jumlah populasi ayam broiler per hari mencapai 180 ribu ekor, dikalikan berat rata-rata saat masa panen 1,7 kilogram.
“Dalam satu bulan biasanya produksi daging ayam mencapai 9 ribu ton lebih. Tapi, karena larangan penggunaan AGP menyusut hingga 2 ribu ton lebih. Pertumbuhan ayam terhambat,” kata Yahya.
Sejatinya, kata dia, belum ada kajian klinis dampak dari pemakaian AGP untuk kesehatan manusia.
Namun, karena sejak tanggal 20 April lalu, ayam dari Indonesia diekspor ke Uni Eropa syarat tersebut mulai diberlakukan karena permintaan pasar luar negeri.
“Di Amerika penggunaan AGP ini masih berlangsung. Mungkin Indonesia ingin lebih dulu memulai. Tapi, larangan pemakaian AGP ini ayam gampang terserang penyakit. Salah satunya peradangan usus,” jelasnya.
Menjelang puasa yang jatuh pada pertengahan Mei mendatang, pihaknya berharap harga ayam mulai membaik. Ini lantaran konsumsi ayam di Bali justru turun hingga 50 persen dari normal.
“Karena warga melakukan ibadah puasa konsumsinya berkurang, jadi kami berharap harganya bisa kembali stabil,” pungkasnya.