28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 3:33 AM WIB

Tuntas, Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya Lampaui Ekspektasi

SINGARAJA – Agenda idealis nan prestisius, Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya, akhirnya mencapai puncaknya. Festival ini ditutup Sabtu (30/12) malam lalu.

Tercatat ada 109 pementasan yang berlangsung sepanjang tahun 2017. Hampir separonya baru dipentaskan pada bulan Desember lalu.

Festival itu ditutup Sabtu malam lalu di Rumah Belajar Komunitas Mahima. Ada empat naskah yang dimainkan malam itu.

Naskah-naskah tersebut yakni “Ibu Sejat” produksi Teater Galang Kangin dengan aktor Dwi Wahyuni dan sutradara Rossinta Dewi.

Ada pula pementasan “Perempuan Sejati” produksi Komunitas Mahima dengan aktor sekaligus sutradara Kadek Sonia Piscayanti.

Selanjutnya naskah “Mila” produksi Teater Selem Putih dengan aktor Githa Swami dan sutradara Putu Satria Kusuma.

Terakhir naskah “Bila Semar Bermimpi” produksi Paguyuban Bandung Bondowoso dengan aktor Andi Afro dan sutradara Guruh Nugroho Aji.

Selain melangsungkan empat pementasan, diserahkan pula penghargaan bagi sutradara dan aktor paling progressive.

Dari empat naskah yang dipentaskan, naskah Perempuan Sejati menarik disaksikan. Maklum saja, Sonia Piscayanti yang selama ini lebih banyak berada di belakang panggung, langsung turun mementaskan monolog.

Setidaknya dalam lima tahun terakhir, Sonia belum pernah tampil di depan layar. Tak heran jika pementasannya banyak dinanti, setidaknya oleh anak-anak binaannya.

Sonia berusaha mengeksplorasi bagian-bagian rumahnya. Mulai dari dapur hingga ruang baca. Konsep pementasan ini, membuat penonton merasa lebih intim dengan pementasan.

Usai pementasan, Sonia mengaku merasa plong dan lega bisa menuntaskan pementasan itu. Pasalnya sudah lama sekali ia tidak bermain teater.

“Saya dulu aktor, tapi sudah lama tidak main dan memutuskan lebih banyak di belakang layar. Jadi di penutupan ini, saya merasa it’s the time,” kata Sonia.

Ia mengaku sengaja memilih naskah Perempuan Sejati karena menjadi naskah paling singat, diantara 118 naskah dalam buku kumpulan naskah monolog Putu Wijaya.

“Harapannya sih saya bisa menghafal dengan cepat. Tapi ternyata saya belum bisa hafal juga,” imbuh Sonia seraya tertawa.

Sementara itu Inisiator Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya, Putu Satria Kusuma mengatakan, hingga November lalu, boleh dibilang perjalanan festival terseok-seok.

Bahkan banyak pihak yang pesimistis akan tembus 100 pementasan. Faktanya, pada bulan Desember ada lebih dari 50 pementasan yang dilakukan, hingga memenuhi target minimal 100 pementasan.

Bahkan tercatat ada 109 pementasan yang dilakukan hingga akhir festival. Menurut Satria, festival selama setahun ini membawa sejumlah dampak positif.

Pertama, terbangun jaringan teater di Buleleng. Selain itu peta kekuatan dan perkembangan teater bisa dibaca dengan baik.

“Misalnya di mana saja yang berkembang. Pembina mana saja yang berperan. Lewat festival ini sudah terbaca,” kata Satria.

Lebih lanjut Satria mengungkapkan, perkembang teater sekolah juga cukup menggembirakan. Selama ini banyak kesan bahwa teater sekolah telah mati.

Terlebih setelah teater-teater sekolah memilih banting haluan memproduksi operet, ketimbang teater idealis yang penuh dengan unsur perjuangan.

“Teater sekolah sudah menunjukkan wawasan mereka. Yang menggembirakan, sudah terjaga dengan baik, meski keliaran belum memuaskan.

Memang harapan kami, teater sekolah itu bukan hanya jadi lucu-lucuan saja, tapi jadi perjuangan,” imbuhnya.

Selain itu ada beberapa gaya baru yang menarik dicermati sepanjang festival. Selain menghadirkan unsur teater realis, ada pula unsur eksperimental.

Sebut saja upaya Teater Kalangan melakukan provokasi. Ada pula Nyoman Erawan dengan eksperimen seni rupa.

Demikian pula Cok Sawitri yang melakukan kolaborasi dengan Fotografer. Serta Desi Nurani dari Komunitas Mahima yang mengeksplorasi keindahan tubuh.

Di sisi lain, Putu Wijaya juga menyampaikan apresiasinya melalui surat elektronik kepada Putu Satria Kusuma. Surat itu pun dibacakan dalam penutupan Festival Monolog, Sabtu malam lalu.

Dalam surat itu, Putu Wijaya optimistis Festival Monolog akan menjadi api penciptaan. Putu Wijaya sendiri merasa tidak mudah menyelenggarakan festival monolog dengan melibatkan banyak aktor dan banyak teater.

Festival hanya mungkin terlaksana berkat ketekunan, kesabaran, kelapangan hati, kebijakan, sikap toleran, dedikasi tinggi,

etos kerja spartan yang tanpa pamrih dan dukungan dari seluruh peserta baik yg terlibat langsung atau yg mendukung baik dengan moral maupun material

“Bahwa Bali bukan hanya pajangan, tapi juga mesin penciptaan yang menyala memberikan sumbangan pemikiran untuk kemanusiaan lewat seni (teater),” kata Putu Wijaya sebagaimana dikutip Putu Satria Kusuma.

