TABANAN – Wakil Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) I Nyoman Ariadi menyebut naiknya harga bibit babi (kucit)
yang menyentuh Rp 1,1-1,3 juta per bibit di awal tahun 2021 berpengaruh terhadap harga dan ketersedian daging babi.
Apalagi, populasi ternak babi di tingkat peternak kian minim seiring terjadinya serangan virus ASF yang terjadi tahun 2020 lalu.
“Faktor lainnya karena tinggi permintaan bibit dari sejumlah peternak babi yang tertarik kembali berternak babi meski virus ASF belum mereda,” ujar I Nyoman Ariadi.
Selama ini sebenarnya banyak sekali masyarakat yang memang berprofesi sebagai peternak hendak kembali mencoba usahanya, terlebih menjelang perayaan Hari Raya Galungan.
Hanya saja, persediaan bibit masih jauh dibandingkan kebutuhan yang dibutuhkan peternak. Stok bibit babi yang menipis ini juga penyebab populasi indukkan babi yang mati terkena wabah ASF.
Sejatinya indukkan babi sudah mampu berkembangbiak dan melahirkan anakan atau bibit. Tetapi indukan mati otomatis tidak mampu melahirkan bibit.
“Kemudian saat ada wabah ASF tahun 2020, tidak banyak peternak yang mampu bertahan. Mereka memilih menjual babi indukkan atau memotong ketimbang harus bertahan melawan wabah,” jelasnya.
Disinggung kemungkinan mendatangkan bibit babi dari luar Bali, Ariadi mengatakan, ada dilema tersendiri jika kebijakan tersebut diambil.
Menurutnya, mendatangkan bibit babi dari luar pulau Bali kemungkinan resikonya lebih besar dengan bibit tertular virus ASF lagi di Bali.
Sebab, di luar wilayah Bali seperti di Jawa Barat virus ini sedang marak terjadi dan belum bisa tertangani sempurna.
“Dan, jika mendatangkan bibit dari luar Bali, potensi terpapar virus ASF sangat besar, dan praktis akan menular ke ternak yang sudah ada di Bali.
Termasuk juga daging yang terkontaminasi virus ini. Maka kami berharap peternak tidak membeli bibit babi di luar Bali agar tidak kembali kasus ASF merebak,” pungkasnya.