DENPASAR – Beberapa tahun lalu, saat bisnis properti booming di Bali, seluruh bisnis turunannya, tumbuh significant.
Begitu banyak orang menikmati keuntungan bisnis properti. Hal menarik yang saya lihat, lahirnya developer properti milenial.
Berbekal sedikit pengetahuan bisnis properti, didukung modal dari orang tua atau berpatungan dengan temannya, mereka membuka tanah kavlingan atau membangun perumahan dengan skala di bawah 5 unit.
Berhasil dengan penjualan proyek pertamanya dan mendapat profit lumayan. Tumbuhlah kepercayaan diri lebih besar.
Mereka berusaha mendapatkan leverage melalui pinjaman modal kerja dari lembaga bank umum atau BPR.
Dengan kemudahan mendapatkan pinjaman, mereka membuat proyek properti skala menengah, lebih dari dua atau tiga.
Bahkan, lebih di saat bersamaan. Secara skala bisnis, revaluasinya menjadi besar. Luar biasa keren, kan?
Di balik gemerlapnya bisnis properti yang dijalaninya, ternyata banyak pengusaha milenial tersebut, terserang virus orang kaya baru.
Tiba-tiba, mereka membeli mobil mewah, motor gede, sering liburan mewah ke luar negeri. Atau, membeli berbagai barang mewah yang tidak diperlukan.
Teman saya bertanya, memang tidak boleh mengapresiasi diri? Saya jawab, Ya, boleh banget! Masalahnya di mana? Masalahnya, sumber dana mengapresiasi dirinya.
Sangat berbahaya bagi bisnis Kita, jika sumber dana mengapresiasi diri dari uang operasional proyek/perusahaan.
Sebab, sebagian besar uang tersebut berasal dari pinjaman bank/BPR. Dari kacamata saya sebagai bankir, potensi masalah sudah terlihat.
Jika penjualan unit properti melambat atau termin pembayaran (account receivables) dari konsumen tidak tepat waktu, maka arus kas (cashflow) jadi tak sehat.
Ujungnya, proyek tak selesai, pembayaran kewajiban pokok dan bunga pada bank tersendat. Bahkan, macet.
Kemudian, agunan berupa proyek, disita atau dilelang. Untung tak dapat diraih, kebangkrutan terwujud.
Memberi apresiasi (instant gratification) berlebih pada diri di saat usaha baru menanjak adalah masalah pengusaha millenial.
Pengusaha milenial sering tidak sabar memenuhi ego, demi mendapatkan pengakuan sosial. Sekali lagi, saya katakan, ini sangat berbahaya untuk kelangsungan usaha yang dirintis, saat mulai menanjak naik.
Menjadi kewajiban bagi pengusaha milenial membekali diri dengan ilmu mengatur keuangan yang baik.
Percayalah, jika Kita berhasil mengatur bijak pemisahan keuangan pribadi dan keuangan perusahaan, maka bisnis akan terus berputar dan kesenangan mengapresiasi diri terukur, dapat terealisasi.
Terkait mengapresiasi diri, teringat ucapan guru saya; ’’Tundalah kesenangan hari ini, untuk meraih masa depan cerah!.”
Hal ini, tidak mudah bagi Kita, generasi milenial. Butuh proses belajar disiplin diri dan sabar. Menunda kesenangan itu, belajar mengalokasikan sebagian besar keuntungan/pendapatan pribadi dalam produk investasi.
Produk investasi merupakan produk yang minimal setiap bulan memberikan Kita pendapatan (pasif income). Produk investasi tersebut, seperti; deposito, saham, reksadana, dan lain-lain.
Carilah produk investasi terbaik, sesuai dana yang akan Kita alokasikan. Saya percaya dengan memulai investasi sejak usia muda, secara jangka panjang akan sangat bagus.
Selamat berakhir pekan, jangan lupa bahagia bersama orang yang Kita cintai. Salam Perjuangan!. (*)