DENPASAR – Keberanian berbuah bencana. Konsekuensi inilah yang kini dihadapi I Nengah Sumerta.
Petani muda asli Klungkung yang sesumbar bisa menunjukkan 1.527 kepalsuan dan kebohongan yang dilakukan anggota DPD RI Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta
Wedasteraputra Suyasa atau AWK ini dilaporkan ke Polda Bali oleh Sekretaris DPD KNPI Bali Shri I Gusti Ngurah Wira Wedawitry Wedasteraputra Suyasa,S.Sos,SH,MH, Jumat (31/1) kemarin.
Pelapor didampingi anggota DPRD Provinsi Bali dapil Jembrana yang juga adik AWK, Shri I Gusti Ngurah Wira Wedawitry Wedasteraputra Suyasa,S.Sos,SH,MH,
Pelaporan sang petani diunggah oleh AWK lewat media sosial facebook Dr. Arya Wedakarna, Jumat (31/1) pukul 18.45.
AWK menulis salah seorang ahli waris dari tokoh PNI Bali dan Penglingsir Arya Tegeh Kori (alm) Shri Wedastera Suyasa yakni Shri I Gusti Ngurah Wira Wedawitry Wedasteraputra
Suyasa,S.Sos,SH,MH @wira_wedawitry melaporkan pemilik akun media sosial Facebook bernama I Nengah Sumerta terkait dengan dugaan pencemaran nama baik dari ayah kandung beliau, (alm) Shri Wedastera Suyasa.
AWK menyebut sejumlah bukti dugaan pencemaran nama baik termasuk capture dan status postingan di medsos telah diserahkan ke Polda Bali.
“Kehadiran Turah Wira Wedawitry didampingi oleh kakak kandung Beliau yg juga putri almarhum yakni Dr. I Gusti Ayu Diah Werdhi Srikandi Wedasteraputri Suyasa,SE,MM @diah_srikandi
yang saat ini berprofesi sebagai Anggota DPRD Provinsi Bali dari Fraksi PDI Perjuangan/Pengurus DPD PDI Perjuangan Provinsi Bali serta didampingi tim kuasa hukum,” tulis admin AWK.
Imbuh admin AWK, pihaknya merasa tersinggung dengan status yang menghina (alm) Shri Wedastera Suyasa.
“Yang mana telah “mencemarkan nama baik” sesuai Pasal 320 KUHP ayat 1. Pihak Turah Wira Weda juga sedang mengumpulkan sejumlah bukti hukum
terkait penghinaan kepada anggota keluarga yang lain. Turah Wira Wedawitry adalah adik kandung dari anggota DPD RI asal Bali, Dr. Gusti Arya Wedakarna (AWK)
dan Turah Wira Wedawitry saat ini menjabat sebagai Sekretaris DPD KNPI Bali dan Wakil Ketua Banteng Muda Indonesia (BMI) Bali dan juga seorang advokat,” tulisnya.
Dikonfirmasi melalui sambungan telepon seluler, Sumerta mengaku “bahagia” dilaporkan ke Polda Bali oleh adik-adik AWK atas dugaan pencemaran nama baik.
“Terkait pelaporan pencemaran nama baik, sebaiknya kalau untuk kejadian di masa lalu, perlu ada pengkajian terkait fakta dan data. Jangan sampai terjadi pengaburan sejarah.
Postingan yang saya buat dan dilaporkan sebagai pencemaran nama baik itu bersumber dari karya tulis ilmiah,” ucap pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Kepala SMA Negeri Bali Mandara itu.
Sederhananya, imbuh Sumerta jika sebuah jurnal ilmiah atau buku sejarah yang ditulis atas kejadian di masa lalu kemudian menimbulkan perasaan tidak enak bagi pembacanya, hak jawab bisa diajukan.
“Bukankah mereka punya hak jawab? Atau sederhananya tuntut dulu dong penerbit jurnal ilmiah dan penulis buku
tersebut yang menyebabkan dapat diaksesnya data sejarah di masa lalu yang melibatkan ayah yang bersangkutan,” tegasnya.
Sumerta menambahkan keluarga AWK yang sudah mengubah nama ayahnya sendiri dari I Made Wedastera Suyasa sesuai
catatan ilmiah menjadi Shri Wedastera Suyasa juga bisa melakukan pembuktian terbalik terhadap data-data yang tersebar di sejumlah buku dan jurnal ilmiah tersebut.
“Jika data dan fakta dari buku dan jurnal tersebut tidak bisa dibantah, secara hukum laporan pencemaran nama baik tersebut otomatis gugur dong.
Santai saja. Biarkan masyarakat menilai kedewasaan para elite kita dalam melakukan pendidikan politik,” tutupnya sembari
menyebut salah satu buku dimaksud berjudul The Dark Side of Paradise: Political Violence In Bali karya Geoffrey Robinson.
Sumerta menjelaskan Geoffrey Robinson adalah seorang Profesor Sejarah di Universitas California Los Angeles (UCLA).
Dia mengajar dan menulis tentang kekerasan politik, genosida, hak asasi manusia, dan pemenjaraan massal, khususnya di Asia Tenggara.
Adapun karya-karyanya ialah Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2005); Timor Timur 1999: Kejahatan terhadap Umat Manusia
(Dili and Jakarta: Hak and Elsam, 2003); “If You Leave Us Here, We Will Die”: How Genocide Was Stopped in East Timor (Princeton, 2010);
dan yang paling baru adalah The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965- 66 (Princeton University Press, 2018).