29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:31 AM WIB

Masih Trauma, Peternak Babi di Tabanan Belum Siap Beternak Lagi

TABANAN – Kematian babi masal akibat virus yang hingga kini masih ditutupi di seluruh wilayah Bali membuat sejumlah peternak babi merugi.

Buntutnya, peternak diselimuti rasa trauma untuk memulai beternak babi kembali. Seperti yang terjadi di Tabanan.

Sejumlah peternak babi masih menunggu kondisi mereda. Terlebih di tengah ancaman masa pandemi Covid-19 ini.

Seperti yang diungkapkan seorang peternak babi  asal Desa Gubug, Tabanan I Gusti Putu Winiantara.

Peternak yang kehilangan babinya hingga seratus ekor lebih ini mengaku masih dibayangi rasa trauma untuk memulai kembali aktivitas beternak setelah direnggut virus yang hingga kini masih dirahasiakan Pemerintah Provinsi Bali ini.

Bahkan kata dia, informasi yang didapat untuk wilayah kecamatan Tabanan, Kediri, dan Kerambitan hampir tidak ada babi.

“Sekarang masih belum ada babi. Peternak juga masih waswas mau beternak lagi karena takut kena virus yang tidak boleh disebutkan itu,” ujar Winiantara.

Kekhawatiran dan rasa trauma yang dialami peternak hingga kini terbilang wajar. Mengingat banyak peternak besar yang babinya mati dalam jumlah banyak bahkan ada yang ratusan tanpa sisa.

Sekitar satu bulan lalu, salah seorang temannya sempat kembali memulai beternak babi dengan jumlah kecil yakni sekitar tiga ekor saja, namun hanya bertahan satu minggu saja.

“Hanya bertahan satu minggu bibit babi langsung mati. Artinya kondisi saat ini masih rawan,” terang pria yang akrab disapa Ajik Anom ini.

Meskipun saat ini harga daging babi hidup di tingkat peternak cukup tinggi yakni mencapai Rp 29 hingga 30 ribu per kilogram, namun rasa khawatir masih mendominasi para peternak untuk menahan diri tidak memelihara babi sementara waktu.

Lebih lanjut Ajik Anom mengungkapkan, kemungkinan ia dan beberapa temannya sesama peternak baru akan memulai beternak kembali sekitar tiga bulan yang akan datang. Itu pun akan memulai dalam jumlah kecil.

“Misalnya biasanya yang 100 ekor, mungkin akan dicoba dua atau tiga ekor dulu. Untuk meminimalisir kerugian ketika babi mati,” jelasnya.

Untuk memaksimalkan babi bisa bertahan hidup, pihaknya memperketat kebersihan sanitasi kandang.

Misalnya dengan melakukan penyemprotan disinfektan pada kandang dalam waktu berkala juga penyemprotan solar pada kandang berbahan besi.

Hal ini dilakukan untuk mencegah virus menyerang tubuh babi. Dengan demikian, ada ongkos lebih yang harus dikeluarkan

para peternak untuk memulai bisnis ternak babi di tengah harga pakan yang naik mengingat ancaman virus akan tetap ada selamanya.

“Sekarang harga pakan naik dari Rp 470 ribu untuk satu sak berat 50 kg, menjadi Rp500 ribu per sak. Dengan memperketat kebersihan sanitasi kandang otomatis ada biaya tambahan yang dikeluarkan peternak,” ucapnya.

Disinggung soal optimisme para peternak, Anom mengaku tetap optimis hanya saja rasa optimis itu dihantui oleh ancaman virus.

“Optimisme PHP, karena optimis masih ketar ketir, khawatir dan dihantui rasa trauma. Kalaupun memulai beternak, tidak dalam

jumlah besar mungkin uji coba biasanya yang 100 ekor mulai 10 ekor dulu, perencanaan teman-teman begitu,” tandasnya.

TABANAN – Kematian babi masal akibat virus yang hingga kini masih ditutupi di seluruh wilayah Bali membuat sejumlah peternak babi merugi.

Buntutnya, peternak diselimuti rasa trauma untuk memulai beternak babi kembali. Seperti yang terjadi di Tabanan.

Sejumlah peternak babi masih menunggu kondisi mereda. Terlebih di tengah ancaman masa pandemi Covid-19 ini.

Seperti yang diungkapkan seorang peternak babi  asal Desa Gubug, Tabanan I Gusti Putu Winiantara.

Peternak yang kehilangan babinya hingga seratus ekor lebih ini mengaku masih dibayangi rasa trauma untuk memulai kembali aktivitas beternak setelah direnggut virus yang hingga kini masih dirahasiakan Pemerintah Provinsi Bali ini.

Bahkan kata dia, informasi yang didapat untuk wilayah kecamatan Tabanan, Kediri, dan Kerambitan hampir tidak ada babi.

“Sekarang masih belum ada babi. Peternak juga masih waswas mau beternak lagi karena takut kena virus yang tidak boleh disebutkan itu,” ujar Winiantara.

Kekhawatiran dan rasa trauma yang dialami peternak hingga kini terbilang wajar. Mengingat banyak peternak besar yang babinya mati dalam jumlah banyak bahkan ada yang ratusan tanpa sisa.

Sekitar satu bulan lalu, salah seorang temannya sempat kembali memulai beternak babi dengan jumlah kecil yakni sekitar tiga ekor saja, namun hanya bertahan satu minggu saja.

“Hanya bertahan satu minggu bibit babi langsung mati. Artinya kondisi saat ini masih rawan,” terang pria yang akrab disapa Ajik Anom ini.

Meskipun saat ini harga daging babi hidup di tingkat peternak cukup tinggi yakni mencapai Rp 29 hingga 30 ribu per kilogram, namun rasa khawatir masih mendominasi para peternak untuk menahan diri tidak memelihara babi sementara waktu.

Lebih lanjut Ajik Anom mengungkapkan, kemungkinan ia dan beberapa temannya sesama peternak baru akan memulai beternak kembali sekitar tiga bulan yang akan datang. Itu pun akan memulai dalam jumlah kecil.

“Misalnya biasanya yang 100 ekor, mungkin akan dicoba dua atau tiga ekor dulu. Untuk meminimalisir kerugian ketika babi mati,” jelasnya.

Untuk memaksimalkan babi bisa bertahan hidup, pihaknya memperketat kebersihan sanitasi kandang.

Misalnya dengan melakukan penyemprotan disinfektan pada kandang dalam waktu berkala juga penyemprotan solar pada kandang berbahan besi.

Hal ini dilakukan untuk mencegah virus menyerang tubuh babi. Dengan demikian, ada ongkos lebih yang harus dikeluarkan

para peternak untuk memulai bisnis ternak babi di tengah harga pakan yang naik mengingat ancaman virus akan tetap ada selamanya.

“Sekarang harga pakan naik dari Rp 470 ribu untuk satu sak berat 50 kg, menjadi Rp500 ribu per sak. Dengan memperketat kebersihan sanitasi kandang otomatis ada biaya tambahan yang dikeluarkan peternak,” ucapnya.

Disinggung soal optimisme para peternak, Anom mengaku tetap optimis hanya saja rasa optimis itu dihantui oleh ancaman virus.

“Optimisme PHP, karena optimis masih ketar ketir, khawatir dan dihantui rasa trauma. Kalaupun memulai beternak, tidak dalam

jumlah besar mungkin uji coba biasanya yang 100 ekor mulai 10 ekor dulu, perencanaan teman-teman begitu,” tandasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/