DENPASAR – Dibandingkan dua terdakwa lainnya, sidang korupsi LPD Desa Adat Kekeran, Abiansemal, Badung, dengan terdakwa Ni Ketut Artani paling alot hingga akhir.
Ini menyusul jaksa dan pengacara terdakwa sama-sama menggunakan haknya. Jaksa menyampaikan replik setelah tuntutan, sedangkan pengacara terdakwa mengajukan duplik untuk memperkuat pledoi.
Sikap pengacara yang ngotot mengajukan duplik ini bisa dimaklumi. Pasalnya, Artani dituntut paling berat dibandingkan terdakwa lainnya.
Mantan sekretaris LPD sekaligus mantan kolektor itu dituntut empat tahun penjara. JPU Luh Heny F. Rahayu menuntut berat dengan pertimbangan terdakwa berbelit-belit dan belum mengajukan kerugian negara.
Sedangkan terdakwa mantan ketua LPD periode 1997-2017, I Wayan Suamba dan I Made Winda Widana dituntut 1,5 tahun penjara. Alasannya keduanya menyesal dan sudah mengembalikan kerugian negara.
“Dalam replik, kami tetap pada tuntutan bahwa para terdakwa terbukti bersalah,” ujar Kasi Pidsus Kejari Badung, Dewan Arya Lanang Raharja kemarin.
Artani disebut menggunakan uang LPD sebesar Rp 1,6 miliar, tapi hanya mengembalikan Rp 5 juta. Artani juga dituntut pidana denda Rp 50 juta subsider dua bulan kurungan.
“Sekarang kita lihat saja putusan hakim seperti apa. Kami masih menunggu,” tukas jaksa asli Buleleng itu.
Sementara itu, tim pengacara Artani dalam dupliknya bersikukuh Artani tidak terbukti bersalah sebagaimana dakwaan JPU. Mereka meminta hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan JPU.
“Meminta harkat dan martabat terdakwa dipulihkan. Apabila majelis hakim memiliki putusan tersendiri kami mohon putusan yang seadil-adilnya,” ujar tim pengacara dalam sidang daring baru-baru ini.
Dalam dakwaan JPU ketiga terdakwa disebut merugikan negara Rp 5,2 miliar. Para terdakwa dianggap terbukti bersalah melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Ketiga terdakwa menyelewengkan uang LPD Desa Adat Kekeran, Angantaka, Abiansemal, Badung tahun 2016-2017. Para terdakwa mengambil uang dengan cara membuat kredit fiktif.
Kasus ini muncul saat digelar paruman agung atas laporan pertanggungjawaban pengurus LPD periode 1 Januari 2016 – 31 Mei 2017.
Namun, masyarakat menolak laporan yang dibuat terdakwa Suamba bersama Artani dan Winda Widana.
Masyarakat menolak lantaran laporan tersebut tidak ditandatangani seluruh pengurus LPD dan Ketua Badan Pengawas periode sebelumnya, yaitu Ida Bagus Made Widnyana.
Sementara bendesa adat yang baru, I Made Wardana meminta I Gusti Komang Pernawa Pandit membuat sistem komputerisasi terkait administrasi LPD.
Di luar dugaan, Pandit menemukan selisih atau ketimpangan antara neraca yang dibuat menggunakan aplikasi komputer dengan pencatatan neraca manual.
Ketimpangan tersebut meliputi tabungan, kredit, deposito, dan kas bank. Buku tabungan yang dipegang oleh nasabah berbeda jumlahnya dengan kartu primanota yang ada di LPD.
Nominal pada buku tabungan yang dipegang nasabah rata-rata lebih besar daripada kartu primanota LPD.
Sementara pada kredit ditemukan pemberian kredit tidak sesuai prosedur, baik dari administrasi, jaminan, dan tandatangan.
Selain itu, adanya kredit fiktif, di mana ada nama nasabah yang tertera dalam daftar pinjaman di LPD.
Namun, saat dilakukan pengecekan lapangan ternyata yang bersangkutan tidak pernah mengajukan kredit.