SINGARAJA – Agenda idealis nan prestisius, Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya, akhirnya mencapai puncaknya. Festival ini ditutup Sabtu (30/12) malam lalu.

Tercatat ada 109 pementasan yang berlangsung sepanjang tahun 2017. Hampir separonya baru dipentaskan pada bulan Desember lalu.

Festival itu ditutup Sabtu malam lalu di Rumah Belajar Komunitas Mahima. Ada empat naskah yang dimainkan malam itu.

Naskah-naskah tersebut yakni “Ibu Sejat” produksi Teater Galang Kangin dengan aktor Dwi Wahyuni dan sutradara Rossinta Dewi.

Ada pula pementasan “Perempuan Sejati” produksi Komunitas Mahima dengan aktor sekaligus sutradara Kadek Sonia Piscayanti.

Selanjutnya naskah “Mila” produksi Teater Selem Putih dengan aktor Githa Swami dan sutradara Putu Satria Kusuma.

Terakhir naskah “Bila Semar Bermimpi” produksi Paguyuban Bandung Bondowoso dengan aktor Andi Afro dan sutradara Guruh Nugroho Aji.

Selain melangsungkan empat pementasan, diserahkan pula penghargaan bagi sutradara dan aktor paling progressive.

Dari empat naskah yang dipentaskan, naskah Perempuan Sejati menarik disaksikan. Maklum saja, Sonia Piscayanti yang selama ini lebih banyak berada di belakang panggung, langsung turun mementaskan monolog.

Setidaknya dalam lima tahun terakhir, Sonia belum pernah tampil di depan layar. Tak heran jika pementasannya banyak dinanti, setidaknya oleh anak-anak binaannya.

Sonia berusaha mengeksplorasi bagian-bagian rumahnya. Mulai dari dapur hingga ruang baca. Konsep pementasan ini, membuat penonton merasa lebih intim dengan pementasan.

Usai pementasan, Sonia mengaku merasa plong dan lega bisa menuntaskan pementasan itu. Pasalnya sudah lama sekali ia tidak bermain teater.

“Saya dulu aktor, tapi sudah lama tidak main dan memutuskan lebih banyak di belakang layar. Jadi di penutupan ini, saya merasa it’s the time,” kata Sonia.

Ia mengaku sengaja memilih naskah Perempuan Sejati karena menjadi naskah paling singat, diantara 118 naskah dalam buku kumpulan naskah monolog Putu Wijaya.

“Harapannya sih saya bisa menghafal dengan cepat. Tapi ternyata saya belum bisa hafal juga,” imbuh Sonia seraya tertawa.

Sementara itu Inisiator Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya, Putu Satria Kusuma mengatakan, hingga November lalu, boleh dibilang perjalanan festival terseok-seok.

Bahkan banyak pihak yang pesimistis akan tembus 100 pementasan. Faktanya, pada bulan Desember ada lebih dari 50 pementasan yang dilakukan, hingga memenuhi target minimal 100 pementasan.

Bahkan tercatat ada 109 pementasan yang dilakukan hingga akhir festival. Menurut Satria, festival selama setahun ini membawa sejumlah dampak positif.

Pertama, terbangun jaringan teater di Buleleng. Selain itu peta kekuatan dan perkembangan teater bisa dibaca dengan baik.

“Misalnya di mana saja yang berkembang. Pembina mana saja yang berperan. Lewat festival ini sudah terbaca,” kata Satria.

Lebih lanjut Satria mengungkapkan, perkembang teater sekolah juga cukup menggembirakan. Selama ini banyak kesan bahwa teater sekolah telah mati.

Terlebih setelah teater-teater sekolah memilih banting haluan memproduksi operet, ketimbang teater idealis yang penuh dengan unsur perjuangan.

“Teater sekolah sudah menunjukkan wawasan mereka. Yang menggembirakan, sudah terjaga dengan baik, meski keliaran belum memuaskan.

Memang harapan kami, teater sekolah itu bukan hanya jadi lucu-lucuan saja, tapi jadi perjuangan,” imbuhnya.

Selain itu ada beberapa gaya baru yang menarik dicermati sepanjang festival. Selain menghadirkan unsur teater realis, ada pula unsur eksperimental.

Sebut saja upaya Teater Kalangan melakukan provokasi. Ada pula Nyoman Erawan dengan eksperimen seni rupa.

Demikian pula Cok Sawitri yang melakukan kolaborasi dengan Fotografer. Serta Desi Nurani dari Komunitas Mahima yang mengeksplorasi keindahan tubuh.

Di sisi lain, Putu Wijaya juga menyampaikan apresiasinya melalui surat elektronik kepada Putu Satria Kusuma. Surat itu pun dibacakan dalam penutupan Festival Monolog, Sabtu malam lalu.

Dalam surat itu, Putu Wijaya optimistis Festival Monolog akan menjadi api penciptaan. Putu Wijaya sendiri merasa tidak mudah menyelenggarakan festival monolog dengan melibatkan banyak aktor dan banyak teater.

Festival hanya mungkin terlaksana berkat ketekunan, kesabaran, kelapangan hati, kebijakan, sikap toleran, dedikasi tinggi,

etos kerja spartan yang tanpa pamrih dan dukungan dari seluruh peserta baik yg terlibat langsung atau yg mendukung baik dengan moral maupun material

“Bahwa Bali bukan hanya pajangan, tapi juga mesin penciptaan yang menyala memberikan sumbangan pemikiran untuk kemanusiaan lewat seni (teater),” kata Putu Wijaya sebagaimana dikutip Putu Satria Kusuma.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/